Kamis, 18 September 2014

Ijtihad Umar bin Khattab (8)

Umar Melarang Pengumpulan Hadis, Kemudian Membiarkan
Tetapi tak lama setelah hal itu dipikirkan kembali ia merasa ragu. Sahabat-sahabat Rasulullah dipanggilnya dan diajaknya bermusyawarah. Sebagian besar mereka setuju dan mereka juga menyarankan penulisan hadis dan sunah itu. Selama satu bulan ia memikirkan masalah itu, dan ia pun memohon kepada Allah untuk memberikan pilihan : Akan terus majukah atau akan mundur. Pada suatu pagi sesudah ia merasa Allah telah memberikan keteguhan hati kepadanya ia berkata : Seperti kalian ketahui, saya pernah mengatakan kepada kalian mengenai penulisan hadis dan sunah. Kemudian saya teringat orang-orang dan Ahli Kitab sebelum kita yang menuliskan kitab-kitab. Begitu asyik mereka dengan kitab-kitab itu, dan Kitabullah mereka tinggalkan. Saya tidak akan mencampuradukkan Qur’an dengan apa pun!” Dengan demikian penulisan itu dibatalkan, dan ia menulis ke kota-kota lain dengan mengatakan : “Barang siapa memilikinya supaya dihapus.”
Ketika Umar membatalkan penulisan hadis dan sunah itu dan memerintahkan orang untuk menghapus yang sudah ditulis, sudah benarkah dia ataukah salah, dan akibat kesalahannya itu tampak baru kemudian?
Kita dapat mengatakan bahwa dia salah, dan perjalanan sejarah telah menunjukkan adanya kesalahan itu. Hadis-hadis tersebut setelah itu mulai berbiak dan beredar dari mulut ke mulut tanpa batas. Dan setelah permusuhan antara Banu Umayyah dengan Banu Hasyim kembali tampak ke permukaan menyusul terbunuhnya Usman, kemudian timbul perang saudara antara Ali dengan Mu’awiyah dan ‘Aisyah melawan Ali, dan ada pula yang mendukung Ali, maka begitu banyak hadis palsu yang pro dan kontra Ali yang oleh Ali dibantah selama masa hidupnya dengan mengatakan : “Tak ada kitab yang dapat kami bacakan kepada kalian selain yang ada di dalam Qur’an, dan apa yang ada dalam lembaran ini saya ambil dari Rasulullah, di dalamnya terdapat soal kewajiban-kewajiban zakat.” Kata-kata ini tidak juga dapat menghentikan tukang menciptakan hadis itu dan usahanya karena nafsu ingin mengajak orang, atau karena sifat-sifat kebaikan yang dikira akan dapat memikat orang untuk mengikutinya jika hadis itu dikaitkan kepada Rasulullah. Maka tersebarlah hadis-hadis palsu yang begitu banyak, baik karena tujuan-tujuan politik atau di luar politik, sehingga kaum Muslimin merasa sangat terkejut sebab banyak yang bertentangan dengan isi Quran. Usaha hendak menghentikannya di zaman Banu Umayyah tidak berhasil. Bahkan dari hari ke hari makin bertambah banyak dari sebelumnya.
Sesudah kemudian datang kedaulatan Banu Abbas dan muncul pula al-Ma’mun sesudah hampir dua abad Rasulullah wafat, sementara hadis-hadis palsu ini sudah tersebar puluhan. bahkan ratusan ribu, ada yang saling berlawanan dan bertentangan yang selama itu tidak terpikirkan. Untuk sekadar ukuran cukup kalau kita sebut misalnya al-Bukhari, ia menemukan hadis-hadis yang sedang beredar ketika itu lebih dari 600.000 hadis, dari antaranya hanya 4000 hadis yang dinilainya sahih. Sedang Abu Daud yang telah menghimpun 500.000 hadis hanya 4800 hadis yang dinyatakan sahih. Dan tidak sedikit hadis yang oleh para penghimpunnya dianggap sahih dikritik oleh ulama dan ahli fikih yang lain. Sekiranya Umar menghimpun hadis-hadis dan sunah yang dinilai paling sahih pada masanya itu, niscaya sesudah itu tidak akan ada lagi hadis-hadis yang berkembang biak. Setelah hadis yang sahih dalam hadis yang palsu seperti seutas bulu putih di kulit lembu jantan hitam —seperti dalam ungkapan ad-Daruqutni— pasti dapat diteliti apa yang disebutkan dalam sumber bahwa Mu’awiyah mengatakan : Pakailah hadis yang di masa Umar ia telah mengancam orang mengenai hadis dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.” Tetapi karena Umar tidak sampai melakukan itu, maka banyak hadis yang diriwayatkan orang, dan orang tidak tahu lagi mana yang di masa Umar dan mana yang dipalsukan sesudahnya. Akibatnya terjadilah hadis-hadis buatan seperti yang kita lihat. ini adalah suatu bukti bahwa Umar memang salah tatkala ia membatalkan niatnya hendak menghimpun hadis-hadis dan sunah itu. dan mengeluarkan perintah untuk menghapus semua yang sudah ditulis orang.
Kita dapat mengatakan ini, dan kita akan menjadi ragu setelah jumlahnya pada zaman Ma’mun mencapai 900.000 hadis, yang sahih di antaranya hanya empat ribu hadis. Itu pun tidak sedikit pula yang kemudian masih menjadi sasaran kritik dan sanggahan orang. Tetapi dalam menilai ini kita tidak obyektif kalau kita masih meragukannya. Umar sudah memperhitungkan, bahwa orang-orang yang akan menggantikannya kelak sebagai amirul rnukminin akan mengikuti jejaknya dalam melarang orang meriwayatkan hadis. dan akan seperti dia memenjarakan siapa saja yang banyak mengumbar hadis Rasulullah. Kalaupun para pengganti itu tidak melakukannya, malah sengaja mereka menutup mata mengenai hadis-hadis yang dipalsukan karena tujuan-tujuan politik atau lainnya, dan sebagian lagi ada yang malah mendorong melakukan yang demikian, maka yang menanggung dosanya dalam hal ini bukanlah Umar, tetapi para pengganti itu sendiri. Mereka yang mendorong melakukan pemalsuan hadis-hadis itu, mereka itulah yang paling berat bertanggung jawab dan memikul segala akibatnya. Dalam keadaan seperti ini, adilkah kita mengaitkan kesalahan itu kepada Umar?!
Anggaplah misalnya Umar memerintahkan penulisan hadis dan sunah itu, kemudian timbul fitnah dan terjadi perang saudara antara Ali dengan Mu’awiyah, antara Banu Umayyah dengan Banu Hasyim, lalu dalam perang dan huru-hara itu riwayat hadis dan Rasulullah dijadikan alat propaganda, masih mungkinkah orang menahan diri untuk tidak menuliskan hadis-hadis palsu dengan riwayatnya itu?! Ataukah para propagandis politik itu terus mendorong dan mengumpulkan hadis-hadis seperti yang di lakukan Umar, lalu pihak-pihak yang berkepentingan menambah-nambahkan kekuasaannya yang resmi ke dalamnya, hal yang tak pernah ada yang melakukan seperti itu atas apa yang sudah dihimpun oleh Bukhari dan para pemuka hadis yang lain sesudahnya’? Kalau sudah begitu, tidaklah heran bahwa tulisan-tulisan pihak resmi itu lalu mempunyai nilai agama, hal yang sangat dikhawatirkan oleh Umar ketika ia berkata : “...saya tidak akan mencampuradukkan Qur’an dengan apa pun!” Dan saat berkata : “...ada satu golongan menulis kitab. Begitu asyik mereka dengan itu dan Kitabullah mereka tinggalkan.”
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 699-701.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar