Jumat, 02 Desember 2016

Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku

Walau masih berbeda aqidah dengan kedua orangtua, Alhamdulillah saya dikaruniai kemudahan dalam keluarga. Di tahun 2002 saya menjadi Muslim setelah 18 tahun merayakan Natal, banyak yang berubah setelah saya memahami agama Islam. Proses berpikir yang mengantarkan saya pada Islam, agama logis yang bisa memuaskan akal, menenangkan hati, dan sesuai fitrah. Prinsip tauhid di dalam Islam itu sederhana dan mengena, prinsip satu Tuhan itu menenangkan dan menentramkan. 
Setelah menjadi seorang Muslim tentu banyak penyesuaian yang harus saya lakukan, aqidah Islam tentu mengubah banyak prinsip hidup. Salah satu prinsip yang terpenting adaah penjagaan terhadap aqidah, pengakuan bahwa Allah itu satu dan tiada yang menyamai-Nya. Saya memasuki Islam sekira bulan Oktober 2002, maka ujian pertama ada di bulan Desember 2002 saat perayaan Natal keluarga. Sulit sekali pada waktu itu untuk menyampaikan pada orangtua saya sudah menjadi seorang Muslim, apalagi menjelaskan tentang Natal. Terbayang sudah selaksa bantahan dan omelan yang bakal diterima, apalagi menjelaskan bahwa saya tidak lagi ikut-ikutan Natalan. Hanya saja saya tahu persis apa itu Natal, bagi kaum Nasrani itu perayaan terbesar, yaitu kelahiran Yesus, Tuhan Juruselamat. Maka perayaan Natal itu bagi saya memiliki konsekuensi aqidah, yang takkan pernah saya sampaikan selamat padanya apalagi saya ikuti.
Terbayang lagi respon yang saya terima nantinya? dimarahi? diamuk? diusir? Bagaimanapun juga ini prinsip aqidah yang harus sampai. Benar saja, orangtua saya tentu tidak terima, dengan perdebatan alot 3 hari akhirnya ke-Islam-an saya bisa mendapat tempat. Saat itu ayah saya berucap; "Papi tidak bisa melarang kamu Muslim, tapi papi juga tidak bisa menerima kamu Muslim".
Sementara isak tangis ibu saya menjadi latar diskusi alot kita sepanjang 3 hari. Hati anak mana yang tak sedih melihat airmata ibunya? Tapi sekali lagi ini adalah aqidah yang tidak bisa ditawar. Saya menguatkan hati sambil mengingat perjuangan Saad bin Abi Waqqash. Saya hanya berharap pada Allah bila saya bertahan dengan aqidah ini, Allah memperkenankan suatu saat kelak ayah-ibu saya Muslim. Namun ada hal yang benar-benar sulit mereka terima, "Mengapa juga tidak boleh hanya sekadar mengucap Natal atau ikut merayakan?". Saya pahami cara pikir orangtua saya tentu tidak sama dengan apa yang saya pahami, menjelaskan prinsip aqidah bukan mudah. Bagi mereka "Selamat Natal" itu cuma sekedar ucapan, bagi saya kata-kata "cuma" itu seringkali hasutan setan yang paling laris manis. Walau "cuma" ucapan selamat, saya tidak ingin mengingkari keyakinan utama, bahwa Allah itu satu dan tiada yang bersekutu dengan-Nya.
Dengan berat hati dan kelu lidah karena beratnya amanah ini, saya mencoba menjelaskan pada kedua orangtua saya. 
"Islam itu sangat menghormati Yesus (Isa), namun kami memuliakannya sebagai Nabi bukan sebagai Tuhan".
"Isa Ibnu Maryam disebut lebih banyak dari Muhammad di dalam Al-Qur'an, namun kami tidak bisa menerima bahwa dia dianggap Tuhan".
"Sedang ibunya Maryam itu wanita terbaik di dunia tersebab kesuciannya, namun kami tidak bisa menganggapnya ibunda dari Tuhan".
"Sedang kelahiran dari Isa Ibnu Maryam tertulis mulia di dalam Al-Qur'an, dan keselamatan padanya selalu sepanjang masa".
"Dan salam dilimpahkan kepadaku, pada hari aku lahir, pada hari aku wafat dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali". (QS. 19 : 33).
"Kami menghormati Isa sebagaimana kami memuliakan ibunya, juga keluarga Imran, Daud, Musa, dan Ibrahim".
"Sulit kami merayakan atau mengucapkan yang dianggap sebagai hari lahir (natal) Tuhan Yesus (Isa), tidak mampu kami menyelesihi Isa".
Sedang Isa bin Maryam berpesan; "Sungguh aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku Nabi" (QS. 19 : 30).

Amanah sudah kami sampaikan bahwa kami tidak bisa ikuti perayaan Natal, tidak juga mengucap selamat pada satu hal yang batil. Kami mengakui dan memberi salam pada kelahiran Isa Ibnu Maryam Sang Nabi yang disucikan, bukan salam pada hari kelahiran Tuhan. Begitulah saya jelaskan dengan baik, dengan perkataan lembut lagi menghormati kedua orangtua sebagaimana perintah Allah.
Alhamdulillah, sampai saat ini mereka memahami dengan baik, bahwa toleransi Muslim adalah membiarkan perayaan mereka.
Alhamdulillah pula mereka melihat perubahan saya setelah menjadi Muslim, yang tentu lebih menghargai, menyayangi, menghormati orangtua. Tiada kebencian pada orang selain Islam, justru karena sayang kita ingin mengajak mereka menuju cahaya Islam, termasuk orangtua saya. Tidak pernah hubungan saya-ayah, saya-ibu lebih baik dari hari ini, bercanda bergurau, berkisah, tak pernah ada ini sebelum Muslim.
Islam mengajarkan saya menghormati dan memuliakan orangtua sepenuh jiwa, maka tak pernah ada cerita mereka protes tentang toleransi. Karena orangtua saya tahu persis hanya karena Islam saya bisa berkasih dengan mereka, Allah yang ajarkan saya menyayangi kedua orangtua.
Alhamdulillah, Allah memudahkan saya menjaga aqidah saya, bukan terombang-ambing tak jelas atas alasan toleransi.  Bila kita selalu baik pergaulannya setiap saat pada saudara kita non-Muslim, tidak mengucap Natal tak menjadi soalan dan masalah.
Alhamdulillah Allah sudah menunjuki kita Islam, mudah-mudahan kita selalu menjaganya. Wallahua'lam.

Ustadz Felix Siauw; 21 Desember 2013.

Baca Juga :
Tentang Mengucapkan Selamat Hari Raya Agama Lain?
Toleransi itu menghormati bukan mengikuti, "bagimu agamamu, bagiku agamaku"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar