Kamis, 11 September 2014

Ijtihad Umar bin Khattab (6)

Soal Talak Tiga dengan Sekali Ucapan
Ada ijtihad Umar mengenai nas Qur’an yang berbeda dengan kita sekarang. Allah berfirman : “Bercerai dibolehkan hanya dua kali; maka tahanlah dengan cara yang pantas, atau lepaskan dengan cara yang baik….” (TQS. al-Baqarah (2) : 229), dan selanjutnya : “Bila (pihak suami) menceraikannya, maka sesudah itu tak boleh ia mengawininya lagi sebelum ia menikah dengan suami lain...” (TQS. al-Baqarah (2) : 230). Jelas bahwa yang dimaksud dalam ayat ini jika terjadi perceraian berulang kali. Sesudah terjadi dua kali perceraian suami masih boleh rujuk dengan istrinya. Tetapi sesudah talak yang ketiga sudah tak dibolehkan lagi sebelum perempuan itu menikah dengan laki-laki lain. Hikmah yang terdapat dalam nas ini jelas sekali. Perceraian atau talak berarti berakhirnya kehidupan suami-istri yang akan berakibat fatal bagi kedua pihak, dan akan berlanjut sampai kepada anak-anaknya. Juga tidak jarang pula akibat buruk akan menimpa anak-anak itu sepanjang hidupnya. Oleh karena itu Qur’an membolehkan pihak suami kembali rujuk dengan istrinya sesudah talak pertama dan sesudah talak kedua. Diisyaratkan bahwa talak itu harus didahului dengan perukunan kembali antara suami-istri sesuai dengan firman Allah : “Bila kamu khawatir terjadi perpecahan antara mereka berdua, utuslah seorang penengah (masing-nasing) dari pihak keluarga suami dan dari pihak keluarga istri. Jika keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan membukakan jalan kepada mereka….” (TQS. an-N isa’ (4) : 35). Jika jalan keluar itu sudah tidak mungkin dan terjadi perpisahan dengan talak masih dapat dilakukan rujuk dua kali. Supaya setelah itu pihak suami-istri tidak saling menganggap enteng retaknya tali perkawinan, Qur’an mengatur dengan tidak membenarkan seorang suami kembali rujuk dengan bekas istrinya setelah talak yang ketiga, sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Kalau seorang suami berkata kepada istrinya : Saya jatuhkan talak tiga kepadamu, talak demikian tetap berlaku sekali, sebab talak itu dengan perbuatan, bukan dengan perkataan. Itulah yang berlaku pada masa Nabi dan masa Abu Bakr. Dalam Sahih Muslim dari Ibn Abbas ia berkata : “Talak itu berlaku pada masa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam dan masa Abu Bakr dan dua tahun di masa kekhalifahan Umar. talak tiga itu satu kali. Umar bin Khattab berkata : “Orang tergesa-gesa dalam soal yang seharusnya berhati-hati. Seharusnya ini kita berlakukan kepada mereka. Maka diberlakukannya itu kepada mereka.””
Bagaimana Umar berpendapat begitu dan memberlakukannya kepada orang padahal itu bertentangan dengan arti harfiah nas dan hikmahnya? Untuk dapat memahami ini kita harus mengacu kepada sebab turunnya ayat ini : “Bercerai dibolehkan hanya dua kali; maka tahanlah dengan cara yang pantas, atau lepaskan dengan cara yang baik…” Ibn Jarir menceritakan dalam tafsirnya bahwa apa yang dikatakan oleh sebagian mereka bahwa “ayat ini turun karena orang-orang jahiliah dan orang-orang Islam sebelum turun ayat tersebut menceraikan istri tanpa batas yang menerangkan berakhirnya kembali rujuk dengan istri itu dalam masa idahnya. Untuk itu Allah menyebutkan suatu batas yang mengharamkan berakhirnya talak itu bagi laki-laki terhadap istri yang sudah diceraikan kecuali sesudah menikah lagi dan ketika itu si istri lebih berhak atas dirinya daripada laki-laki itu.” Disebutkan bahwa ada laki-laki berkata kepada istrinya pada masa Rasulullah sallallãhu ‘alaihi wasallam : Aku tidak akan melindungimu dan tidak akan membiarkanmu boleh dikawini! Kata perempuan itu : Bagaimana caranya? Dijawab : Menceraimu, dan kalau waktu idah sudah hampir habis aku kembali rujuk lagi. Kapan dibolehkan? —yakni menikah dengan yang lain. Perempuan itu pergi menemui Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Allah menurunkan ayat ini : “Bercerai dibolehkan hanya dua kali; maka tahanlah istrimu dengan cara yang pantas, atau lepaskan dengan cara yang baik...” Orang menyambutnya sebagai hal baru, baik yang sudah diceraikan atau tidak. Qatadah sebagai sumber mengatakan : Orang jahiliah dapat menceraikan tiga kali, sepuluh kali atau lebih, kemudian rujuk lagi dengan perempuan yang masih dalam idah. Maka Allah membatasi talak itu tiga kali.”
Dari sebab turunnya ayat ini terlihat bahwa pembatasan hak laki-laki mengadakan rujuk terhadap istrinya —selama dengan berakhirnya idah itu belum bergaul, dan rujuk itu tidak lebih dari dua kali— tujuannya agar pihak laki-laki tidak merugikan pihak perempuan dan tidak membiarkannya seolah-olah ia hidup terkatung-katung. Melindungi perempuan demikian ini sesuai dengan jiwa Islam. Demikian rupa Qur’an melindungi kepentingan perempuan sehingga perempuan yang diceraikan dua kali disuruh tetap tinggal di rumah suami-istri tadi selama masa idah, dan harus mendapat perlakuan yang baik. Allah berfirman : “….. dan janganlah keluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, juga janganlah mereka sendiri yang keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang sudah jelas...” (TQS. at-Talaq (65) : 1) dan “Untuk istri-istri yang diceraikan (harus diberi) biaya hidup menurut (ukuran) yang pantas...” (TQS. al-Baqarah (2) : 241). Firman-Nya lagi : “Jika waktu yang ditentukan buat mereka sudah sampai, pertahankanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik...” (TQS. at-Talaq (65) : 2), juga : “…. Dan suami-suami mereka lebih berhak rujuk jika mereka menghendaki damai (kerukunan)...” (TQS. al-Baqarah (2) : 228), Selanjutnya : “Apabila kamu menceraikan istrimu dan sudah cukup masanya (idah), maka janganlah dirintangi mereka menikah lagi dengan suaminya (yang dulu) jika sama-sama mereka setujui dengan cara yang pantas…” (TQS. al-Baqarah (2) : 232). Ayat-ayat ini dan yang lain melarang pihak suami merugikan istrinya, dan gangguan ini dipandang sebagai dosa besar. Allah telah menentukan adanya rujuk itu untuk kerukunan. Kalau ternyata kerukunan sudah tidak mungkin, dan ternyata rujuknya suami kepada istrinya tujuannya hanya untuk membuat mudarat (merugikan) hikmah rujuk itu sudah tak ada artinya lagi.
Kemungkinan besar mereka yang menceraikan istri pada masa Umar itu tak kenal rasa kasihan sesudah mereka diceraikan. Bekas tawanan-tawanan perang Irak dan Syam begitu banyak dan menggoda penduduk Medinah dan Semenanjung. Mereka lalu cepat-cepat menceraikan istri secara berlebihan karena hendak memperturutkan nafsu. Mereka mengatakan talak tiga dengan sekali ucapan sehingga perempuan-perempuan genit itu yakin bahwa dia adalah satu-satunya orang dalam hati laki-laki itu.
Mungkin juga ada sebab-sebab lain yang mendorong sekelompok Muslimin pada masa permulaan itu dengan mempermainkan talak tiga secara sewenang-wenang dan sangat menyakiti. Dengan demikian laki-laki dapat kawin lagi dengan perempuan lain, Arab atau bukan-Arab, di luar tawanan-tawanan perang, dengan syarat agar ia menceraikan istri pertamanya dengan talak tiga dan ia tak akan boleh rujuk sebelum bekas istrinya itu kawin dengan laki-laki lain. Kalaupun terjadi rujuk, rujuk ini akan menimbulkan gejolak dalam rumah dengan akibat tidak akan membawa ketenteraman hidup rumah tangga.
Sebab-sebab yang seperti inilah yang telah mendorong Umar mengeluarkan fatwanya, dan memberlakukan talak tiga dengan sekali ucapan seolah itu talak tiga yang masing-masing terpisah. Dia melihat bahwa jika orang sudah begitu meremehkan akad pernikahannya, lalu menggabungkan talak tiga menjadi satu, orang yang telah berbuat sewenang-wenang harus memikul akibat perbuatannya itu. Dan itulah yang dikatakannya : “Orang tergesa-gesa dalam soal yang seharusnya berhati-hati. Seharusnya ini kita berlakukan kepada mereka!”
Inilah ijtihad dengan menggunakan akal pikiran yang kemudian tidak sedikit ahli fikih yang menentang pendapat Umar ini sampai di zaman kita sekarang pun di beberapa negeri Islam banyak orang yang menentangnya. Janganlah hendaknya ada yang berprasangka terhadap Umar, juga dia tidak berprasangka terhadap orang yang menentangnya. Umar dan sahabat-sahabat yang lain tidak memberikan fatwa dengan pendapat mereka sebagai pemaksaan, juga bukan dia sendiri yang merasa berhak, tetapi itu adalah sekadar pendapat, kalau benar dari Allah dan kalau salah dari pihaknya sendiri. Untuk itu ia beristigfar kepada Allah. Umar pernah bertemu seseorang yang sedang bermasalah lalu ditanya : Apa yang Anda lakukan? Dijawab : Ali dan Zaid memutuskan begini... Kata Umar : Kalau saya yang begitu tentu saya lakukan begini. Kata orang itu : Mengapa tidak Anda lakukan. keputusan di tangan Anda? Umar menjawab : Kalau saya bawa Anda kepada Qur’an dan Sunah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tentu sudah sava lakukan. Tetapi saya ingin mengajak Anda kepada pendapat saya. Dan pendapat itu kolektif. Oleh karena itu apa yang diputuskan oleh Ali dan Zaid tidak gugur. Suatu hari ketika Umar menyampaikan suatu pendapat ada yang berkata: Inilah pendapat Allah dan pendapat Umar. Orang itu dibentaknya : Tidak benar apa yang Anda katakan. Inilah pendapat Urnar : kalau benar dari Allah, dan kalau salah dari Umar. Dia diam sebentar, kemudian katanya : Hukum adalah yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Janganlah pendapat yang salah hendak dijadikan suatu hukum bagi umat.
Kalaupun saya sudah menyebutkan ijtihad Umar mengenai talak tiga yang dengan satu kata dan yang secara harfiah bertentangan dengan nas dan hikmah karena sebab-sebab yang sudah saya sebutkan di atas, baik juga kalau di sini saya singgung juga, bahwa bukan hanya dalam soal ini saja ia berijtihad. Dia juga berijtihad dalam soal perkawinan dan perceraian, tentang kehidupan suami-istri dan ibu dengan ijtihad yang kemudian begitu besar pengaruhnya dalam pembentukan hukum fikih. Dialah yang melarang nikah mut’ah. Sejak itu kaum suni berjalan atas dasar pendapatnya itu. Juga Umar melarang penjualan ibu anak-anak (yang asalnya hamba sahaya) yang di masa Rasulullah dan di masa Abu Bakr dibolehkan. Ali bin Abi Talib di masa kekhalifahannya bermaksud menghidupkan kembali cara ini, dan mengatakan bahwa tak adanya penjualan itu atas dasar ijtihad dengan persetujuan dia dengan Umar, dan kadinya Ubaidah as-Salmani berkata : Pendapat Anda dan pendapat Umar bersama-sama lebih kami sukai daripada pendapat Anda sendirian. Ali menjawab : Ambillah keputusan seperti yang sudah kalian lakukan dulu. Demikianlah karena dia tidak menyukai adanya perbedaan. Tentang perempuan yang diceraikan yang masih dalam idah serta perkawinannya dengan yang bukan suaminya yang pertama, dan pewarisannya sebelum habis waktunya dan segala yang berhubungan dengan itu Umar memberi fatwa dengan fatwa-fatwa yang kebanyakannya masih berlaku sampai sekarang.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 691-695.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar