Sabtu, 21 Januari 2017

Tentang Ziarah Kubur

Petunjuk Rasulullah ﷺ tentang ziarah kubur telah dijelaskan di dalam hadits-hadits yang shahih. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahih-nya dari Buraidah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah ﷺ sering mengajarkan kepada mereka (para sahabatnya) jika mendatangi pekuburan agar mengucapkan.
“Artinya : Keselamatan atas kalian, wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Kami insya Allah akan menyusul kalian. Kalian adalah pendahulu kami. Aku meminta kepada Allah kesejahteraan untuk kami dan kalian” [Ahmad II/300, 375,408. V/353,359,360. VI/71,76,111,180,221. Muslim dengan Syarh Nawawi VII/44,45. Nasa’i IV/94 dan Ibnu Majah I/494]
Imam Ahmad dan Tirmidzi –dan dia menyatakan hasan- meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ﷺ melewati pekuburan Madinah, maka beliau menghadapkan wajahnya ke arah pekuburan itu dan berkata.

“Artinya : Keselamatan atas kalian, wahai penghuni kubur. Semoga Allah mengampuni kami dan kalian. Kalian pendahulu kami dan kami akan mengikuti” [Hadits Riwayat Tirmidzi III/369]

Para Khalifah yang Empat dan sahabat Nabi ﷺ yang lain serta Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik telah menjalankan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.

Mereka yang mendatangi penghuni kubur itu, jika mereka melakukannya untuk berdoa kepada Allah di sisi kubur tersebut dengan sangkaan bahwa yang demikian itu lebih bermanfaat dalam berdo’a, sekaligus dengan tujuan ber-tawassul (menjadikannya sebagai perantara) dan meminta syafaat dengannya, maka yang demikian ini tidak ada dalam syariat agama. Sedangkan wasilah (sarana/perantara) memiliki hukum yang sama dengan hukum tujuan dalam hal pelarangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Katakanlah, ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai sesembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagiNya” [Saba : 22]

Ayat ini menunjukkan bahwa (ilah/sesembahan) yang diseru (selain Allah) bisa jadi memiliki (kekuasaan di langit dan bumi) atau bisa pula tidak. Jika dia tidak memiliki, maka bisa jadi dia adalah sekutu (bagi Allah dalam kekuasaan-Nya itu), atau bisa juga bukan. Jika dia bukan sekutu (bagi Allah), bisa jadidia pembantu (bagi Allah), atau bisa juga bukan. Jika dia bukan pembantu (bagi Allah), maka bisa jadi dia adalah pemberi syafaat tanpa –harus mendapat- izin dari Allah, atau bisa pula bukan. Dan keempat macam (yang diseru) ini adalah batil, tidak bisa diterima. Lalu yang terakhir jelas bahwa pemberi syafaat tidaklah dapat memberi syafaat melainkan denan izin-Nya (dan ini syarat pertama, pent). Sedangkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berikut.

“Dan mereka tidak memberi syafa’at melainkan kepada orang-orang yang diridhai Allah” [Al-Anbiya : 28]

Menunjukkan bahwa keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada yang disyafaati –juga- merupakan sarat. Inilah dua syarat (dalam memperoleh) syafaat.

Para sahabat Radhiyallahu ‘ajmain dahulu tidaklah ber-tawassul dengan zat Rasulullah ﷺ. Yang mereka lakukan adalah meminta Nabi ﷺ supaya mendo’akan mereka. Jadi, memita tolong kepada orang yang hadir (ada di tempat), masih hidup lagi mampu memberi bantuan adalah dibolehkan, namun tidak boleh meminta sesuatu yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla. Ini untuk orang yang masih hidup. Adapun orang yang sudah mati, tidak boleh ber-tawassul dan meminta syafaat kepadanya secara mutlak, bahkan itu merupakan salah satu di antara perantara-perantara menuju kesyirikan.

Adapun orang yang ber-I’tikaf (tinggal berdiam) di kuburan tersebut, maka (keadaannya) tidak lepas dari dua perkara yang berikut.
Pertama. Tujuannya, ber-it’ikaf disana adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka yang seperti ini tidak boleh dilakukan karena padanya terkumpul dua bentuk kemaksiatan (penyelewengan), yaitu bermaksiat ber-ukuf (tinggal dikuburan) dan maksiat beribadah kepada Allah di kuburan karena yang demikian itu merupakan wasilah (mengantarkan kepada) syirik yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ.
Adapun tentang keharaman ber-‘ukuf, Tirmidzi di dalam kitab Jami-nya dalam sebuah hadits yang dinyatakan shahih meriwayatkan dari Abu Waqid Al-Laitsi, ia berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah ﷺ menuju Hunain ketika kami belum lama (meninggalkan) kekafiran. Sementara itu, orang-orang musyrik memiliki sebatang Sidrah (jenis pohon) yang biasa mereka jadikan tempar ber-ukuf (berdiam) dan menggantungkan senjata-senjata mereka padanya, yang mereka sebut dengan Dzatu Anwat, maka (ketika) kami melewati sebatang pohon Sidrah (yang lain), kami berkata : “Ya Rasulullah ﷺ adakan untuk kami Dzatu Anwat sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwat, maka berkata Rasulullah ﷺ.

“Artinya : Allahu Akbar, sesungguhnya yang demikian adalah tradisi. Perkataan kalian, demi zat yang jiwaku di tangannya, sebegaimana perkataan Bani Israil kepada Musa. ‘Jadikan untuk kami tuhan-tuhan sebagaimana mereka memiliki tuhan-tuhan. (Musa) berkata, ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh [Imam Ahmad I/96, 129. Muslim dengan Syarah Nawawi VII/36. Nasai IV/88,89 dan Tirmidzi III/366.]” Sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian” [Hadits Riwayat Ahmad V/218, Tirmidzi IV/475]

Nabi ﷺ mengabarkan bahwa perkara yang mereka minta, yaitu menjadikan pohon sebagai temopat ‘ukuf (berdiam) dan menggantungkan senjata untuk mendapatkan berkah, adalah serupa dengan permintaan yang diajukan oleh Bani Israil kepada Musa “Alaihis Salam, maka demikian pula ‘ukuf (berdiam) di kubur. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Telah bersabda Rasulullah ﷺ.

“Artinya : Janganlah kalian jadikan rumah kalian sebagai kuburan dan jangan jadikan kuburku senagai tempat perayaan, dan bersalawatlah atasku, sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku bagaimanapun keadaan kalian” [Hadits Riwayat Tirmidzi V/157, Abu Dawud II/534, dan Ibnu Majah I/348 di dalam Sunan]

Sedangkan yang berkenaan dengan beribadah kepada Allah di kuburan, maka Nabi ﷺ telah melarang yang demikian itu. Rasulullah ﷺ bersabda.

“Artinya : Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi. Mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Larangan menjadikan kubur sebagai masjid (tempat ibadah) mengandung larangan menjadikan kubur sebagai tempat beribadah kepada Allah atau untuk beribadah kepada selain-Nya, sama saja apakah terdapat bangunannya ataupun tidak.
Adapun (perbuatan) mendatangi penghuni kubur lalu berdoa kepadanya dan meyakini bahwa dia memiliki manfaat dan mudharat (bahaya), maka perbuatan ini adalah syirik besar. Orang yang melakukannya bisa jadi karena bodoh atau memang sudah mengetahuinya, maka dia seorang musyrik (pelaku syirik) dengan kesyirikan yang mengeluarkannya dari Islam. Adapun jika dia melakukannya karena bodoh/tidak tahu, maka harus dijelaskan kepadanya (hukum perbuatan tersebut). Jika dia kembali kepada kebenaran, maka alhamdulillah, tetapi jika tidak, maka dia dihukumi sama seperti orang yang sudah mengetahui. Dan dali tentang hal ini banyak sekali, antara lain firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah”. [Al-Kafirun : 1-4]

Begitu pula firman-Nya.


“Artinya : Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” [Al-Ikhlas : 4]

Dan didalam hadits qudsi.

“Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang didalamnya dia mempersekutukan Aku dengan selainKu, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya” [Hadits Riwayat Muslim]

Adapun yang dikatakan penanya tentang dibangunnya bangunan berhias di atas kubur tersebut, maka yang demikian ini adalah tidak boleh karena termasuk mengangungkan penghuni kubur, dan merupakan pengagungan yang bid’ah (mengada-ada), betentangan dengan wasiat Nabi ﷺ kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.
“Artinya : Janganlah kamu meninggalkan gambar kecuali engkau telah menghancurkannya dan tidak pula kubur yang diagungkan melainkan engkau telah meratakannya” [Imam Ahmad I/96, 129. Muslim dengan Syarah Nawawi VII/36. Nasai IV/88,89 dan Tirmidzi III/366.]

Dan telah tetap dari Nabi ﷺ bahwa beliau melarang mengapuri kubur, duduk atasnya, dan dibuat bangunan di atasnya.[Lihat Hadits Riwayat Imam Ahmad III/295, 399. Muslim dengan Syarah Nawawi VII/37. Tirmidzi III/368. Abu Dawud III/552. Nasai IV/86,87. Ibnu Majah I/498]

Adapaun tanggung jawab (kewajiban) kita dalam hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dengan sabdanya.
“Artinya : Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya dan bila ia tidak memapu maka dengan hatinya dan yang demikian itu selemah-lemah iman”. [Muslim dengan syarah Nawawi II/21,22. Abu Dawud I/677. Tirmidzi VI/407. Nasai VIII/111. Ibnu Majah II/230. Abdu bin Humaid di dalam Al-Muntakhib II/74.]

Maka wajib menghilangkan bangunan tersebut sebatas kemampuan, dan apa yang dikatakan penanya tentang tinggal bersama mereka tidak boleh selagi masih mungkin baginya tinggal bersama yang lain yang tidak melakukan perbuatan seperti yang mereka perbuat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Maka bertawaqallah kamu kepada Allah menurut kesanggupannmu” [At-Taghabun : 16]

Adapun sembeliah dan nazar yang diperuntukkan kepada wali maka ini syirik besar, karena kedua-duanya adalah ibadah yang semestinya dilakukan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala karena merupakan hak-hak-Nya khusus-Nya yang maha mulia dan maha tinggi, maka tidak boleh memalingkannya kepada selain Allah. Firman-Nya.

“Artinya : Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya ; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” [Al-An’am : 162-163]

Dan sabda Nabi ﷺ.
“Artinya : Barangsiapa yang bernazar untuk berbuat ketaatan kepada Allah maka ta’atilah (laksanakan) dan barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat kepadanya maka janganlah memaksiatinya (melaksanakannya)” [Hadits Riwayat Ahmad VI/36. Bukhari VII/233,234. Abu Dawud III/593. Tirmidzi IV/104. Nasai VII/17. Ibnu Majah I/687 dan Darimi II/184]

Demikian pula ketika seorang laki-laki (pada masa Rasulullah ﷺ) bernazar untuk menyembelih unta di Buanah, Rasulullah ﷺ bertanya padanya.
“Artinya : Apakah disana ada watsan (berhala) dari berhala-berhala jahiliyah yang disembah ?” Mereka mengatakan, “Tidak”, Nabi bertanya lagi, “Apakah di sana dilaksanakan perayaan dari perayaan-perayaan mereka (musyrikin jahiliah) ?” Mereka berkata, “Tidak”, Nabi bersabda, “Tunaikanlah nazarmu, sesungguhnya tidak ada penunaian untuk nazar yang bermaksiat kepada Allah dan apa yang tidak disanggupi anak Adam”[Hadits Riwayat Abu Dawud III/607 dan Baihaqi di dalam Sunan X/73]

Dalil ini menunjukkan bahwa sembelihan dan nazar untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan ibadah sedangkan memalingkannya kepada selain Allah adalah syirik.

[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah 1/1492-498, Fatwa no. 315 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 3/I/Dzulqa’dah 1423H]

Selengkapnya di almanhaj.or.id  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar