Minggu, 01 April 2012

UMMU KULTSUM

Beliau adalah seorang wanita yang padat tubuhnya, cantik wajahnya dan lebar kedua pipinya. Rasulullah s.a.w. memberikan nama bagi beliau Ummu Kultsum. Beliau dilahirkan setelah kakaknya yang bernama Ruqayyah. Keduanya sama besar dan sangat mirip dan saling mengasihi dan seolah-olah mereka berdua kembar.
Tatkala Ruqayyah dan Ummu Kulstum telah mencapai usia dewasa, kedua-duanya dipinang secara bersamaan untuk kedua anak Abu Lahab, yaitu Utbah dan Utaibah. Akan tetapi Allah menghendaki kebaikan kepada Ruqayyah dan Ummu Kultsum, maka mereka berdua dikembalikan secara bersama-sama pula sesuai dengan perintah Abu Lahab sang musuh Allah kepada kedua anaknya, “Kepalaku dan kepala kalian berdua haram jika kalian berdua tidak mau menceraikan kedua anak Muhammad.”
Begitulah, dengan perceraian tersebut Ummu Kultsum selamat dari kesulitan hidup bersama pembawa kayu bakar (istri Abu Lahab), begitu pula Ruqayyah juga selamat dari kesengsaraan tersebut bahkan pada gilirannya Ruqayyah dinikahi oleh Utsman bin Affan, selanjutnya beliau berhijrah ke Habsyah.
Maka tinggalah Ummu Kultsum bersama adiknya yaitu Fathimah berada di rumah ayahnya di Makkah ikut membantu ibunya yakni Khadijah Ummul mukminin menghadapi beratnya kehidupan dan ikut meringankan gangguan orang-orang musyrik yang ditujukan kepada kedua orang tuanya.
Hingga sampai pada puncak kebodohannya, orang-orang Quraisy memutuskan untuk memboikot kaum muslimin dan Bani Hasyim. Pemboikotan ketika itu berupa menghalangi mereka dari berbagai keperluan, menggencet ekonomi dan kemasyarakatan. Maka di sanalah sebagaimana orang lain, Ummu Kultsum juga termasuk di antara orang yang merasakan sempitnya hidup karena pemboikotan dan merasakan perihnya rasa lapar yang amat sangat, sampai-sampai mereka makan daun-daunan pohon. Hal itu berlangsung hingga tiga tahun lamanya.
Pada saat itulah Ummu Kultsum memiliki tanggung jawab yang paling besar, karena ibunya Khadijah menderita sakit karena pemboikotan tersebut maka beliau hanya bisa berbaring di tempat karena sakit parah. Ditambah lagi adiknya Fathimah Azhra’ masih butuh penjagaan dan bantuannya. Dan tidak lain Ummu Kultsumlah yang senantiasa merawat ibunya yang sedang mengurusi adiknya dan turut meringankan beban penderitaan dan kesedihan ayahnya.
Setelah kaum muslimin keluar dari ujian pemboikotan, maka bertambahlah ujian yang menimpa mereka dan bertambah kuat pula tekad mereka dengan adanya cobaan tersebut. Di rumah nubuwwah di Makkah Khadijah Ummul mukminin sedang menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sementara ke tiga putrinya, Zainab, Ummu Kultsum dan Fathimah mengelilingi beliau. Begitu pula suami yang dicintainya duduk di sampingnya ikut meringankan sakaratul maut dan memberi kabar gembira kepada istrinya dengan apa yang telah Allah janjikan untuk dirinya berupa nikmat di akherat.
Pada tanggal 10 Ramadhan tahun kesepuluh setelah bi’tsah, berangkatlah ruh yang suci menghadap Allah Azza wa Jalla. Maka Ummu Kultsum menjadi orang yang paling bertanggung jawab mengurus rumah tangga Nubuwah yang suci.
Setelah orang-orang Quraisy merasa gagal untuk mencegah beliau melalui bidang politik dan kemasyarakatan, mereka memutuskan untuk melenyapkan Nabi s.a.w. Akan tetapi Allah telah memberitahukan kepada beliau tentang rahasia musuh dan memerintahkan kepada beliau untuk hijrah ke Yatsrib.
Kaum muslimin hijrah menuju tempat yang memiliki izzah dan pembela. Begitu pula Rasulullah hijrah dengan ditemani sahabat beliau Abu Bakar Ash Shidiq, sedangkan yang tetap tinggal adalah Ummu Kultsum dan Fathimah di Makkah dengan menjaga keselamatan mereka hingga Rasulullah mengirimkan utusan yakni Zaid bin Haritsah untuk menjemput mereka berdua menuju Yatsrib.
Dan setelah dua tahun Rasulullah tinggal di Madinah, Ummu Kultsum menyaksikan kembalinya Nabi dari perang Badar dengan membawa kemenangan. Namun beliau juga menyaksikan wafatnya saudarinya yang mirip dengannya yakni Ruqayyah istri Utsman bin Affan karena sakit yang dideritanya.
Bersamaan dengan permulaan tahun ketiga Hijriyah, Ummu Kultsum sering melihat Utsman bin Affan bolak-balik menemani ayahnya untuk mencari jalan keluar yang dapat menghibur dirinya setelah kehilangan istri yang sangat berarti bagi dirinya. Pada saat yang sama Umar bin Khaththab menemui Rasulullah untuk mengadu dan nampak marah atas sikap Abu Bakar dan Utsman yang menolak tatkala Umar menawarkan kepada mereka untuk menikahi putrinya yaitu Hafshah. Ketika itu Ummu Kultsum mendengar ayahnya ‘Alaihish Shalatu Wassalam bersabda kepada Umar dengan lemah lembut :
“Hafshah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik daripada Utsman dan Utsman akan menikah dengan wanita yang lebih baik daripadi Hafshah.“
Maka berdebar-debarlah hati Ummu Kultsum, karena dengan kecerdasannya beliau bisa menangkap maksud ayahnya bahwa diri akan dinikahkan dengan Utsman, sebab siapa lagi yang lebih baik daripada Hafshah binti Umar selain putri Nabi s.a.w.?
Ketika Ummu Kultsum mengenang saat-saat bersama saudari dekatnya, Ruqayyah tatkala masih hidup, tiba-tiba Rasulullah s.a.w. memanggil beliau untuk menyampaikan kabar.
Kemudian dilakukanlah akad nikah antara Ummu Kultsum dengan Utsman bin Affan, pada hari itu pula Utsman dijuluki “Dzun Nuuraini” sebab belum pernah ada seorangpun yang dinikahkan dengan dua putri Nabi selain dirinya. Berpindahlah Ummu Kultsum ke rumah suaminya dan beliau hidup bersamanya selama enam tahun. Beliau menyaksikan Islam sampai pada puncak kejayaan. Beliau juga menyaksikan ayahnya s.a.w. keluar dalam peperangan demi peperangan untuk menguatkan Islam dan menjadikan Islam jaya. Adapun suaminya “Dzun Nuuraini” bersama dengan para sahabatnya berjihad dengan harta dan jiwa.
Ummu Kultsum juga menyaksikan “Yaumun Nashr Al-A kbar” yakni hari dibukanya kota Makkah, sehingga timbullah keinginan hati beliau untuk dapat mengunjungi kubur ibunya, hanya saja wafat telah mendahuluinya pada bulan Sya’ban tahun 9 Hijriyah. Maka Rasulullah menguburkan beliau disamping saudari dekat yang dicintainya yakni Ruqayyah.
Semoga Allah merahmati Ummu Kultsum yang ikut andil besar dalam menanggung beban dakwah di jalan Allah yang mana beliau berada pada masa yang penuh dengan penderitaan dan posisi dakwah yang paling sulit serta kerasnya hari-hari berjihad.
-------------------------------------------------------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 130 – 133

Tidak ada komentar:

Posting Komentar