Jumat, 24 Februari 2017

Suami Menceraikan Istri

Di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah (2) : 231, الله سبحانه وتعالى menasehati orang beriman untuk tidak berbuat zalim perihal masa 'iddah, dalam firman-Nya :

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوا۟ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُۥ ۚ وَلَا تَتَّخِذُوٓا۟ ءَايٰتِ اللَّـهِ هُزُوًا ۚ وَاذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ اللَّـهِ عَلَيْكُمْ وَمَآ أَنزَلَ عَلَيْكُم مِّنَ الْكِتٰبِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِۦ ۚ وَاتَّقُوا۟ اللَّـهَ وَاعْلَمُوٓا۟ أَنَّ اللَّـهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Dan apabila kamu menceraikan isteri, lalu (hampir) sampai 'iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang patut atau ceraikanlah mereka dengan cara yang patut (pula). Dan janganlah kamu rujuki mereka untuk memudaratkannya, karena dengan demikian kamu melanggar (hukum-hukum Allah). Dan barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu dan apa-apa yang Dia turunkan atasmu yaitu kitab dan hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (231).

Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu 'Abbas رضي الله عنهما dikemukakan, seorang laki-laki yang menceraikan isterinya, kemudian merujuknya sebelum habis masa 'iddahnya terus menceraikannya lagi dengan maksud menyusahkan dan mengikat isterinya agar tidak bisa kawin dengan yang lain. Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS. 2 : 231). (HR. Ibnu Jarir).
Dalam suatu riwayat lain yang bersumber dari as-Suddi dikemukakan bahwa turunnya ayat ini (QS. 2 : 231) berkenaan dengan Tsabit bin Yasar al-Anshari yang men-thalaq isterinya, dan setelah  hampir habis masa 'iddahnya ia meruju' lagi, dan menceraikannya lagi dengan maksud menyakiti isterinya. (HR. Ibnu Jarir).
Dalam suatu riwayat lain yang bersumber dari Abid-Darda رَضِيَ اللََّهُ عَنْه dikemukakan bahwa seorang laki-laki menthalaq isterinya, kemudian berkata : "Sebenarnya aku hanya main-main saja". Kemudian ia memerdekakan hambanya, tetapi tidak lama kemudian ia berkata : "Aku hanya main-main saja". Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS. 2 : 231) sebagai teguran akan perbuatan seperti itu (HR. Ibnu Abi Umar).

Tafsir Ayat
QS. 2 : 231. "Dan apabila kamu menceraikan isteri, lalu (hampir) sampai 'iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang patut atau ceraikanlah mereka dengan cara yang patut (pula). Dan janganlah kamu rujuki mereka untuk memudaratkannya, karena dengan demikian kamu melanggar (hukum-hukum Allah). Dan barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu dan apa-apa yang Dia turunkan atasmu yaitu kitab dan hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".

Ayat diatas menuturkan cara yang mesti dilakukan oleh suami yang telah menjatuhkan talak kepada istrinya sebagai penjelasan bagi ayat-ayat sebelumnya. Adapun sebab turunnya ayat ini ada dua riwayat masing-masing dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abbas رضي الله عنهما dan As-Sudi. Ibnu Jarir dan Ibnu Abbas رضي الله عنهما menceritakan bahwa pada masa Rasulullah ﷺ ada seorang laki-laki yang mentalak istrinya. Kemudian sebelum masa iddah istrinya itu habis dia merujuknya kembali. Setelah itu dijatuhkannya talak lagi kemudian merujuknya kembali. Hal ini dilaksanakan untuk menyakiti dan menganiaya istrinya tersebut, maka turunlah ayat di atas.
As-Sudi menceritakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tindakan seorang sahabat dari golongan Ansar, yaitu Sabit bin Yasar yang telah mentalak istrinya. Setelah masa iddah istrinya tinggal dua atau tiga hari lagi ia rujuk kepada istrinya tersebut, kemudian dijatuhkannya talak kembali dengan tujuan untuk menyusahkan istrinya itu. Maka turunlah ayat ini melarang perbuatan itu.
Apabila seorang suami telah menjatuhkan talak kepada istrinya, maka ketika masa iddah dari istrinya itu telah hampir berakhir hendaklah ia memilih salah satu dari dua pilihan yaitu melakukan rujuk atau tetap bercerai dengan cara yang baik. Karena dengan habisnya iddah maka putuslah perkawinan suami istri. Hal mana berarti bekas istrinya itu bebas memilih jodoh yang lain.
Selanjutnya ayat ini melarang seorang suami melakukan rujuk kepada istrinya dengan tujuan untuk menyakiti dan menganiaya. Larangan الله سبحانه وتعالى ini selain menggambarkan tingkah laku masyarakat pada masa jahiliah di mana suami menjatuhkan talak kepada istrinya, tanpa batas tertentu dan setiap akan mendekati akhir dari masa iddah suami melakukan rujuk kembali dan demikianlah seterusnya. Juga menjadi penjelasan dari tindakan sahabat Sabit bin Yasar yang telah diuraikan dalam hal sebab turunnya ayat ini. Suami yang berbuat demikian adalah menganiaya dirinya sendiri, suatu perbuatan yang dapat menimbulkan permusuhan dengan kaum kerabat keluarga istrinya dan juga dibenci oleh masyarakat, dan akhirnya nanti ia tidak luput dari kemurkaan Allah.
Dalam ayat ini الله سبحانه وتعالى melarang manusia mempermainkan hukum-hukum-Nya termasuk hukum-hukum yang mengatur hubungan suami istri untuk membawa manusia kepada hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Ketentuan-ketentuan itu merupakan suatu nikmat dari Allah yang wajib diingat dan diamalkan sebagai tanda bersyukur kepada-Nya.
Tak ada perselisihan ulama dalam lingkungan mazhab empat tentang sahnya talak yang dijatuhkan oleh suami dengan jalan main-main (tidak sungguh-sungguh).
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ  :

ثلاث جدهن جد و هزلهن جد : النكاح و الطلاق و الرجعة

Ada tiga masalah jika dilakukan dengan sungguh-sungguh jadinya sungguh-sungguh dan jika dilakukan dengan cara bermain-main maka jadinya sungguh-sungguh juga; yaitu nikah, talak dan rujuk. (HR Arba'ah kecuali An Nisa'i dari Abu Hurairah)

Bersetubuh dengan istri yang masih dalam iddah raj`i haram hukumnya menurut mazhab Syafii karena sahnya raj`i adalah dengan ucapan (lafal). Sedang menurut mazhab Hanafi dan Hambali, persetubuhan dianggap rujuk meskipun tanpa lafal dan ucapan.
---------------
Bibliography :
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 80 - 81.
Al Qur'an Terjemahan Indonesia, Tim DISBINTALAD (Drs. H.A. Nazri Adlany, Drs. H. Hanafie Tamam dan Drs. H.A. Faruq Nasution); Penerbit P.T. Sari Agung Jakarta, cetakan ke tujuh 1994, halaman 66.
Tafsir Al-Quran Kemenag Online    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar