Senin, 03 Februari 2014

Pemerintahan Abu Bakr (10)

Sebabnya Membiarkan Pemerintahan Tanpa Beraturan pada Masa Abu Bakr
Abu Bakr tak punya waktu yang cukup untuk membuat suatu sistem pemerintahan atas prinsip-prinsip tersebut di negeri-negeri yang sudah dibebaskan oleh Muslimin pada masa pemerintahannya itu. Kota-kota yang sudah dibebaskan oleh Khalid bin Walid diserahkan kepada penduduk setempat mengurus administrasinya, sementara pihak Muslimin masih menjaga keutuhan politik negara dan mengatur segala kepentingan umum. Dan ini tak dapat disebut organisasi pemerintahan, melainkan suatu keadaan darurat yang berjalan menurut strategi perang pada waktu peperangan sedang berkecamuk antara pihak Muslimin dengan Persia. Keadaannya masih berada di bawah komando militer.
Begitu juga di Syam ketika dibebaskan keadaannya sama dengan di Irak. Buat kalangan daerah-daerah yang dibebaskan oleh Muslimin pemerintahan atas dasar musyawarah terasa baru sekali. Begitu juga Islam terasa baru di tengah-tengah agama-agama yang ada di sekeliling Semenanjung itu. Pada waktu itu yang ada adalah kekuasaan otoriter, kekuasaan mutlak di tangan pribadi. Kalangan pendeta dan biarawan serta pemuka-pemuka agama yang lain mendukung kekuasaan otoriter itu. Mereka pula yang memberikan kepada penguasa demikian itu kedudukan suci yang sungguh mengerikan, yang karena hebatnya membuat jantung bergetaran, membuat semua orang tunduk dan sujud di hadapannya.
Itu pula sebabnya, ketika orang melihat hukum yang baru ditegakkan atas dasar persamaan dan keadilan – sejalan  dengan kehendak rakyat dalam batas-batas sesuai dengan perintah dan larangan Allah – mereka bersemangat menyambutnya. Sambutan mereka itu pulalah yang menyebabkan kemenangan yang dianugerahkan Allah kepada kaum Muslimin. Dalam waktu beberapa tahun saja kedaulatan besar itu berkembang menggantikan imperium Rumawi dan Persia, dan yang kemudian melangkah melampaui perbatasan mereka sampai ke India di timur dan ke Afrika Utara di barat. Bendera Islam akan berkibar menyertai bendera kebenaran, keadilan dan keimanan yang sesungguhnya. ke mana pun perginya, menanamkan prinsip-prinsip kemerdekaan, persaudaraan dan persamaan dalam bentuknya yang paling layak bagi umat manusia, manusia yang memang merindukan kesempurnaan.
Abu Bakr tak punya waktu yang cukup untuk membuat suatu sistem pemerintahan di negeri-negeri yang baru dibebaskan oleh Muslimin pada masa pemerintahannya itu. Juga untuk menyusun suatu sistem yang tetap untuk pemerintahan di negeri Arab sendiri waktunya tak cukup buat Abu Bakr. Semua yang sudah kita baca dalam buku ini, dan pidato-pidato Khalifah pertama itu, dan kebijakannya menempatkan Umar bin Khattab dalam bidang kehakiman, Usman bin Afian dan Zaid bin Sabit dalam sekretariat negara, membuktikan bahwa konsep Islam mengenai sistem pemerintahan sampai waktu itu masih dalam tahap yang belum jelas. Dasar-dasarnya dalam Qur’an dan sunah Rasulullah memang sudah jelas, tetapi penjabarannya masih kabur. Mengenai ini tak banyak yang dikatakan seperti orang berkata tentang pemerintahan Islam masa Banu Umayyah dan Banu Abbas, bahkan pada masa pemerintahan Umar dan masa Usman.
Hal ini wajar saja dalam suatu pemerintah yang sudah ditakdirkan menjadi pemerintah transisi dari waktu ke waktu, yang sangat berbeda dengan pendahulunya – dari segi peradaban, keyakinan, cara berpikir dan dalam segala hal yang berkaitan dengan seluk-beluk kehidupan.

Masih dalam Pengaruh Keadaan Perang
Juga wajar sekali dalam masa perjuangan dan peperangan pemerintahnya lebih menyerupai pemerintah militer daripada pemerintah sipil. Peraturan-peraturan sipil di waktu perang itu makin beringsut dan hampir-hampir habis ditelan oleh peraturan-peraturan militer, ini terjadi di negeri yang peraturan-peraturan sipilnya sudah lama berlangsung dari generasi ke generasi. Apalagi dibandingkan dengan negeri Arab, yang sebelum Islam tak pernah mengalami suatu peraturan sipil dan persatuan yang mantap! Tidak heran dalam hal ini segala peraturan perang dan perjuangan menguasai semua peraturan yang ada, dan kehidupan sipil sangat terpengaruh oleh kejadian-kejadian perang.
Kalau kita katakan bahwa perang ini pada tahun pertama pemerintahan Abu Bakr adalah perang saudara, dan perang ini terjadi untuk menegakkan pemerintahan dengan segala peraturannya, kemudian kita katakan bahwa ketika mulai menghadapi Persia di Irak perang saudara itu sudah berkecamuk, dan ketika menghadapi Rumawi di Syam perang Irak juga sedang panas-panasnya, yakinlah kita bahwa pemikiran untuk menyusun pemerintahan yang stabil dan jelas terinci bukanlah hal yang mudah. Dengan menghadapi dua singa raksasa. Persia dan Rumawi, Abu Bakr sudah terlalu sibuk untuk mengurus yang lain selama untuk menggalang dan menyatukan perjuangan kaum Muslimin dan untuk mencapai kemenangan dalam menghadapi musuh.
Sistem pemerintahan militer ini lebih mirip dengan cara-cara badui yang memang menguasai negeri Arab berikut kabilah-kabilahnya sejak sebelum Islam. Tak ada pasukan militer yang teratur, malah setiap orang Arab bisa jadi prajurit atas dasar kepahlawanan atau keksatriaan. Kalau genderang perang sudah ditabuh dan orang sudah berseru untuk perang, kabilah-kabilah dan penduduk desa keluar beramai-ramai masing-masing dipimpin oleh seorang kepala suku dan kepada desa. Sudah kita lihat bagaimana orang-orang Arab pedalaman penduduk selatan itu keluar tatkala mendengar seruan untuk memerangi pihak Rumawi di Syam dengan membawa istri dan anak-anak mereka, membawa perbekalan dan barang-barang simpanan mereka, tanpa ada paksaan dari pemerintah pusat, dan penghasilan mereka pun bergantung pada barang-barang rampasan perang itu.
Mereka dulu mendapat empat perlima hasil rampasan perang, dan seperlima dikirimkan kepada Khalifah untuk baitulmal dan untuk mengatur segala kepentingan umum yang tak seberapa banyak yang dikelola langsung. Yang paling diutamakan oleh Khalifah dan seperlima ini pengeluaran untuk kaum fakir miskin penduduk Medinah dan orang-orang yang datang ke kota itu. Abu Bakr ingin menjaga pembagian rampasan perang itu kepada mereka dan kepada setiap orang yang berhak menerimanya dari baitulmal. Oleh karena itu baitulmal ini berada di rumahnya di Sunh. Sesudah ia pindah ke Medinah baitulmal itu juga dipindahkan ke Medinah. Dalam hal ini ada yang mengusulkan kepadanya supaya diadakan penjagaan. Tetapi dia menolak sebab apa yang disimpan di dalamnya memang tidak memerlukan penjagaan, juga tidak menyimpan barang yang perlu dikhawatirkan akan dijarah orang.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 358-360.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar