Rabu, 10 Oktober 2012

MUHAMMAD TIDAK MENGHENDAKI PERANG

Dengan pemikiran inilah wahyu itu disampaikan kepada Muhammad sejak ia hijrah. Dan karena itu pula ia sangat mendambakan perdamaian, dan tidak menyukai perang. Dalam hal ini selama hidupnya ia sangat cermat sekali. Ia tidak menempuh jalan itu, kalau tidak terpaksa karena membela kebebasan, membela agama dan kepercayaan. Bukankah, ketika mendengar ada mata-mata memanggil-manggil Quraisy, memberi peringatan tentang mereka itu, penduduk Yathrib yang ikut mengadakan Ikrar ‘Aqaba kedua berkata kepadanya? : “Demi Allah yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran, kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami habiskan dengan pedagang kami.”
Dijawabnya : “Kami tidak diperintahkan untuk itu.”
Bukankah ayat pertama yang datang mengenai perang berbunyi? : “Diizinkan (berperang) kepada mereka yang diperangi, karena mereka dianiayai; dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka.” (QS. 22 : 39)
Dan bukankah ayat berikutnya mengenai soal perang itu Tuhan berfirman? : “Dan perangilah mereka supaya jangan ada lagi fitnah, dan agama seluruhnya untuk Allah. “ (QS. 2 : 193)
Jadi pertimbangan pikiran Muhammad dalam hal ini hanya mempunyai satu tujuan yang luhur, yaitu menjamin kebebasan beragama dan menyatakan pendapat. Hanya untuk mempertahankan itulah perang dibenarkan, dan hanya untuk itu pula dibenarkan menangkis serangan pihak agresor, sehingga jangan ada orang yang dapat dikacau dari agamanya dan jangan pula ada orang yang ditindas karena kepercayaan atau pendapatnya.

PERTIMBANGAN ORANG-ORANG YATHRIB
Kalau inilah tujuan Muhammad dalam pertimbangannya mengenai masalah Yathrib serta harus menjamin adanya kebebasan, maka penduduk kota ini pun menyambutnya dalam pikiran yang serupa, meskipun setiap golongan pertimbangannya saling bertentangan satu sama lain. Penduduk Yathrib pada waktu itu terdiri dari kaum Muslimin — Muhajirin dan Anshar — orang-orang musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj — sedang hubungan kedua golongan ini sudah sama-sama kita ketahui; kemudian orang-orang Yahudi : Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza di Fadak, Banu’n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di Utara.
Adapun kaum Muhajirin dan Anshar, karena solidaritas agama baru itu, mereka sudah erat sekali bersatu. Sungguhpun begitu, kekuatiran dalam hati Muhammad belum hilang samasekali, kalau-kalau suatu waktu kebencian lama di kalangan mereka akan kembali timbul. Sekarang terpikir olehnya bahwa setiap keraguan semacam itu harus dihilangkan Usaha ini akan tampak juga pengaruhnya.
Sebaliknya golongan musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj, akibat peperangan-peperangan masa lampau, mereka merasa lemah sekali di tengah-tengah kaum Muslimin dan Yahudi itu. Mereka mencari jalan supaya antara keduanya itu timbul insiden. Selanjutnya golongan Yahudi, dengan tiada ragu-ragu mereka pun menyambut baik kedatangan Muhammad dengan dugaan bahwa mereka akan dapat membujuknya dan sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah jazirah Arab. Dengan demikian mereka akan dapat pula membendung Kristen, yang telah mengusir Yahudi, — bangsa pilihan Tuhan — dari Palestina, Tanah yang Dijanjikan di tanah air mereka itu.
Dengan dasar pikiran itulah mereka masing-masing bertolak. Mereka membukakan jalan supaya tujuan mereka masing-masing mudah tercapai.
Di sinilah fase baru dalam hidup Muhammad itu dimulai, yang sebelum itu tiada seorang nabi atau rasul yang pernah mengalaminya. Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu, lalu menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan rasa kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib — tanah airnya yang baru — ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi, yang sebelum itu di seluruh wilayah Hijaz belum dikenal; sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman memang sudah pernah ada.
-----------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 195-197

Tidak ada komentar:

Posting Komentar