Di dalam buku “Ihya’ Ulumiddin” karya Imam al-Ghazali pada halaman 593-594 menuturkan bahwa menjadi imam itu adalah semata-mata ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla dan menunaikan amanah Allah ta’ala, mengenai suci dan seluruh syarat-syarat sholatnya.
Adapun ikhlas, yaitu tidak mengambil upah atas pekerjaannya menjadi imam. Rasulullah s.a.w. menyuruh Usman bin Abil-‘Ash Ats-Tsaqafi dengan mengatakan : “Ambillah seorang muadzin yang tidak mengambil upah atas adzannya”. (HR. Al-Hakim).
Kalau upah itu diambil dari masjid sebagai penghidupan, dari harta yang telah diwakafkan untuk orang yang ditugaskan menjadi imam di masjid itu atau dari sultan atau dari seseorang manusia, maka tidaklah dihukumkan haramnya. Tetapi adalah makruh hukumnya. Upah itu berdasarkan atas tetapnya mengunjungi tempat sholat dan mengurus kepentingan masjid, tentang mendirikan sholat jama’ah. Dan tidaklah upah itu karena sholat itu sendiri.
Adapun amanah, ialah kesucian bathin dari fasiq, dosa besar dan berkekalan berbuat dosa kecil. Maka orang yang dicalonkan untuk menjadi imam, seyogialah menjaga diri dari perbuatan yang tersebut dengan seluruh tenaga yang ada padanya. Karena imam itu adalah seperti utusan dan pembawa syafa’at kepada orang banyak. Maka sepantasnyalah dia orang yang terbaik dari golongannya.
Demikian pula suci dhahir daripada hadats dan najis, karena tidak ada yang memandangnya, selain dia sendiri.
Kalau ia teringat kepada hadats, pada waktu sedang sholat atau keluar daripadanya angin, maka tidaklah wajar ia merasa malu. Tetapi diambilnyalah tangan orang yang berada dekat dengannya dan orang itu menggantikannya selaku imam.
Dari Abi Bakrah berkata : Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. teringat akan hadats besar (janabat) waktu sedang sholat, lalu beliau gantikan orang lain menjadi imam dan beliau pergi mandi. Kemudian kembali lagi dan masuk ke dalam sholat. (HR. Abu Dawud).
-------------------------------------------
Ihya’ Ulumiddin Jilid 1, Imam al-Ghazali, Penerbit C.V. Faizan Jakarta, cetakan kesembilan 1986.
Adapun ikhlas, yaitu tidak mengambil upah atas pekerjaannya menjadi imam. Rasulullah s.a.w. menyuruh Usman bin Abil-‘Ash Ats-Tsaqafi dengan mengatakan : “Ambillah seorang muadzin yang tidak mengambil upah atas adzannya”. (HR. Al-Hakim).
Kalau upah itu diambil dari masjid sebagai penghidupan, dari harta yang telah diwakafkan untuk orang yang ditugaskan menjadi imam di masjid itu atau dari sultan atau dari seseorang manusia, maka tidaklah dihukumkan haramnya. Tetapi adalah makruh hukumnya. Upah itu berdasarkan atas tetapnya mengunjungi tempat sholat dan mengurus kepentingan masjid, tentang mendirikan sholat jama’ah. Dan tidaklah upah itu karena sholat itu sendiri.
Adapun amanah, ialah kesucian bathin dari fasiq, dosa besar dan berkekalan berbuat dosa kecil. Maka orang yang dicalonkan untuk menjadi imam, seyogialah menjaga diri dari perbuatan yang tersebut dengan seluruh tenaga yang ada padanya. Karena imam itu adalah seperti utusan dan pembawa syafa’at kepada orang banyak. Maka sepantasnyalah dia orang yang terbaik dari golongannya.
Demikian pula suci dhahir daripada hadats dan najis, karena tidak ada yang memandangnya, selain dia sendiri.
Kalau ia teringat kepada hadats, pada waktu sedang sholat atau keluar daripadanya angin, maka tidaklah wajar ia merasa malu. Tetapi diambilnyalah tangan orang yang berada dekat dengannya dan orang itu menggantikannya selaku imam.
Dari Abi Bakrah berkata : Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. teringat akan hadats besar (janabat) waktu sedang sholat, lalu beliau gantikan orang lain menjadi imam dan beliau pergi mandi. Kemudian kembali lagi dan masuk ke dalam sholat. (HR. Abu Dawud).
-------------------------------------------
Ihya’ Ulumiddin Jilid 1, Imam al-Ghazali, Penerbit C.V. Faizan Jakarta, cetakan kesembilan 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar