Jumat, 24 Oktober 2014

Di Balik Hijrah Nabi

Nabi Muhammad SAW. : “Jadilah di dunia ini bagai seorang musafir.” Boleh Anda berteduh sejenak di bawah pohon yang rindang, tetapi ingat bahwa perjalanan masih jauh dan bekal harus dipersiapkan. Itulah sebabnya ketika seseorang bertanya kepada Nabi tentang akhir masa pergantian malam dan siang, Nabi SAW. balik bertanya : “Mazda ‘adadta laha?” (Bekal apa, yang telah engkau persiapkan?).
Perjalanan sungguh panjang dan bekal harus banyak. Dan celah pemilihan peristiwa hijrah sebagai awal penanggalan Islami, ditemukan jawaban pertanyaan itu. Bekal yang paling utama adalah akidah. Hijrah menggambarkan perjuangan menyelamatkan akidah ini. Masa depan harus dihadapi dengan perjuangan dan optimisme, sedangkan hijrah adalah perjuangan dan optimisme.
Menurut Al-Quran, saat hijrah adalah saat kemenangan walaupun ketika itu dalam pandangan kita kemenangan belum diraih : Kalau kamu tidak membantunya maka sesungguhnya Allah telah membantu (memenangkannya) yakni saat orang-orang kafir mengusirnya dari Makkah. Itulah sebabnya, ketika itu Nabi berpesan kepada sahabat yang menemaninya di Gua : janganlah bersedih, karena Allah (akidah) bersama kita. Dia yang membantu dengan tentara (kekuatan) yang tidak kamu lihat, sehingga pasti kalimat Allah juga yang tinggi, Inilah rangkuman firman Ilahi (QS 9: 40) yang berbicara tentang saat hijrah Nabi.
Akidah dan keberagamaan seseorang diukur pada saat krisis, bukan saat sukses. Semua akan memeluk satu akidah bila melihat sukses, tetapi belum tentu demikian bila mengalami derita. Pernah terbaca berita bahwa seorang tokoh di Timur Tengah mengusulkan agar penanggalan Islami dimulai dari hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, nama-nama bulan diganti antara lain dengan nama hari-hari kemenangan dalam peperangan.
Kelahiran Nabi Muhammad SAW., dari segi hari dan peristiwanya, adalah biasa-biasa saja. Beliau bukan sebagaimana Isa as. yang lahir tanpa ayah. Tidak ada makna yang dapat memberi kesan yang dalam pada peristiwa kelahiran ini. Sedangkan hari-hari kemenangan, walaupun setidaknya dapat menjaga kepribadian atau kepuasan suatu umat namun semua itu hanya bersifat sementara, di samping dapat pula melahirkan kebekuan dan kemandekan.
Sebagian umat Islam, sejak pertengahan abad ke-19 M, kehilangan kepercayaan diri melihat kemajuan pihak lain. Sehingga sebagai kompensasi — misalnya dalam bidang tafsir — lahir pernyataan bahwa setiap ada penemuan baru, cepat-cepat diklaim bahwa penemuan itu sudah dibicarakan oleh Al-Quran. Demikianlah sebagian umat terbius atau dibius dengan sukses dan dakwaan sukses masa lalu.
Bius itu, yang ingin dihindari oleh Khalifah Umar r.a. ketika tidak memilih tahun kelahiran atau kemenangan umat bagi penanggalan Islam. Yang dipilihnya adalah peristiwa perjuangan dan optimisme agar setiap Muslim ketika membuka lembaran kalender atau menyongsong hari esok, dapat menyongsongnya dengan perjuangan dan optimisme.
-----------------------------------------
Buletin Jum'at "MASJID BAITURRAHIM", M. Quraish Shihab dalam Lentera Hati, Edisi Muharram 1434 H / November 2012 M/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar