Jumat, 03 Februari 2017

Masa 'Iddah Wanita

Di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah (2) : 228, Allah سبحانه وتعالى menegaskan pentingnya masa 'iddah bagi wanita beriman yang dithalaq dalam firman-Nya :

وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوٓءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّـهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلٰحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِى عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّـهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah menunggu tiga kali quru'. Dan mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang dijadikan Allah dalam rahimnya, kalau mereka benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami mereka lebih berhak merujuki mereka dalam massa 'iddah itu, kalau mereka menghendaki perdamaian. Dan perempuan (isteri) ada hak seimbang dengan hak laki-laki (suami) atas mereka secara patut, dan laki-laki mempunyai suatu derajat lebih tinggi dari perempuan. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (228).

Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Asma' binti Yazid bin as-Sakan al-Anshariyyah رَضِيَ اللََّهُ عَنْه dikemukakan bahwa beliau berkata mengenai turunnya ayat tersebut diatas (QS. 2 : 228) sebagai berikut : Aku dithalaq oleh suamiku di zaman Rasulullah ﷺ di saat belum ada hukum 'iddah bagi wanita yang dithalaq, maka Allah menetapkan hukum 'iddah bagi wanita yaitu menunggu setelah bersuci dari 3 kali haid". (HR. Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim).
Dalam riwayat lain yang bersumber dari al-Kalbi dan Muqatil dikemukakan bahwa Ismail bin Abdillah al-Ghifari menceraikan isterinya, Qathilah di zaman Rasulullah ﷺ Ia sendiri tidak mengetahui bahwa isterinya itu hamil. Setelah ia mengetahuinya, ia ruju' kepada isterinya. Isterinya melahirkan dan meninggal, demikian juga bayinya. Maka turunlah ayat tersebut diatas (QS. 2 : 228) yang menegaskan betapa pentingnya masa 'iddah bagi wanita untuk mengetahui hamil tidaknya isteri. (HR. ats-Tsa'labi dan Hibatullah bin Salamah).

Tafsir Ayat
Allah memerintahkan kepada wanita-wanita yang diceraikan dan telah dicampuri, sedangkan mereka mempunyai masa quru', hendaklah mereka menunggu selama tiga kali quru'. Yakni salah seorang dari mereka yang dicerai oleh suaminya melakukan 'iddahnya selama tiga kali quru', kemudian kawin jika menghendaki.
Ulama Salaf dan Khalaf serta para imam berbeda pendapat tentang makna yang dimaksud dari istilah quru'. Apakah makna yang sebenarnya? Ada dua pendapat mengenainya, yaitu:

Pendapat pertama. Yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci.
Imam Malik mengatakan di dalam kitab Muwatta'-nya, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari 'Aisyah, bahwa Hafsah binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pindah ketika memasuki darah haid-nya yang ketiga kali (yakni pindah ke rumah suaminya). Ketika hal tersebut diceritakan kepada Umrah binti Abdur Rahman, ia mengatakan bahwa Urwah benar dalam kisahnya. Akan tetapi, ada sejumlah ulama yang membantah; mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam Kitab-Nya: tiga kali quru'. (Al-Baqarah: 228) Maka Aisyah berkata, "Kalian memang benar, tetapi tahukah kalian apa yang dimaksud dengan quru" Sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci."
Imam Malik meriwayatkan pula dari Ibnu Syihab, bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Aku belum pernah menjumpai seorang pun dari kalangan ahli fiqih kami melainkan ia mengatakan hal yang sama (yakni quru' adalah masa suci)." Yang dimaksud ialah sama dengan apa yang dikatakan oleh Aisyah.
Imam Malik meriwayatkan pula dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, bahwa ia pernah mengatakan, "Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya, lalu si istri memasuki masa haidnya yang ketiga, berarti dia telah terlepas dari suaminya dan suaminya terlepas darinya." Selanjutnya Imam Malik mengatakan, "Memang demikianlah yang berlaku di kalangan kami."
Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Zaid ibnu Sabit, Salim, Al-Qasim, Urwah, Sulaiman ibnu Yasar, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman, Aban ibnu Usman, Ata ibnu Abu Rabah, Qatadah, dan Az-Zuhri serta tujuh orang ahli fiqih lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, mazhab Syafii, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, serta Daud dan Abu Saur. Pendapat ini sama dengan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Mereka mengatakan demikian berdalilkan firman-Nya:

{فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ}

Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (At-Talaq: 1)

Yakni di masa sucinya. Juga karena mengingat masa suci waktu si suami menjatuhkan talak padanya terhitung, maka hal ini menunjukkan bahwa masa suci merupakan salah satu quru' yang tiga yang diperintahkan bagi si istri untuk menjalaninya. Karena itulah mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wanita yang ada dalam 'iddahnya, masa idahnya habis dan terpisah dari suaminya bila ia memasuki masa haidnya yang ketiga.
Batas minimal masa yang di jalani oleh seorang istri hingga masa 'iddahnya habis ialah tiga puluh dua hari dan dua lahzah. Abu Ubaidah dan lain-lainnya mengatakan demikian dengan berpegang kepada perkataan seorang penyair, yaitu Al-A'sya:

فَفِي كُلِّ عَامٍ أَنْتَ جَاشِمُ غَزْوَةٍ ... تَشُدُّ لأقصاها عزيم عزائكا
 مورثة مالا وفي الذكر رِفْعَةٌ ... لَمَّا ضَاعَ فِيهَا مِنْ قُرُوءِ نِسَائِكَا
Setiap tahun kamu selalu menggeluti perang, sekalipun jauh, tekad dan semangatmu tetap menyala, banyak harta benda (ganimah) yang kamu peroleh, dan kamu dari keturunan yang terhormat, sekalipun tersia-siakan di dalamnya masa suci istri-istrimu.

Penyair memuji seorang Amir Arab yang lebih senang memilih berperang daripada tinggal di rumah, hingga terlewatkanlah masa-masa suci istri-istrinya; ia tidak menyetubuhi mereka di masa-masa tersebut.

Pendapat kedua. Yang dimaksud dengan quru' ialah masa haid.
Karena itu, menurut pendapat ini seorang istri masih belum habis masa 'iddahnya sebelum bersuci dari haid yang ketiga kalinya. Ulama lainnya menambahkan harus mandi terlebih dahulu dari haidnya.
Batas minimal waktu yang di jalani oleh seorang wanita hingga sampai habis masa 'iddahnya adalah tiga puluh tiga hari dan satu lahzah.
As-Sauri meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, dari Alqamah yang menceritakan, "Kami pernah berada di hadapan Khalifah Umar ibnu Khattab رَضِيَ اللََّهُ عَنْه. Lalu datang kepadanya seorang wanita dan berkata kepadanya, 'Sesungguhnya suamiku telah menceraikan aku selama sekali atau dua kali haid. Lalu ia datang kepadaku, sedangkan aku telah melepaskan bajuku dan pintuku telah kututup.' Maka Umar berkata kepada Abdullah ibnu Mas'ud, 'Menurut pendapatku, dia telah menjadi istrinya, hanya salat masih belum dihalalkan baginya.' Ibnu Mas'ud berkata, 'Aku pun berpendapat demikian'."
Demikian pula hal yang diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Ubadah ibnus Samit, Anas ibnu Malik, Ibnu Mas'ud, Mu'az, Ubay ibnu Ka'b, Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab, Alqamah, Al-Aswad, Ibrahim, Mujahid, Ata, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Muhammad ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Asy-Sya'bi, Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, Makhul, Ad-Dahhak, dan Ata Al-Khurrasani. Mereka semua mengatakan bahwa quru' artinya haid.
Pendapat ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal yang paling sahih di antara kedua riwayatnya. Al-Asram meriwayatkan darinya, bahwa ia (Imam Ahmad) pernah mengatakan, "Para pembesar sahabat Rasulullah ﷺ mengatakan bahwa quru' artinya haid."
Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab As-Sauri, Al-Auza'i, ibnu Abu Laila, Ibnu Syabramah, Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Hay, Abu Ubaid, dan Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai melalui jalur Al-Munzir ibnul Mugirah, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Fatimah binti Abu Hubaisy, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda kepadanya:

«دَعِي الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ»
Tinggalkanlah salat dalam hari-hari quru'-mu (haidmu).

Seandainya disebutkan dengan jelas bahwa quru' artinya haid, maka hal ini lebih sahih, tetapi Al-Munzir (salah seorang perawinya) disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim sebagai perawi yang majhul (tak dikenal) lagi tidak masyhur. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam kitab As-Siqat.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal quru' di dalam percakapan orang-orang Arab menunjukkan pengertian waktu bagi kedatangan suatu hal yang telah menjadi kebiasaan kedatangannya, lagi dalam waktu yang telah dimaklumi, juga kepada kepergian sesuatu hal yang biasa kepergiannya dalam waktu yang telah dimaklumi. Ungkapan ini menunjukkan pengertian yang bersekutu antara haid dan suci. Pendapat inilah yang dipegang oleh sebagian ulama Usul.
Menurut Al-Asmu'i, quru' artinya waktu. Abu Amr ibnul Ala mengatakan bahwa orang-orang Arab menamakan haid dengan sebutan quru', begitu pula masa suci. Dengan kata lain, haid dan suci dinamakan quru'.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama bahasa dan ahli fiqih, bahwa yang dimaksud dengan quru' ialah haid dan suci; dan sesungguhnya mereka hanya berselisih pendapat tentang makna yang dimaksud dari ayat ini, yaitu terdiri atas dua pendapat.

Firman Allah سبحانه وتعالى :

{إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}

jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. (Al-Baqarah: 228)

Ayat ini mengandung makna ancaman yang ditujukan kepada mereka jika mereka menentang perkara yang hak. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatunya dalam masalah ini dikembalikan kepada pihak wanita, karena hal ini tidak dapat diketahui kecuali dari pihak mereka sendiri; dan sulit untuk menegakkan bayyinah (bukti) pada kebanyakannya untuk membuktikan hal tersebut. Karena itu, segala sesuatu di-kembalikan kepada mereka. Lalu mereka diancam oleh ayat ini agar jangan sekali-kali mereka memberitahukan kecuali hanya kebenaran belaka, mengingat adakalanya pihak wanita mau mempercepat masa idahnya atau berkeinginan memperpanjang masa idahnya karena ada maksud-maksud tertentu. Karena itulah seorang istri diperintahkan agar menceritakan hal yang sebenarnya dalam hal ini tanpa menambah-nambahi atau mengurangi.

Firman Allah Swt.:

{وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا}

Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah. (Al-Baqarah: 228)

Maksudnya, suami yang menceraikannya lebih berhak untuk merujukinya selagi ia masih berada dalam 'iddahnya, jika tujuan rujuk itu adalah untuk perdamaian dan kebaikan. Hal ini berlaku bagi wanita-wanita yang ditalak raj'i. Adapun bagi wanita-wanita yang diceraikan secara bain, maka di saat turunnya ayat ini belum ada yang namanya talak bain. Talak bain baru ada setelah dibatasi sampai tiga kali.
Adapun di saat ayat ini diturunkan, maka seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya sebanyak seratus kali. Ketika mereka dibatasi oleh ayat sesudahnya hanya tiga kali talak, maka baru muncul di kalangan orang-orang ada wanita yang ditalak bain dan yang bukan talak bain (talak raj'i).
Apabila Anda renungkan masalah ini, maka tampak jelas bagi Anda kelemahan metode yang ditempuh oleh sebagian ulama Usul, yaitu mereka yang menyimpulkan dalil dari ayat ini tentang masalah kembalinya damir yang ada padanya. Dengan kata lain, apakah damir tersebut men-takhsis pengertian lafaz umum yang sebelumnya ataukah tidak? Karena sesungguhnya tamsil yang ada pada ayat ini bersifat tidak mutlak seperti apa yang mereka sebutkan.

Firman Allah سبحانه وتعالى :

{وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ}

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (Al-Baqarah: 228)

Yakni para wanita mempunyai hak atas suami mereka seimbang dengan hak yang ada pada para lelaki atas diri mereka. Karena itu, hendaklah masing-masing pihak dari keduanya menunaikan apa yang wajib ia tunaikan kepada pihak lain dengan cara yang makruf.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam haji wada'nya:

"فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أخذتموهُنّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشَكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ وَكِسَوْتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ".

Maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam masalah wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah, dan kalian halalkan farji mereka dengan kalimat Allah. Maka bagi kalian atas mereka hendaknya mereka tidak mengizinkan seorang lelaki yang kalian benci menginjak permadani (rumah) kalian. Dan jika mereka mengizinkan hal tersebut, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai, dan bagi mereka pangan dan sandangnya secara makruf.

Di dalam hadis Bahz ibnu Hakim, dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, apakah hak istri seseorang di antara kami?" Rasulullah ﷺ menjawab:

"أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طعمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِبَ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّح، وَلَا تَهْجُرَ إِلَّا فِي الْبَيْتِ"

Hendaknya kamu memberi makan dia jika kamu makan, memberi pakaian kepadanya jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah, jangan pula berkata-kata buruk serta jangan pula mengisolasinya kecuali di dalam lingkungan rumah.

Waki' meriwayatkan dari Basyir ibnu Sulaiman, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya aku benar-benar suka berhias diri untuk istri, sebagaimana si istri suka berhias untukku." Ibnu Abbas mengatakan demikian karena Allah سبحانه وتعالى telah berfirman: Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (Al-Baqarah: 228)
Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. 
Firman Allah سبحانه وتعالى :

{وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ}

Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. (Al-Baqarah: 228)

Yakni keutamaan dalam hal pembawaan, akhlak, kedudukan, taat pada perintah, berinfak, mengerjakan semua kepentingan, dan keutamaan di dunia serta akhirat. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

الرِّجالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّساءِ بِما فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلى بَعْضٍ وَبِما أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34)

Adapun firman Allah سبحانه وتعالى.:

{وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ}

Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 228)

Yakni Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya terhadap orang yang durhaka kepada-Nya dan menentang perintah-Nya, lagi Mahabijaksana dalam perintah, syariat, dan takdir-Nya.
---------------
Bibliography :
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 77.
Tafsir Ibnu Katsir Online
Al Qur'an Terjemahan Indonesia, Tim DISBINTALAD (Drs. H.A. Nazri Adlany, Drs. H. Hanafie Tamam dan Drs. H.A. Faruq Nasution); Penerbit P.T. Sari Agung Jakarta, cetakan ke tujuh 1994, halaman 64 - 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar