Minggu, 18 Mei 2014

ALAM AKHIRAT (2)

As-sa’ah
Segala sesuatu akhirnya pasti rusak. Dalil ini mudah diterima oleh pengertian manusia karena peristiwa sehari-hari telah mernbuktikan kebenarannya. Pakaian lambat laun menjadi usang lalu cabik-cabik kemudian pakai lagi. Kayu-kayuan akhirnya keropos dan busuk. Besi juga lama-lama akan berkarat dan rapuh. Tubuh manusia akan berkerut dimakan usia dan setelah mati akan berangsur luluh di dalam tanah. Demikian pula setiap gerak akhirnya akan berhenti setelah kekuatan tenaga penggeraknya (enersi) secara lambat-laun menjadi lemah dan hilang, karena pergeseran dengan hawa atau benda lain dan karena kehabisan enersi. Lampu akan suram dan redup lalu mati bersamaan dengan susut serta habisnya minyak. Dan setiap ditambah minyaknya akan menyala tetapi akhirnya mati juga.
Dengan demikian dapatlah dipahami dengan mudah bahwa benda (materi) dan enersinya pasti akan berangsur surut dan akhirnya musna. Firman Allah dalam Surat Al-Qashash ayat 88 : “Segala sesuatu pasti akan rusak binasa kecuali Allah”.
Alam ini pada pokoknya terdiri dari tiga hal, yakni materi, enersi dan waktu. Allah telah ciptakan bahwa materi memiliki tenaga atau enersi. Dengan adanya enersi itu segala benda-benda di langit seperti : Matahari, Bumi dan planit-planit lainnya dapat serta teratur dengan keseimbangan yang tetap. Dan dengan enersi itu pula dimungkinkan timbulnya makhluq hidup seperti manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, atas kodrat dan iradat Allah.
Menurut pendapat para ahli astronomi, tata surya kita ini mulai terjadi kira-kira 5 milyar tahun yang lalu berupa kabut raksasa terdiri dari gas serta debu memenuhi angkasa. Dengan perputaran yang terus menerus maka lambat-laun gas dan debu berpadu dan menjadi panas karena perputaran dan pergesekan. Perpaduan yang terbesar menjadi Matahari dan yang lebih kecil merupakan planit-planit yang mengitari Matahari itu. Bumi kita adalah salah satu di antara planit-planit itu. Dan Matahari merupakan sumber dari pada enersi. Tetapi mungkin kira-kira 10 milyar tahun lagi Matahari akan kehabisan hydrogen. Untuk terakhir kalinya dia akan menyala lebih hebat serta mengembang dan menelan planit-planit yang terdekat. Kemudian Matahari akan mengecil dan akhirnya menjadi bintang kecil yang tak ada artinya lagi untuk selama beberapa milyar tahun selanjutnya.
Jika andaikata pendapat para ahli itu benar, maka mungkin dapat dianggap bahwa peristiwa tersebut adalah yang dimaksud dengan as-sa’ah atau rusak binasanya alam-semesta. Atau setidak-tidaknya pendapat tersebut dapat membantu mempertebal keimanan tentang kepastian terjadinya as-sa’ah, sekalipun pada hakekatnya hanya Allah yang mengetahui apabila dan bagaimana terjadinya.
Di antara sekian banyaknya firman Allah yang menggambarkan keadaan terjadinya as-sa’ah adalah seperti tersebut di bawah ini : “Ketika kelak Matahari telah digulung, dan bintang-bintang telah jatuh pecah bertaburan, dan ketika gunung-gunung telah dilayangkan” (Surat Al-Takwir ayat 1 – 3).
“Ketika Bumi telah diguncangkan dengan dahsyat, dan ketika gunung-gunung telah dihancurluluhkan, sehingga kembali menjadi debu bertaburan” (Surat Al-Waqi’ah ayat 4 – 6).
“Dan langitpun terbelah hingga terbuka seolah-olah berlobang-lobang, serta gunung-gunungpun dilayangkan hingga hancur-luluh hilang seolah-olah amun-amun (fatamorgana)”. (Surat An-Naba : 19 – 20).
Dipandang dari segi kehidupan manusia, para ulama telah membagi peristiwa as-sa’ah atau qiyamah ini menjadi dua, yaitu qiyamah-kubra dan qiyamah-shughra. Yang pertama yakni rusak binasanya alam semesta Sebagai yang diterangkan di atas, sedang yang kedua yaitu matinya manusia. Oleh sebab itu walaupun umpamanya kehancuran alam-semesta itu masih bermilyar-milyar tahun lagi namun matinya manusia akan terjadi setelah habisnya usia yang amat singkat; yang mana setelah mati manusia tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi untuk menolong dirinya. Dengan demikian qiyamah-shughra bagi kehidupan manusia mempunyai arti dan kedududukan yang terlebih penting untuk diperhatikan dan diwaspadai.
-------------------------
Menyingkap Tabir Rahasia Maut, Cetakan ke-2, H. Djarnawi Hadikusuma, PT. Percetakan Persatuan Yogyakarta, halaman 21-23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar