Senin, 07 Maret 2016

Hakikat Cinta kepada Rasulullah ﷺ

Sunnah Rasulullah ﷺ, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah ﷺ, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [1], memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sunnah Rasulullah ﷺ sebagai penjelas dan penjabar dari al-Qur’an yang mulia, yang merupakan sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah Rasulullah ﷺ dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan agama Islam dengan benar.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), supaya mereka memikirkan”. (Qs. an-Nahl : 44).

Ketika Ummul mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ditanya tentang akhlak (tingkah laku) Rasulullah ﷺ, beliau menjawab, “Sungguh, akhlak Rasulullah ﷺ adalah al-Qur’an.”[2] Ini berarti, bahwa Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya.[3] Maka, orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan sunnah Rasulullah ﷺ, dialah yang paling sempurna dalam berpegang teguh dan mengamalkan al-Qur’an dan agama Islam secara keseluruhan.
Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah bahwa sunnah Rasulullah ﷺ adalah penafsir dan argumentasi (yang menjelaskan makna) al-Qur’an.”[4]
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisikan sunnah Rasulullah ﷺ sebagai sesuatu yang mencakup syariat Islam secara keseluruhan, baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan.[5]
Imam Abu Muhammad al-Barbahari[6] berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu dialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang lainnya.”[7]
Arti mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah ﷺ yang sebenarnya

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Ali ‘Imran : 31).

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah ﷺ, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad ﷺ dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.”[8]
Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah, bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah ﷺ adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah ﷺ yang utama adalah (dengan) meneladani beliau ﷺ, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.”[9]
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah ﷺ yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan sunnah beliau ﷺ, dengan berusaha mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah ﷺ dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah[10] dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau ﷺ, atau memuji dan mensifati beliau ﷺ secara berlebihan, dengan menempatkan beliau ﷺ melebihi kedudukan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tempatkan beliau padanya.[11]
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang nasrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.“[12]
Inilah makna cinta kepada Rasulullah ﷺ yang dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, para sahabat radhiallahu ‘anhum. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorangpun yang paling dicintai oleh para sahabat Rasulullah ﷺ melebihi beliau ﷺ, akan tetapi jika mereka melihat beliau ﷺ, mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau ﷺ), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ membenci perbuatan tersebut.”[13]
Bagaimana menyempurnakan cinta kepada sunnah Nabi ﷺ dalam diri kita?
Imam Ibnu Rajab al-Hambali membagi derajat (tingakatan) cinta kepada Rasulullah ﷺ menjadi dua tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan ini seorang akan memiliki kecintaan yang sempurna kepada sunnah Rasulullah ﷺ, yang ini merupakan tanda kesempurnaan iman dalam dirinya.

Dua tingkatan tersebut adalah :
1- Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah ﷺ) yang mengandung konsekuensi menerima dan mengambil semua petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ dari sisi Allah dengan (penuh rasa) cinta, ridha, hormat dan patuh, serta tidak mencari petunjuk dari selain jalan (sunnah) beliau ﷺ secara utuh. Kemudian, mengikuti dengan baik agama yang beliau ﷺ sampaikan dari Allah, dengan membenarkan semua berita yang beliau sampaikan, manaati semua kewajiban yang beliau perintahkan, maninggalkan semua perbuatan haram yang dilarangnya, serta menolong dan berjihad (membela) agamanya, sesuai dengan kemampuan unutk (mengahadapi) orang-orang yang menentangnya. Tingkatan ini harus dipenuhi (oleh setiap muslim) dan tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan sempurna.
2- Tingkatan fadhl (keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah ﷺ) yang mengandung konsekuensi meneladani beliau ﷺ dengan baik, mengikuti sunnah beliau ﷺ dengan benar, dalam tingkah laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian, pergaulan yang baik dengan keluarga, serta semua adab beliau ﷺ yang sempurna dan akhlak beliau yang suci. Demikian juga memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah dan perjalanan hidup beliau ﷺ, rasa senang dalam hati dengan mencintai, mengagungkan dan memuliakan beliau ﷺ, senang mendengarkan ucapan (hadits) beliau ﷺ, dan selalu (mendahulukan) ucapan beliau ﷺ di atas ucapan selain beliau. Dan termasuk yang paling utama dalam tingkatan ini adalah meneladani beliau ﷺ sikap zuhud beliau terhadap dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya (sederhana) di dunia, dan kecintaan beliau ﷺ kepada (balasan yang sempurna) di akhirat (kelak).”[14]

Keutamaan mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Qs. al-Ahzaab : 21).

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah ﷺ sebagai “teladan yang baik“, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah ﷺ berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla.[15]
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah ﷺ dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[16]
Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah ﷺ dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah ﷺ merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah ﷺ) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [17]

Penutup
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah ﷺ yang sebenarnya, dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah beliau ﷺ.
Maka mestinya, seorang muslim yang mengaku mencintai Rasululah ﷺ, terlebih lagi yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah orang yang paling semangat dalam mempelajari dan menerapkan sunnah Rasulullah ﷺ dalam sikap dan tingkah lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika sunnah Rasulullah ﷺ menjadi asing dan jarang diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena, seorang muslim yang mengamalkan satu sunnah Rasulullah ﷺ yang telah dilupakan, dia akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Shalih al-’Utsaimin berkata, “Sesungguhnya, sunnah Rasulullah ﷺ jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia.”[18]
Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama nasihat Imam al-Khatiib al-Baghdadi[19] berikut ini, “Seyogyanya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), (berusaha untuk) membedakan dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya, dengan (berusaha) mengamalkan petunjuk Rasulullah ﷺ semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah beliau ﷺ, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. (Qs. al-Ahzaab : 21).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Jumadal ula 1430 H

Penulis : Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Copas dari Artikel www.muslim.or.id
--------------------------------
Pustaka :
[1] Lihat kitab “Taujiihun Nazhar Ila Ushuulil Atsar” (1/40).
[2] HSR. Muslim (no. 746).
[3] Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh Shahih Muslim” (6/26).
[4] Kitab “Ushuulus Sunnah” (hal. 3).
[5] Lihat kitab “Jaami’ul Uluumi wal Hikam” (hal. 321).
[6] Beliau adalah imam panutan umat, Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahari al-Bagdadi (wafat 328 H), biografi beliau dalam kitab “Siyaru A’laamin Nubala’” (15/90).
[7] Kitab “Syarhus Sunnah” (hal. 59).
[8] Tafsir Ibnu Katsir (1/477).
[9] Kitab “Asy-Syifa Bita’riifi Huquuqil Mushthafa” (2/24).
[10] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah,  yang  tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[11] Lihat kitab “Mahabbatur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam Bainal Ittibaa’ Wal Ibtidaa’” (hal. 65-71).
[12] HSR. al-Bukhari (no. 3261).
[13] HR. at-Tirmidzi (5/90) dan Ahmad (3/132), dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[14] Kitab “Istinyaaqu Nasiimil Unsi Min Nafahaati Riyaadhil Qudsi” (hal. 34-35.
[15] Lihat keterangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).
[16] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).
[17] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).
[18] Kitab “Manaasikul Hajji wal ‘Umrah” (hal. 92).
[19] Dalam kitab beliau “Al-Jaami’ Li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’” (1/215).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar