Sabtu, 10 Mei 2014

MAUT (2)

Sakratul-maut
Yang dikatakan “sakratul-maut” ialah peristiwa yang dialami manusia sesaat menjelang dicabutnya ruh dari tubuhnya. Apabila saatnya telah tiba Allah mengutus Malaikat yang bernama Izrail untuk mencabut nyawa manusia yang telah ditentukan. Ini difirmankan Allah dalam Surat Al-An’am : 61 : “Dan Allah yang mewibawai atas segala hamba-Nya serta mengutus Malaikat untuk mengamati tingkah laku kamu sekalian, sehingga apabila telah tiba saatnya masing-masing kamu harus mati, maka Kami mengutus para Malaikat untuk mencabut nyawanya. Para Malaikat itu tidak akan mengabaikan perintah”.
Demikianlah setiap orang akhirnya akan mendapat tamu yang tidak diundang, Malaikat pencabut nyawa. Manusia yang sedang berjiwa muthmainnah dan mereka yang telah siap dengan bekal iman, ibadah dan amal kebaikan; akan menyambut kehadliran Malaikat yang mendadak itu dengan bahagia dan suka-cita yang amat sangat. Seolah-olah dia berkata : “Selamat datang Izrail, telah lama aku nantikan kedatanganmu. Engkau diutus Tuhanku untuk menjemput aku, bukan? Nah, aku sudah siap. Bawa lah aku pergi menghadap Dia, sekarang juga”
Begitulah dia pergi, ruhnya lepas membubung mengikuti Izrail mengarungi alam rohani yang suci dan indah. Orang ini telah mati dengan aman dan tenang, karena telah ikhlas berpisah dengan dunianya yang penuh suka dan duka; dan karena yakin bahwa ridla ilahi jauh lebih bernilai dan membahagiakan, lagi pula kekal. Akhir hayat semacam ini disebut husnul-khatimah yakni “akhir yang baik”.
Orang yang sedang berjiwa lawwamah akan merasa ragu menghadapi datangnya maut ini karena merasa belum cukup melakukan persiapan dan belum memadai menyediakan bekal. Dia memerlukan bantuan dari orang lain terutama kerabatnya untuk menemaninya pada saat keberangkatan ruhnya. Dia memerlukan nasehat dan tuntunan mengucap “Allah, Allah”, agar hatinya menjadi ikhlas berpisah dengan harta dan segala yang dikasihinya di dunia ini. Kalau dia berhasil maka akan menutup mata dengan aman. Tetapi kalau tidak, dia akan menegang dan meronta-ronta dengan penyesalan yang tak putus-putusnya.
Yang paling celaka ialah manusia yang berjiwa ammarah. Mereka ini selama hayatnya sedikit sekali ingat kepada Tuhan atau bahkan tidak ingat samasekali, atau kafir. Apa yang dilakukan hanyalah memuaskan hawa nafsu dan aniaya. Nathiqahnya terbelenggu dan dikemudikan oleh Syahwat dan Gadlab. Barulah setelah Malaikat Izrail di ambang pintu, dia sadar dan menyesal, tetapi sudah terlambat.
Orang yang kafir barulah mengerti, bahwa Tuhan memang ada, tetapi tidak cukup waktu untuk bertaubat. Ibarat orang yang akan dihukum gantung, tali telah melilit lehernya dan aba-aba telah diberikan kepada algojo untuk menyepak kursi tempatnya berdiri. Putus asa dan tak berdaya!
Dia meronta, dia menangis, dia hendak lari. Dia pertahankan ruhnya dari renggutan Izrail. Terjadilah perebutan dan tarik-menarik dengan sengit, menimbulkan rasa sakit yang tidak terhingga hingga orang itu berteriak, menggelepar bagai ayam disembelih. Tetapi Izrail jauh lebih kuat. Sekali renggut dan ruh itu menjebol keluar dari ubun-ubun. Inilah sakratul-maut yang amat mengerikan! Dan cara mati seperti inilah yang dinamakan su’ul-khatimah atau “akhir yang buruk”.
Banyak, sungguh banyak manusia menghembuskan nafas terakhir dengan penuh penyesalan. Mereka memohon tangguh, tetapi percuma. Patutlah rasanya diperhatikan firman Allah Surat Al-Mukminun ayat 99 – 100 : “Sehingga apabila maut telah mengunjungi mereka, masing-masing mereka berkata : Ya Tuhan, berilah hamba kesempatan lagi, hidup di dunia agar supaya dapat hamba kerjakan kebaikan yang telah hamba lalaikan itu. Ah tidak, itulah permobonan yang dia ucapkan, tetapi terlambat! Mereka akan memasuki alam barzakh menantikan hari mereka akan dibangkitkan lagi.”
Penyesalan tidak berguna. Ruh langsung ke alam barzakh dan tidak kembali ke dunia lagi. Jasadnya menjadi mayat, diratapi oleh sanak-kerabat serta ahli warisnya, kemudian dikuburkan di dalam tanah.
-------------------------
Menyingkap Tabir Rahasia Maut, Cetakan ke-2, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, halaman 16-18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar