Kamis, 14 Februari 2013

PUTERI PADANG PASIR

Setelah sejarah mencatat sebuah peristiwa besar kehidupan manusia yang memancarkan cahaya ilahi, yaitu cahaya Islam melalui seorang Rasul yang amin (terpercaya), Muhammad bin Abdullah. Setelah mencatat peristiwa tersebut, sejarah melihat padang pasir yang sangat luas di semenanjung Arabia dan melihat kemah-kemah yang ada di sana untuk mengetahui bagaimana kehidupan orang-orang padang pasir, baik dan orang-orang yang terasing, maupun dan orang-orang yang banyak berhubungan dengan dunia luar. Setelah itu, sejarah mencatat semua berita dan peristiwa yang terjadi atas mereka yang mengambil padang pasir sebagai negeri mereka untuk hidup di antara lembah-lembah dan bukit-bukitnya.
Ketika sejarah melintasi jalan yang menghubungkan Mekkah dengan Madinah, ia melihat sebuah kemah yang berdiri di atas sebuah bukit kecil. Sejarah segera menyimpang dari jalan besar, lalu singgah ke kemah di atas bukit kecil itu untuk melihat apa yang sedang terjadi di sana. Ternyata kemah tersebut adalah kemah yang sudah lusuh dimakan zaman dan telah usang oleh terpaan pagi dan siang.
Di sini sejarah berkata : “Kemah ini milik seorang Arab yang bernama Abu Amir yang didirikan di pinggir jalan untuk melindungi dirinya dari terik matahari bersama isterinya yang bernama Ummu Habib.“
Suami isteri itu hidup dalam sebuah kehidupan yang lebih banyak susahnya daripada senangnya, lebih banyak keras daripada lembutnya. Mereka menggembalakan beberapa ekor kambing milik sendiri pada sebuah padang rumput yang terletak di dekat kemah tersebut. Mereka mengeluarkan kambing-kambing tersebut ketika matahari sudah agak tinggi kemudian mereka akan kembali membawa kambing-kambing tersebut ketika malam telah menjelang. Mereka sudah merasa puas dari rezeki hidup yang mereka peroleh dengan menghabiskan hari-hari mereka bersama sedikit kambing ini dan mereka tidak mempunyai lagi sumber penghidupan yang lain selain kambing-kambing ini atau hasil pertemuan mereka dengan kafilah yang lalu lalang dari Madinah ke Mekkah atau dari Mekkah ke Madinah dengan menjual kambing yang lahir atau susu kambing yang diperas di samping kain bulu kambing yang disembelih. Apabila bumi di sekitar mereka kering dan tidak berumput, mereka dengan susah payah harus mencari dan pindah ke tempat lain yang mempunyai rumput untuk menggembalakan kambing-kambing mereka. Begitulah keadaan mereka seterusnya. Namun, mereka selalu berusaha sedapat mungkin untuk bisa tinggal di tempat yang dekat dengan jalan kafilah agar tetap bisa berhubungan dengan para kafilah tersebut. Dari satu segi untuk melepaskan kesepian mereka dan dari segi lain agar mereka bisa menjual apa yang dapat mereka jual atau membeli sesuatu yang baru.
Mereka bermukim dengan keadaan seperti itu selama bertahun-tahun, mulai dari masa muda, setengah baya, hingga umur mereka sudah sama-sama tua. Akan tetapi ketuaan tidak membuat mereka lamban, melemahkan otot dan kekuatan mereka, atau mengurangi semangat mereka. Suami isteri itu selalu tegar dan saling mengisi. Hal itu terlihat dari kekuatan, kegiatan, dan semangat mereka yang tidak sedikit. Hal tersebutlah yang menyebabkan mereka terdorong untuk selalu bergerak, bekerja dan berusaha untuk mencari rezeki dari sumber-sumbernya secara terhormat. Sejarah tidak pernah mencatat kesempitan dan kesulitan goncangan hidup yang mereka hadapi. Namun, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh musibah yang menimpa kambing-kambing mereka sehingga tidak ada lagi kambing yang tersisa kecuali seekor kambing yang kurus dan kecil yang akan mereka peras susunya apabila mereka terdesak untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pada suatu malam yang berudara lembut dengan cuaca yang segar sementara bulan memancarkan cahaya keemasannya yang lembab. Abu Amir merebahkan badannya di sebuah tumpukan pasir yang bersih. Di sampingnya duduk pula isterinya, Ummu Habib, setelah memerah susu kambingnya dan memasukkannya pada sebuah ember. Pada saat itu keduanya tenggelam dalam bermacam-macam cerita indah kecuali cerita tentang kesusahan hidup yang sedang mereka hadapi. Tidak pernah terpikir oleh mereka untuk membincangkannya. Barangkali karena mereka tidak mau mengeruhkan suasana yang indah ketika seorang suami bersama isterinya atau ketika isteri sedang bermanja dengan suaminya. Mereka terus tercerita hingga terlelap.
Keesokan harinya, Abu Amir lebih cepat bangun daripada hari-hari biasanya, seakan-akan dia telah menyimpan suatu rencana yang tidak dikatakan kepada isterinya. Ketika isterinya terbangun, dia tidak menemukan lagi suaminya karena telah pergi pagi sekali tanpa membangunkannya atau memberi tahu kepergiannya. Ummu Habib hanya mengira bahwa suaminya tidak membangunkannya karena kasihan kepadanya dan untuk menjaga waktu istirahatnya dengan harapan agar kembali kepadanya tidak lama setelah itu dengan membawa rezeki baru.
Setelah bangun, Ummu Habib segera melakukan pekerjaan rutinitas paginya, yaitu memerah susu kambing. Kemudian dia beristirahat sambil menunggu kembalinya suami, sambil memikirkan apa kiranya yang akan dibawa suami jika kembali dari kepergian yang tidak disangka-sangkanya. Akan tetapi, hingga hari hampir siang, Abu Amir tidak kunjung tiba. Ummu Habib mengarahkan pandangannya dengan seksama ke seluruh penjuru padang pasir yang luas itu untuk mencari suaminya. Namun, sang suami tidak juga tampak.
Tiba-tiba dia melihat debu-debu tebal yang mengudara dari arah Madinah, serupa dengan debu para kafilah yang biasa lalu lalang. Tidak lama kemudian, dari debu-debu tersebut terlihatlah rombongan kafilah para jamaah haji yang akan menuju Mekkah Mukarromah. Dia yakin bahwa suaminya sudah mengetahui kedatangan kafilah tersebut dan suaminya keluar pada waktu pagi untuk menemui kafilah di persimpangan jalan sehingga dia mendapatkan rezeki dari mereka. Dia juga yakin bahwa suaminya akan pulang membawa apa yang telah ia dapatkan. Kafilah itu telah berlalu, tetapi Abu Umar tidak kunjung tiba. Kecemasan dan keraguan mulai menghantui dirinya sehingga dia terdiam dalam keadaan berkeluh kesah dan risau karena dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Kemudian dia menopang kepalanya dengan dua tangannya sambil berpikir dan merenung. Dalam keadaan seperti itu, pada waktu zuhur, tiba-tiba muncullah tiga pemuda di hadapannya. Dia tidak mengetahui dari mana mereka datang karena dia sedang tenggelam memikirkan suami. Ketika tiga pemuda tersebut bertanya tentang kafilah yang baru lewat, kesadarannya berangsur pulih. Kemudian dia menatap ketiga pemuda tersebut seakan-akan dia sedang mencari suaminya di antara mereka. Lalu Ummu Habib menjawab pertanyaan mereka dengan suara yang berat dan sedih: “Oo, jadi kalian ingin bertanya tentang kafilah tersebut? Aku melihat mereka lewat pada waktu dhuha. Namun apa urusan kalian dengan kafilah tersebut?” Mereka menjawab : “Kafilah tersebut adalah kafilah kami. Kami termasuk dari mereka. Kami ingin menyusulnya. Kami tertinggal rombongan karena ada beberapa hal mendadak yang tidak disangka-sangka dalam perjalanan. Pada kafilah tersebut terdapat barang-barang kami.”
Ummu Habib berkata : “Menurutku, jarak kalian dengan mereka sudah cukup jauh dan aku tidak yakin bahwa kalian akan dapat bergabung dengan mereka kecuali apabila mereka sedang beristirahat di sautu tempat (dia menyebutkan nama tempat tersebut). Apabila kalian berjalan dengan cepat, maka kalian akan berhasil menemukan mereka.”
Mereka terdiam sejenak karena kebingungan. Lalu mereka saling berbisik. Salah seorang dari mereka menghadap Ummu Habib dan berkata : “Wahai hamba Allah, apakah kamu rnempunyai air susu untuk kami minum? Kami sangat haus.” Ummu Habib menjawab : “Silahkan kalian peras susu kambing ini dan minumlah.”
Kemudian mereka memerah dan meminumnya. Setelah itu, salah seorang dari mereka berkata kepada Ummu Habib : “Apakah kamu mempunyai makanan? Kami sangat lapar.” Di menjawab : “Aku tidak mempunyai apa-apa kecuali satu ekor kambing ini. Hendaklah salah seorang di antara kalian menyembelihnya dan aku akan mencarikan kayu bakar untuk kalian. Aku akan memasakkan makanan yang akan kalian makan.” Salah seorang dari mereka segera menyembelih dan menguliti kambing tersebut. Setelah itu Ummu Habib segera menyiapkan makanan untuk mereka dan mereka pun makan sampai kenyang. Mereka berdiam sebentar di sana menunggu badan mereka terasa dingin. Ketika mereka akan berangkat, salah seorang berkata : “Kami adalah beberapa orang dari suku Quraisy yang akan menunaikan ibadah haji. Jika kami kembali datanglah dan sambutlah kami karena kami akan berbuat hal yang baik kepadamu, insya Allah. Kemudian mereka segera berangkat sambil saling bercerita tentang kemurahan, kebaikan, jasa, dan sifat mengutamakan orang lain yang diperlihatkan Ummu Habib.
Tidak lama setelah itu, datanglah Abu Amir dari perjalanannya. Wajah Ummu Habib berseri menyambut kedatangannya karena gembira suaminya telah kembali. Ketika suaminya bertanya tentang kambing, Ummu Habib menjawab : “Apa yang harus aku perbuat? Tadi siang ada beberapa orang suku Quraisy yang lewat di tempat kita ini sementara mereka dalam keadaan haus dan lapar sekali. Aku memberi mereka minum dengan air susu kambing kita dan memberi mereka makan dengan dagingnya. Aku tidak dapat berbuat apa-apa kecuali itu.” Abu Amir marah dan berkata : “Celakalah kamu, wahai Ummu Habib, aku tidak pernah melihat perbuatanmu yang lebih bodoh dan dungu daripada hari ini. Engkau mau saja menyembelih seekor kambing yang menjadi sandaran hidup kita setelah Allah? Dan kamu berikan kepada orang-orang yang tidak engkau kenal! Kamu mengatakan bahwa mereka berasal dari suku Quraisy, siapa tahu? Barangkali mereka adalah gembel Arab atau kaum gelandangan, atau rakyat jelata yang telah menipumu! Mereka dapat memangsamu karena mereka tidak dapat menipu kecuali terhadap orang-orang yang bodoh seperti kamu. Mereka pergi dengan senang hati tanpa ada rasa berat dan rasa belas kasihan sedikitpun sebagaimana kesedihan yang menimpa kita.” Ummu Habib menjawab : “Tak diragukan lagi, mereka benar-benar berasal dari para pemimpin kaum Quraisy sedangkan aku sudah melihat tanda-tanda orang terhormat dan berada pada mereka. Seandainya kamu melihat mereka, niscaya kamu tidak akan ragu-ragu untuk melakukan hal serupa.” Abu Amir ingin menjawab perkataan Ummu Habib, tetapi Ummu Habib memotongnya dan berkata : “Biarkanlah apa-apa yang telah berlalu itu dan hadapilah siang harimu yang tersisa dengan gembira dan ceritakanlah kepadaku apa yang telah terjadi denganmu. Semoga Allah membalas perbuatan baik kita.”
Abu Amir berkata : “Kalau begitu, inilah yang aku lakukan pada hari ini.” Kemudian dia meletakkan makanan yang telah didapat. Lalu keduanya memakan makanan tersebut dan menyimpannya sampai mereka membutuhkannya lagi. Ketika pagi datang, Abu Amir berkata : “Kita tidak mungkin terus tinggal di tempat ini, wahai Ummu Habib. Kita harus segera berpindah untuk mencari penghidupan dan mendapatkan rezeki.” Kemudian mereka berangkat mengarungi bumi yang luas tanpa jelas arahnya. Kadang ke timur dan kadang ke barat, utara, atau ke selatan. Mereka tidak pernah berdiam dalam waktu yang lama pada setiap tempat yang mereka datangi. Mereka terus dalam keadaan yang seperti itu dalam waktu berbulan-bulan. Sepanjang waktu tersebut mereka telah bertemu dengan berbagai kekerasan hidup dan kesusahan yang berat. Setelah mereka merasa bahwa meneruskan hidup dalam keadaan demikian tidak memungkinkan lagi, mereka terpaksa pergi ke kota Madinah dalam keadaan putus asa karena terdesak oleh kebutuhan dan sempitnya dunia. Di Madinah mereka bekerja mengumpulkan kotoran unta yang akan mereka jual untuk pupuk kandang, dan mereka hidup dari penjualan tersebut.
Adapun tentang tiga orang suku Quraisy tersebut. ketika mereka kembali dari ibadah haji. mereka segera mencari Ummu Habib di tempat semula. Akan tetapi, mereka tidak menemukannva lagi, karena mereka tidak bertanya lebib jauh tentang Ummu Habib ketika bertemu pertama kali. Mereka mengira bahwa dia tidak pindah ke tempat jauh dari tempat tersebut dan dia akan menyambut kedatangan mereka untuk membalas perbuatan baiknya yang tidak terlukiskan kebaikannya dalan sejarah. Mereka akan memberikan apa yang mereka bawa karena mereka membawa harta yang banyak untuk membalas jasa baiknya. Apabila suami isteri itu sudah mendapatkannya itu akan membuat mereka kaya sepanjang hidup mereka. Akan tetapi semua itu sudah ditakdirkan Allah.
Kafilah mereka melanjutkan perjalanan. Selama dalam perjalanan menuju Madinah, tiga orang Quraisy tersebut selalu mencari dan bertanya kepada orang-orang, setiap pagi dan petang, tentang Ummu Habib. Tetapi semua itu tidak membuahkan hasil sehingga mereka sampai di kota Madinah al-Munawwarah. Sementara, di dalam diri mereka tersimpan rasa pilu yang bercampur dengan keinginan yang mendalam untuk dapat menunaikan beban di pundak mereka dengan membalas keutamaan dan perbuatan baik seorang perempuan Arab yang berhati mulia dan pemurah.
Di dalam diri salah seorang di antara mereka telah terbersit doa apabila wanita itu sudah mati, semoga Allah merahmatinya dan membalas perbuatan baiknya dengan balasan yang setimpal. Akan tetapi, apabila masih hidup, ia berdoa : “Ya Allah, pertemukanlah aku dengannya agar aku dapat membalas budi baiknya.” Maka Allah pun mengabulkan doanya karena Dia telah berfirman : “Memintalah kepadaku, maka niscaya Aku akan mengabulkannya.” (QS. Ghafir : 6)
Sudah barang tentu pula doa terkabul karena yang berdoa adalah hamba-Nya yang paling diridhai-Nya dan paling dekat dengan-Nya. Tatkala salah satu dari tiga orang Quraisy tersebut, yaitu Hasan bin Ali bin Abu Thalib r.a. sedang berdiri di pintu kota Madinah, tiba-tiba dia melihat Ummu Habib di sebuah jalan kota sedang mengumpulkan kotoran unta sambil menutup wajahnya karena malu oleh perubahan nasibnya. Dan keadaannya terlihat bahwa dia sangat letih dan menderita karena lapar. Hasan dapat mengetahuinya walaupun wajah Ummu Habib tertutup. Kemudian Hasan menyapanya : “Wahai hamba Allah, apakah kamu mengenaliku?” Ummu Habib menjawab : “Tidak, aku kira, aku tidak pernah bertemu dengan kamu sebelum ini.” Lalu Hasan mengenalkan dirinya : “Aku adalah tamumu pada hari yang lalu.” Ummu Habib bertanya : “Kapan pula kamu menjadi tamu saya?” Hasan menjawab : “Pada waktu aku akan pergi haji ke Mekkah, apakah kamu mengingat semua itu?” Ummu Habib menjawab : “Aku ingat semua itu dan aku tidak pernah melupakannya, demi ayahmu dan ibuku, wahai turunan orang-orang mulia, wahai cucu Rasul yang terpercaya.” Hasan bertanya : “Apakah yang menyebabkan kamu di sini dalam keadaan seperti ini?” Dia menjawab : “Aku menjadi begini sejak kamu dan dua orang sahabatmu pergi pada hari yang kamu sebut tadi…...” Hasan menjawab : “Jangan ingat lagi peristiwa sedih ini, wahai ibu.” Kemudian ia memerintahkan seorang pembantunya untuk mempersilakan wanita ini masuk ke rumahnya dan berkata kepada isterinya : “Perlakukanlah dia dengan sebaik-baiknya karena pundak kita memikul jasa-jasa baiknya.” Ummu Habib dan suaminya menetap di rumah Hasan untuk beberapa waktu yang mereka sukai sehingga ketika mereka telah merasa cukup menjadi tamu, Hasan membelikan 100 ekor kambing dan memberinya uang sebanyak 1000 dinar emas. Kemudian Hasan menyuruh pembantunya membawa Ummu Habib ke rumah orang yang kedua dan mereka, yaitu saudaranya, Husain. Husain memperlakukan Ummu Habib sama dengan perlakuan Hasan. Setelah itu, Husain menyuruh pembantunya untuk membawa Ummu Habib ke rumah orang yang ketiga, yaitu Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib ra. Abdullah berkata kepada Ummu Habib : “Berapa banyakkah Hasan dan Husain memberi engkau, wahai Ummu Habib?” Dia menjawab : “Dua ratus ekor kambing dan 200 dinar emas.” Abdullah berkata : “Sekiranya kamu memulai penerimaanmu dariku, sungguh aku akan memberatkan mereka, berdua.” Kemudian Abdullah berkata kepada pembantunya : “Berikanlah kepadanya sebanyak pemberian mereka berdua (Hasan dan Husain).”
Dengan demikian, Ummu Habib yang tua telah mendapatkan 400 ekor kambing dan 4000 dinar emas sebagai balasan dari perbuatan mulia dan budi baik serta sifat lebih mengutamakan orang lain. Segala kebaikan itu mempunyai waktu pembalasannya. Allah telah berfirman : “Dan apapun yang kamu infakkan di jalan Allah, maka Dia akan menggantinya sedangkan Dia Maha Pemberi Rezeki.” (QS. Saba’ : 39)
----------------------------------------------
MEMPERTAJAM KEPEKAAN SPIRITUAL, Majdi Muhammad Asy-Syahawy, Bina Wawasan Press, Jakarta 2001, halaman 248-256.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar