Kamis, 04 September 2014

Ijtihad Umar bin Khattab (4)

Ijtihad Umar Sebelum dan Sesudah Menjadi Khalifah
Sesudah kabilah-kabilah yang di dekat Medinah menolak menunaikan zakat dan Abu Bakr bertekad akan memerangi mereka, ia mengumpulkan para sahabat untuk dimintai pendapat. Tetapi sebagian mereka menentang, di antaranya Umar bin Khattab. Mereka berpendapat, jangan memerangi orang yang sudah beriman kepada Allah dan sudah percaya kepada Rasulullah, dan lebih baik meminta bantuan mereka dalam menghadapi musuh. Ketika Umar berkata : “Bagaimana kita akan memerangi orang yang kata Rasulullah sallallãhu ‘alaihi wasallam : ‘Aku diperintah memerangi orang sampai mereka berkata : Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul-Nya. Barang siapa berkata demikian. darah dan hartanya terjamin, kecuali dengan alasan.” Abu Bakr berkata : “Demi Allah, aku akan memerangi siapa saja yang memisahkan shalat dengan zakat. Zakat adalah kewajiban harta. Dikatakan ‘sesuai dengan kewajiban zakat.” Kata Umar kemudian : “Sungguh, apa yang kusaksikan ternyata Allah memang telah melapangkan dada Abu Bakr dalam menghadapi perang, maka aku tahu bahwa dia benar.”
Ketika terjadi ekspedisi Yamamah dan dari mereka yang hafal Qur’an banyak yang mati syahid, Umar bin Khattab datang menemui Abu Bakr yang sedang berada di Masjid. Kata Umar kepada Abu Bakr : “Pembunuhan yang terjadi dalam perang Yamamah sudah makin memuncak, katanya kemudian kepada Abu Bakr. “Saya khawatir di tempat-tempat lain akan bertambah banyak penghafal Qur’an yang akan terbunuh sehingga Qur’an akan banyak yang hilang Saya mengusulkan agar Qur’an dihimpun.” Usul yang dirasakan oleh Abu Bakr sangat tiba-tiba itu dijawab dengan pertanyaan : “Bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah sallallãhu alaihi wasallam?” Maka terjadilah dialog panjang antara kedua tokoh itu yang membuat Abu Bakr kemudian puas dengan pendapat Umar. Ia memanggil Zaid bin Sabit dan menyampaikan usul Umar mengenai pengumpulan Qur’an seraya katanya : Saya katakan kepada Umar, bahwa “bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah sallallãhu ‘alaihi wasallam?” Lalu katanya : Itu sungguh bagus. Sementara dia terus mengoreksi saya sampai Allah membukakan hati saya, dan saya Sependapat dengan Umar.” Selanjutnya ia berkata kepada Zaid : “Anda masih muda, cerdas dan kami tidak meragukan Anda. Anda penulis wahyu untuk Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Sekarang lacaklah Qur’an itu dan kumpulkan. Zaid berkata : Bagaimana Anda berdua melakukan itu, yang tidak dilakukan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Maka kata Abu Bakr : Itu sungguh bagus. Zaid menyudahi pembicaraan itu dengan mengatakan : Kemudian Allah membukakan hati saya seperti terhadap Abu Bakr dan Umar. Zaid meninggalkan tempat itu dan selanjutnya bekerja melacak dan menghimpun Qur’an dari lempengan-lempengan, dari tulang-tulang bahu, kepingan-kepingan pelepah pohon kurma dan dari hafalan orang.
Sesudah Perang Riddah selesai dan penyerbuan ke Irak dimulai dan Khalid bin Walid mengirimkan seperlima rampasan perang ke Medinah. Abu Bakr memerintahkan pembagian merata kepada semua orang. Tetapi Umar menegurnya dengan mengatakan : Bagaimana menyamakan orang yang memerangi Rasulullah dengan orang berperang bersama Rasulullah? Atau dengan kata-kata : Bagaimana Anda menyamakan orang yang meninggalkan rumah dan hartanya dan hijrah bersama Rasulullah, dengan orang yang masuk Islam karena terpaksa? Lalu kata Abu Bakr : Mereka telah menyerahkan diri kepada Allah maka pahalanya di tangan Allah. Dunia ini adalah sarana. Kita sudah melihat bahwa setelah menggantikan Abu Bakr Umar membeda-bedakan tunjangan itu dan menjadikan mereka bertingkat-tingkat.
Inilah beberapa contoh dari ijtihad Abu Bakr dalam soal kenegaraan secara umum. Seperti sudah kita lihat, semua mengenai soal yang sangat penting. Ijtihadnya mengenai hukum fikih antara lain : ia menetapkan nenek dari pihak ibu dapat menerima waris, tetapi nenek dari pihak ayah tidak. Beberapa orang dari Ansar berkata kepadanya : Perempuan mendapat warisan dari yang mati kalau dia yang mati tak ada yang mewarisi, dan perempuan meninggalkan harta peninggalan, kalau dia yang mati semua yang ditinggalkan diwariskan, dan antara keduanya dipersekutukan.
Ketika Abu Bakr ditanya mengenai soal kalalah (dalam hukum waris (fara’id), orang yang meninggal tidak meninggalkan keturunan atau ayah-bunda ke atas; yang akan menjadi ahli waris istri/suami, saudara dan seterusnya) ia menjawab : Saya katakan mengenai kalälah atas dasar pendapat saya sendiri : kalau itu benar, maka itulah yang dari Allah, kalau salah dari saya dan dari setan. Yang disebut kalalah ialah selain ayah dan anak.
Sudah kita lihat di atas, ketika kita bicara mengenai Umar dalam mendampingi Nabi dan di masa Abu Bakr, tidak sedikit peranan Umar dalam berijtihad dengan pikiran, yang sebagian diperkuat oleh Qur’an, dan sebagian lagi disetujui oleh Rasulullah yang begitu kagum kepadanya, sehingga ia berkata : “Allah telah menempatkan kebenaran di lidah dan di hati Umar.” Kita sudah melihat begitu Umar memulai pemerintahannya ia memerintahkan mereka untuk membebaskan semua tawanan Perang Riddah dan mengembalikan kepada keluarga-keluarga mereka, kebalikannya dari pendapat Abu Bakr sebelum itu. Ia berkata : “Aku tidak ingin melihat adanya tawanan perang menjadi kebiasaan di kalangan Arab.” Dalam pengiriman pertama pasukan ke Irak dia tidak mengangkat orang dari Muhajirin dan Ansar yang mula-mula seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr, tetapi yang diangkatnya Abu Ubaid as-Saqafi, karena dia orang yang pertama yang mencalonkan diri untuk ini setelah selama tiga hari orang masih maju mundur. Dia memecat Khalid bin Walid dari angkatan bersenjata di Syam padahal dia Saifullah sesuai dengan sebutan Rasulullah, dan dalam hal ini Abu Bakr berkata : Saya tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah dihunuskan terhadap orang-orang kafir, dan dia sudah mampu mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani dari koloni-koloni mereka di Semenanjung. Baik Rasulullah maupun Abu Bakr kemudian sudah mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran mengenai jizyah yang akan mereka bayar sebagai imbalan atas penghormatan dan perlindungan kaum Muslimin terhadap mereka. Senmua ini atas ijtihad Umar yang telah memperlihatkan kebijakan itu pada tempatnya.
Di samping itu kita masih melihat ijtihad Umar banyak sekali di bagian lain. Cukup kalau kita sebut misalnya ijtihadnya mengenai sanksi minuman keras (khamar) dan dalam menjauhi kota yang terkena wabah serta tindakannya menjauhi kota-kota lain. Membeda-bedakan tunjangan kepada Muslimin sesuai dengan lamanya dalam Islam serta kekerabatannya dengan Rasulullah. Banyak lagi hal lain di luar itu yang telah membawa perubahan di Semenanjung Arab dan negeri-negeri yang sudah ditaklukkan.
Sebelum menguraikan ijtihad Umar agaknya baik juga seperti yang sudah kemukakan, kita sebutkan bahwa al-Faruq Umar yakin sekali bahwa Islam adalah jiwa dan akidah. Orang tidak akan sempurna imannya sebelum ia memahami jiwa agama yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu ketentuan-ketentuan hukum Qur’an yang diturunkan disesuaikan dengan jiwa yang menyertainya. Jika di dalamnya terdapat sunah yang berasal dari Rasulullah —dalam kata atau perbuatan— pertalian sunah itu perlu diketahui untuk kemudian diterapkan dengan sangat hati-hati. Dengan demikian dalam mengambil keputusan jika menghadapi sesuatu, mencari petunjuk itu dengan jiwa itu, bukan dengan huruf. Karena iman yang sudah begitu kuat dan benar-benar mematuhi ajaran-ajaran Rasulullah, ia berani melakukan ijtihad, kendati secara lahir lampak berlawanan dengan nas (ayat). Jika terdapat suatu nas yang harus diterapkan tetapi tidak sejalan dengan kondisi masyarakat. maka nas itu tidak diterapkan, dan kalau kondisi masyarakat itu memerlukan penafsiran nas, maka nas itu yang ditafsirkan. Keduanya itu dilakukan supaya sejalan dengan hukum yang berhubungan dengan kondisi masyarakat itu, dan sekaligus juga cocok dengan jiwa prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam yang murni.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 687-690.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar