Kamis, 18 Agustus 2016

Rukhshah Puasa

Di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah (2) : 184, Allah ta'ala memberi keringanan orang beriman mengerjakan puasa, dalam firman-Nya :

أَيَّامًا مَّعْدُودٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
(yaitu) pada beberapa hari yang sudah ditentukan. Maka barangsiapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka (puasakanlah) bilangan (yang tidak dipuasakan itu) pada hari-hari tang lain. Dan terhadap orang-orang yang sangat berat baginya mengerjakan puasa, wajib membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin; dan barangsiapa yang dengan sukarela mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya, dan puasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (184).

Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Mujahid, ayat ini (QS. 2 : 184) turun berkenaan dengan maula (abid / budak yang sudah dimerdekakan) Qais bin Assa-ib yang memaksakan diri bershaum, padahal ia sudah tua sekali. Dengan turunnya ayat ini (QS. 2 : 184), ia berbuka dan membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin, selama ia tidak bershaum itu. (HR. Ibnu Sa'd).

Tafsir Ayat
QS. 2 : 184. "(yaitu) pada beberapa hari yang sudah ditentukan. ...". Yaitu selama hari yang terkandung dalam bulan Ramadhan yang kadang-kadang 29 dan kadang-kadang 30 hari. Dengan demikian ditunjukkanlah kasih sayang Allah, bahwasannya kewajiban itu tidak lama. Tetapi banyak diantara orang yang beriman menyambut pula kasih sayang Allah itu dengan hati terharu pula. Sebab itu orang-orang yang ta'at berpuasa kerapkali merasa sedih hatinya ketika hari-hari bulan puasa telah hampir habis, sehingga untuk memuaskan keterharuan itu dianjurkan puasa tathawwu',  enam hari bulan Syawal. ".... Maka barangsiapa diantara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka (puasakanlah) bilangan (yang tidak dipuasakan itu) pada hari-hari tang lain. ...". Meskipun puasa telah menjadi kewajiban yang tidak boleh dilalaikan sedikit juapun, namun kalau badan merasa sakit atau dalam perjalanan, bolehlah diperhitungkan di hari yang lain. Bilamana telah sembuh atau telah kembali selamat dari perjalanan, pada waktu itu sajalah ganti. ".... Dan terhadap orang-orang yang sangat berat baginya mengerjakan puasa, wajib membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin; ...". Orang yang berat mereka atasnya, ialah orang beriman yang tetap mempunyai keinginan mengerjakan puasa, tetapi kalau dikerjakannya sangatlah memberati kepada dirinya, baik karena dia sudah terlalu tua ataupun karena sakit yang berlarut-larut, sehingga waktu buat membayarnya di hari yang lain tidak ada, karena di hari yang lain dia masih sakit juga. Maka untuk hari-hari puasa yang terpaksa ditinggalkannya itu digantinya dengan membayar fidyah, memberi makan fakir-miskin makanan yang diberikan kepada fakir-miskin itupun tidak banyak, cukup untuk kenyang makan sehari. Dalam hadits bahwa fidyah itu hanya satu mudd, satu liter beras. "...; dan barangsiapa yang dengan sukarela mengerjakan kebaikan, ...". Meskipun yang diwajibkan hanya makanan sehari seorang miskin, kalau engkau orang mampu apalah salahnya engkau berikan lebih, menurut kesanggupanmu. "..., maka itulah yang lebih baik baginya, dan puasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui". Yang dimaksud dengan puasa lebih baik bukanlah buat orang yang telah diberi keizinan (rukhshah) karena sakit atau dalam perjalanan. Dan bukan untuk orang yang berat baginya memikul karena tua dan sakit larut itu. Diujung ayat Allah mengingatkan kembali faedah puasa untuk menguatkan taqwa.
---------------
Bibliography :
Asbabun Nuzul, KH Qomaruddin, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, Cetakan ke-5, 1985, halaman 54 - 55.
Tafsir Al-Azhar Juzu' 2, Prof Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Penerbit PT. Pustaka Panjimas Jakarta, cetakan September 1987, halaman 94 - 97.
Al Qur'an Terjemahan Indonesia, Tim DISBINTALAD (Drs. H.A. Nazri Adlany, Drs. H. Hanafie Tamam dan Drs. H.A. Faruq Nasution); Penerbit P.T. Sari Agung Jakarta, cetakan ke tujuh 1994, halaman 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar