Senin, 22 September 2014

Ijtihad Umar bin Khattab (9)

Sikap Umar tentang Hadis Terbukti Kebenarannya
Kata-kata Umar ini akan lebih terbukti dan lebih memberi konfirmasi kalau saja dia menuliskan hadis-hadis dan sunah itu. Setelah itu tak akan terjadi fitnah dan tak akan ada orang membuat hadis palsu, yang jumlahnya sudah begitu banyak sehingga hadis yang sahih hanya seperti dalam seutas bulu putih di kulit lembu jantan hitam. Kitab Umar itu tidak akan berisi sanad yang dapat mengangkat hadis tersebut sampai kepada Nabi, bahkan Zaid bin Sabit atau sahabat-sahabat besar lainnya akan membuat penelitian hadis-hadis yang disebutkan orang kepadanya menurut nas dan nisbatnya, dan akan dikonfirmasi bahwa kata-kata itu tidak diragukan adalah dari Nabi. Ketika itulah orang akan berhadapan dengan dua macam kitab, yang satu yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia, dan yang satu lagi yang dikatakan Rasulullah kepada umat manusia. Lalu kedua kitab itu pada zaman pembukuannya menjadi satu pasang. Bukan tak mungkin ini dapat menjurus pada apa yang dikhawatirkan Umar, orang akan menekuni kitab hadis dan akan meninggalkan Kitabullah. Untuk itulah Umar sangat berhati-hati, dan dalam hal ini Umar telah berhasil sekali. Qur’an tetap di tangan orang dan akan tetap demikian seperti yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, sebagai petunjuk. sebagai rahmat dan sebagai cahaya bagi umat manusia. Hadis-hadis Rasulullah yang kemudian dihimpun oleh para peneliti yang didasarkan pada sumbernya itu, tak ada orang yang mencampuradukkannya dengan Quran, dan tak ada pula orang yang menekuninya lalu meninggalkan Kitabullah itu karenanya. Bahkan orang kagum melihatnya dan penuh rasa hormat dengan penghargaan yang luar biasa kepada orang yang telah membuat sanad itu. Di samping itu, juga tidak menghalangi orang untuk mengujinya kembali secara menyeluruh dengan menghadapkannya kepada Qur’an, serta mengadakan kritik dari segi sanad dan matannya.
Setelah ijtihad Umar untuk menghimpun hadis dan akhirnya membatalkan niatnya itu, saya rasa yang dapat kita lihat adalah suatu ijtihad yang sepenuhnya dapat kita terima, lepas dari kita setuju atau tidak dengan pendapatnya itu.
Seperti yang sudah kita lihat, dengan adanya ijtihad Umar itu sudah seharusnya hati kaum Muslimin akan merasa tenang. Dengan demikian kita dapat mengatakan Umar adalah Imãmul Mujtahidin “bapak para mujtahid.” Jangan ada orang yang akan menuduh kita sudah berlebihan. Dengan ijtihadnya itu Umar samasekali tidak bermaksud hendak berspekulasi dan dia tidak menyukai yang demikian, sebab dia tahu benar bahwa ijtihad demikian itu dapat menjurus pada perselisihan, hal yang memang sangat dibencinya. Suatu hari ia mendengar Abdullah bin Mas’ud dan Ubai bin Ka’b berselisih pendapat mengenai shalat seseorang dengan satu atau dua pakaian. Ketika berada di atas mimbar ia berkata : “Ada dua orang sahabat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berselisih pendapat. Lalu fatwa mana yang akan diikuti kaum Muslimin. Saya akan mengambil tindakan setiap saya mendengar ada dua orang berselisih pendapat sesudah saya berdiri di sini ini.” Pernah juga ia berkata : “Janganlah berselisih, sebab kalau kalian berselisih pendapat, perselisihan orang-orang yang sesudah kalian akan makin keras.” Seruannya untuk tidak berselisih memang sudah menjadi pegangannya sejak ia masuk Islam. Oleh karena itu ia sangat mengecam orang yang bertanya tentang apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah. Sesudah ia menjadi Khalifah besar sekali hasratnya agar Muslimin bersatu pendapatnya untuk tidak mengeluarkan pendapat sebelum bermusyawarah dengan para sahabat besar dan berdiskusi dengan mereka mengenai suatu masalah, sehingga orang merasa benar-benar puas dengan pendapat yang dikeluarkan. Dalam kitabnya Hujjatullah al-Baligah ad-Dahlawi berkata : “Sudah menjadi kebiasaan Umar radiallãhu anhu bahwa dia selalu bermusyawarah dengan sahabat-sahabat dan bertukar pikiran dengan mereka sehingga segalanya terungkap dan ia merasa sejuk. Akibatnya, segala keputusan dan fatwanya diikuti orang dari ujung timur sampai ke barat.” (yang dimaksud dengan merasa sejuk, sehingga hati dan pikiran benar-benar merasa senang dan puas). Dalam hal ini Ibn Mas’ud berkata : “Jika Umar memecahkan suatu masalah kita melihatnya begitu mudah.”

Menolak Melaksanakan Hukuman karena Keadaan Darurat
Hukum Islam sangat berutang budi kepada ijtihad Umar, yang tidak kurang pula dari politik Islam dalam menegakkan kedaulatan, dengan pandangannya yang begitu bagus, disertai iman yang kuat dan keteguhan hatinya. Ia telah memantapkan prinsip-prinsip dan pandangan-pandangannya dalam hukum flkih, yang oleh mereka yang datang kemudian telah dijadikan pegangan, dan segala yang berasal dari dia dipandang sebagai bukti yang sahih. Tidak sedikit dari pengaruh prinsip-prinsip itu yang penting sekali artinya. Karenanya, penerapannya tetap berlaku sampai sekarang. Dalam beberapa bidang hukum, baik dalam hukum Islam atau di luar hukum Islam sudah dianggap sebagai prinsip-prinsip universal yang sudah tak dapat dibantah lagi. Di antara prinsip-prinsip itu ialah soal hukum darurat (terpaksa). Dalam Qur’an sudah ditentukan hukum-hukum Allah yang berlaku mengenai pembunuhan. pencurian, zina, tuduhan palsu dan perampokan. Allah berfirman : “…. barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah mereka itulah orang fasik,” (TQS. al-Ma’idah (5) : 47). Sungguhpun begitu Umar berpendapat akan menghindari hukuman itu dengan cara darurat berdasarkan firman Allah : “…jika dalam keadaan terpaksa bukan sengaja hendak melanggar atau mau melampaui batas maka tidaklah ia berdosa. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.” (TQS. al-Baqarah (2) : 173).
Suatu hari orang-orang membawa seorang perempuan yang melakukan perbuatan zina dan dia memang mengakui perbuatannya. Umar memerintahkan agar dia dirajam. Tetapi Ali bin Abi Talib berkata : Barangkali dia masih dapat mengemukakan alasan! Kemudian ia ditanya : Apa yang membuatmu berbuat begitu? Perempuan itu menjawab : Saya mempunyai seorang teman. Dalam untanya masih ada air susu, sedang dalam unta saya tak ada air juga tak ada susu. Saya sangat haus; saya minta diberi air tetapi dia menolak kecuali kalau saya bersedia menyerahkan diri. Tetapi saya menolak, sampai tiga kali. Saya sudah begitu haus dan sesudah saya rasa saya sudah akan mati maka saya berikan apa yang dimintanya itu. Lalu ia memberi saya minum. “Allahu Akbar!” kata Ali, “…. jika dalam keadaan terpaksa bukan sengaja hendak melanggar atau mau melampaui batas maka tidaklah ia berdosa. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.” Dalam Sunan oleh Baihaqi dan Abu Abdur-Rahman as-Sulam ia melaporkan bahwa ada seorang perempuan yang sudah kepayahan karena kehausan dibawa kepada Umar. Ketika sedang melalui seorang gembala ia meminta diberi minum gembala itu menolak kecuali jika ia menyerahkan dirinya, maka ía pun menyerah. Umar mengadakan musyawarah untuk menjatuhkan hukum rajam, tetapi Ali berkata : Ini keadaan terpaksa; saya berpendapat, lepaskan saja dia. Oleh Umar dia dibebaskan.
Diceritakan bahwa ada sekelompok pemuda pembantu-pembantu Hatib bin Abi Balta’ah mencuri seekor unta milik orang dari Muzainah. Ketika dibawa kepada Umar mereka mengaku. Kusayyir bin as-Salt meminta agar mereka dijatuhi hukuman potong tangan. Setelah pergi ia dipanggil kembali lalu katanya : Sungguh kalau tidak karena saya tahu kalian memanfaatkan mereka dan membuat mereka kelaparan sehingga jika sekiranya ada dari mereka yang memakan makanan yang diharamkan oleh Allah mereka halalkan, niscaya saya potong tangan mereka. Kemudian ia menujukan kata-katanya kepada Abdur-Rahman bin Hatib bin Abi Balta’ah dengan katanya : Demi Allah, kalau saya tidak melakukan itu pasti saya denda kalian dengan denda yang sangat menyakitkan Anda! Setelah itu katanya lagi : Hai orang Muzainah (pemilik unta), berapa Anda hargai unta Anda itu? Empat ratus, jawabnya. Umar berkata kepada Abdur-Rahman : Pergilah dan berikan kepadanya delapan ratus, dan bebaskan anak-anak muda pencuri itu dari tuduhan pencurian, sebab Hatib yang telah memaksa mereka mencuri; mereka dalam kelaparan dan mereka sekadar mencari hidup.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 701-704.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar