Minggu, 24 Januari 2016

Sejak Kapankah Anak-Anak Mulai Ditutup Auratnya?

Soal :
Apa saja aurat anak kecil laki-laki dan perempuan? Dan kapan hendaknya mereka mulai menutup aurat? Dan kapan mulai dipisah tempat tidurnya antara anak laki-laki dan perempuan yang biasanya tidur seranjang tanpa selimut? Dan apakah itu berlaku untuk anak yang masih mahram saja atau yang bukan mahram, baik anak kecil maupun anak yang sudah dewasa? Saya sudah mencari pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini dan di sana ada khilaf yang sangat panjang pembahasannya. Maka saya minta penjelasan pendapat yang rajih dalam masalah ini yang tidak diragukan lagi bahwa itu kebenaran. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.

Jawab :

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد

Batasan aurat anak kecil laki-laki dan perempuan tidak disebutkan dalam dalil-dalil Al Qur’an dan Sunnah secara tegas. Namun pembahasan hal ini dilandasi firman Allah Ta’ala :

أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
“atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita” (QS. An Nuur : 31)

dan hadits,
مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع
“perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika berusia 7 tahun”.

Atas dasar ini, maka nampaknya yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat Madzhab Hambali mengenai batasan aurat anak kecil, dan rinciannya sebagaimana dipaparkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah,
 
لا عورة للصغير الذي لم يبلغ سبع سنين فيباح النظر إليه ومس جميع بدنه، وابن سبع إلى عشر عورته الفرجان فقط، في الصلاة وخارجها، وبنت سبع إلى عشر عورتها في الصلاة ما بين السرة والركبة ويستحب لها الاستتار وستر الرأس كالبالغة احتياطا، وأمام الأجانب عورتها جميع بدنها إلا الوجه والرقبة والرأس واليدين إلى المرفقين والساق والقدم وبنت عشر كالكبيرة تماما. انتهى
“Tidak ada aurat bagi anak kecil yang belum berusia 7 tahun, maka boleh dilihat dan dipegang seluruh bagian badannya. Dan anak kecil laki-laki usia 7 sampai 10 tahun, auratnya adalah kemaluannya saja. Baik dalam shalat maupun di luar shalat. Adapun anak kecil perempuan usia 7 sampai 10 tahun auratnya dalam shalat adalah antara pusar hingga lutut. Dan dianjurkan baginya untuk menutup seluruh aurat dan memakai jilbab sebagaimana wanita baligh, dalam rangka ihthiyath (berhati-hati). Adapun auratnya (anak kecil wanita 7-10 tahun) di depan lelaki ajnabi (yang bukan mahramnya) adalah seluruh badannya, termasuk kecuali kepala, leher, kedua tangan hingga siku, betis, dan kaki. Dan anak perempuan usia 10 tahun auratnya sama sebagaimana wanita dewasa”.
Dan kami tidak paham maksudnya perkataan anda “tidur seranjang tanpa selimut”. Jika maksudnya mereka tidur di kasur yang sama dengan keadaan auratnya terbuka, maka penjelasan tentang aurat sudah kami paparkan barusan. Adapun soal tidur, maka hukum tidurnya anak kecil dengan sesama anak kecil hukumnya boleh sampai ia berusia 10 tahun. Lalu setelah 10 tahun wajib di pisah berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :
وفرقوا بينهم في المضاجع. رواه أحمد وأبو داود
“dan pisahkan mereka di tempat-tempat tidur mereka” (HR. Ahmad, Abu Daud)

Al Munawi dalam Syarah Al Jami’ Ash Shaghir berkata: “maksudnya, pisahkan anak-anakmu di tempat-tempat tidur mereka, tempat dimana mereka tidur, jika mereka sudah berusia 10 tahun. Dalam rangka menjauhkan dari penyimpangan syahwat walaupun mereka bersaudara”. Lihat juga fatwa nomor 23210.

Adapun tidurnya orang dewasa dengan anak kecil maka ini hukumnya berbeda-beda tergantung keadaannya. Apakah yang tidur itu lelaki dengan lelaki atau wanita dengan wanita. Atau apakah anak kecilnya di bawah 10 tahun ataukah di atas 10 tahun. Namun secara ringkas kami sebutkan apa yang ada di Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah :

نص الحنفية على أنه يفرق بين الصبيان وبين الرجال والنساء في المضاجع لأن ذلك يدعو إلى الفتنة ولو بعد حين، وذكر ابن عابدين نقلا عن البزازية: إذا بلغ الصبي عشرا لا ينام مع أمه وأخته وامرأة إلا امرأته، وهذا خوفا من الوقوع في المحذور. فإن الولد إذا بلغ عشرا عقل الجماع ولا ديانة له ترده فربما وقع على أخته أو أمه فإن النوم وقت راحة مهيج للشهوة وترتفع فيه الثياب عن العورة من الفريقين، فيؤدي إلى المحذور وإلى المضاجعة المحرمة، وكذلك لا يترك الصبي ينام مع والديه في فراشهما لأنه ربما يطلع على ما يقع بينهما بخلاف ما إذا كان نائما وحده أو مع أبيه وحده أو البنت مع أمها وحدها. ولا يترك أيضا أن ينام مع رجل أو امرأة أجنبيين خوفا من الفتنة، ولاسيما إذا كان صيبحا فإنه وإن لم يحصل في تلك النومة شيء فيتعلق به قبل الرجال أو المرأة فتحصل الفتنة بعد حين، ومن لم يحتط في الأمور يقع في المحذور، وقال المالكية إن تلاصق بالغ وغير بالغ بغير حائل فحرام في حق البالغ مكروه في حق غيره، والكراهة متعلقة بوليه، وأما بحائل فمكروه في حق البالغ إلا لقصد لذة فحرام

وأما رجل وأنثى فلا شك في حرمة تلاصقهما تحت لحاف واحد ولو بغير عورة، ولو من فوق حائل لأن الرجل لا يحل له الاختلاط بالأنثى فضلا عن تلاصقهما

“Madzhab Hanafi berpendapat wajibnya memisahkan antara anak kecil laki-laki dan wanita di tempat tidur mereka karena hal itu bisa menimbulkan fitnah (keburukan) walaupun keburukannya itu akan muncul beberapa di masa yang akan datang. Ibnu Abidin menukil perkataan Al Bazaziyyah: ‘jika anak kecil sudah berusia 10 tahun maka tidak boleh tidur bersama ibunya atau saudara perempuannya kecuali kalau dia perempuan. karena dikhawatirkan akan terjerumus pada perkara yang dilarang. Karena seorang anak jika sudah berusia 10 tahun ia mulai bisa memahami soal jima’ dan ketika itu ia belum memiliki agama yang kokoh yang bisa menghalaunya dari hal itu. Maka terkadang pikiran tersebut muncul dari ketika melihat ibunya atau saudaranya tidur. Karena tidur itu adalah saatnya istirahat, yang bisa memicu syahwat. Dan ketika itu pakaian tersingkap dan terlihatlah aurat dari dua keduanya. Maka hal ini bisa menyeret pada perkara yang terlarang di tempat tidur. Demikian juga, jangan biarkan anak tidur bersama kedua orang tuanya di ranjang mereka karena terkadang ia akan melihat apa yang dilakukan kedua orang tuanya. Hal ini tidak terjadi jika si anak tidur sendirian saja, atau hanya bersama ayahnya saja, anak wanita bersama anaknya saja.”


Dan jangan biarkan juga si anak tidur bersama laki-laki atau wanita ajnabi (yang bukan mahram) karena dikhawatirkan terjadi fitnah. Karena walaupun tidak terjadi apa-apa ketika tidur saat itu, namun dikhawatirkan si anak memiliki keterkaitan hati dengan laki-laki atau wanita tadi, lalu terjadi fitnah di masa mendatang.
Barangsiapa yang tidak serius memperhatikan hal-hal seperti ini akan terjerumus pada perkara yang terlarang. Ulama Malikiyyah berkata, jika seorang yang baligh tidur berdampingan dengan anak yang belum baligh tanpa pemisah maka hukumnya haram bagi si baligh dan makruh bagi si anak. Dan hukum makruh ini dibebankan kepada walinya. Adapun jika ada penghalang (pemisah) maka makruh bagi si baligh, kecuali jika ia ingin bernikmat-nikmat maka haram.
Adapun wanita dan laki-laki tidur berdampingan di bawah satu selimut, maka tidak diragukan lagi keharamannya, walaupun tidak menyentuh aurat. Demikian juga walaupun ada penghalang, karena seorang lelaki tidak dihalalkan ikhtilath (berduaan) dengan wanita, maka lebih lagi jika sampai tidur berdampingan'”. .

Wallahu a’lam.

Sumber: Fatwa Islamweb.Net (yang dibina oleh Syaikh Abdullah Al Faqih)

Penerjemah: Yulian Purnama
Copas dari Artikel Muslimah.Or.Id  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar