Sabtu, 21 April 2012

Larangan Memperolok-olok

Hai orang-orang yang beriman ! janganlah segolongan memperolok-olok segolongan, (karena) boleh jadi adalah mereka itu lebih baik dari mereka ini; dan janganlah (segolongan) perempuan (memperolok-olok segolongan) perempuan, (karena) boleh jadi mereka itu lebih baik dari mereka ini; dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu berpanggilan dengan gelaran-gelaran (yang jelek, karena) sebusuk.busuk nama ialah (panggilan) yang buruk sesudah (mereka) beriman; dan barangsiapa tidak bertaubat, maka mereka itu ialah orang-orang yang melewati batas. (QS. 49 : 11).

Tafsir Ayat
"Hai orang-orang yang beriman ! janganlah segolongan memperolok-olok segolongan,..." Mengolok-olok, mengejek, menghina, merendahkan dan seumpamanya, janganlah semuanya itu terjadi dalam kalangan orang yang beriman.
"... boleh jadi adalah mereka itu lebih baik dari mereka ini; ...". Ini peringatan yang halus dari Allah ta'ala. Mengolok-olok, mengejek dan menghina tidaklah layak dilakukan kalau orang merasa dirinya orang yang beriman. Sebab orang yang beriman akan selalu menilik kekurangan yang ada pada dirinya. Dan hanya orang yang tidak beriman jualah yang lebih banyak melihat kekurangan orang lain dan tidak ingat akan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri.
"... dan janganlah (segolongan) perempuan (memperolok-olok segolongan) perempuan, (karena) boleh jadi mereka itu lebih baik dari mereka ini;...". Orang-orang yang kerjanya hanya mencari kesalahan dan kekhilafan orang lain, niscaya lupa akan kesalahan dan kealpaan yang ada pada dirinya sendiri. Hendaklah kita berperangai tawadhu', merendahkan diri, menginsafi kekurangannya.
"... janganlah kamu mencela dirimu sendiri, ....". Sebenarnya mencela orang lain itu sama juga dengan mencela diri sendiri. Kalau sudah berani mencela orang lain, membuka rahasia aib orang lain, janganlah lupa bahwa orang lain pun sanggup membuka rahasia aib kita.
"... dan janganlah kamu berpanggilan dengan gelaran-gelaran (yang jelek), ...". Sebuah anjuran bagi kaum yang beriman, supaya janganlah memanggil teman dengan gelaran-gelaran atau panggilan yang buruk, tukarlah dengan bahasa yang baik yang lebih menyenangkan hatinya.
"... sebusuk.busuk nama ialah (panggilan) yang buruk sesudah (mereka) beriman; ...". Maka kalau orang telah beriman, suasana telah bertukar dari jahiliyah kepada Islam. Karena penukaran nama itu juga ada pengaruhnya bagi jiwa.
"... dan barangsiapa tidak bertaubat, maka mereka itu ialah orang-orang yang melewati batas". Penggantian nama atau panggilan dari yang buruk ketika fasik kepada yang bagus setelah beriman adalah pertanda yang baik dari kepatuhan sejak semula.
Latar Belakang Turunnya Ayat
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang laki-laki mempunyai dua atau tiga nama, dan dipanggil dengan nama tertentu agar orang itu tidak senang dengan panggilan itu. 
Ayat ini (S. 49 : 11) turun sebagai larangan untuk menggelari orang dengan nama-nama yang tidak menyenangkan. Diriwayatkan dalam kitab Sunan yang empat yang bersumber dari Abi Jubair Ibnu Dhahhak. Menurut at-Tirmidzi Hadits ini hasan.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nama-nama gelaran di zaman Jahiliyyah sangat banyak. Ketika Nabi saw. memanggil Seseorang dengan gelarnya, ada orang yang memberi tahukan kepada Nabi bahwa gelar itu tidak disukainya. Maka turunlah ayat ini (S. 49 : 11) yang melarang memanggil orang dengan gelaran yang tidak disukainya.Diriwayatkan oleh al-Hakim dan yang lainnya yang bersumber dari Abi Jubair Ibnu Dlahhak.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini (S. 49 : 11) turun berkenaan dengan Bani Salamah. Ketika Nabi saw. tiba di Madinah orang-orang mempunyai dua atau tiga nama. Apabila Rasulullah memanggil seseorang yang disebutnya dengan salah satu nama itu tetapi ada orang yang berkata : “Ya Rasulallah ! Sesungguhnya ia marah dengan panggilan itu”.
Ayat “wala tana bazu bil alqab” (S. 49 : 11) turun sebagai larangan memanggil orang dengan sebutan yang tidak disukainya. Diriwayatkan oleh Ahmad yang bersumber dari Abi Jubair Ibnu Dlahhak.
---------------
Bibliography :
Tafsir Al-Azhar Juzu' XXVI, Prof Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Penerbit Pustaka Islam Surabaya, cetakan ketiga 1984, halaman 236 - 239.
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 473 - 474.
Tafsir Qur'an Al-Furqan, A. Hassan, Penerbit Al Ikhwan Surabaya, Cetakan Kedua 1986, halaman 1016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar