Senin, 01 September 2014

Ijtihad Umar bin Khattab (3)

Ijtihad Muslimin yang Mula-mula
Setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah, kaum Muslimin yang mula-mula itu memang sangat memerlukan ijtihad dengan pikiran. Ketika itu mereka meminta fatwa Rasulullah dan dia pun memberikan fatwa. Perkara-perkara yang diajukan kepadanya diselesaikan. Kalau melihat ada orang melakukan sesuatu yang baik dipujinya, kalau perbuatan jahat yang dilakukan dicelanya. Jika para sahabat mempunyai beberapa pendapat lalu disampaikan kepadanya, pendapat yang benar dibenarkannya dan yang salah dikatakannya salah. Setelah Rasulullah wafat tak ada jalan lain mereka harus memilih jalan kias dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang tak terdapat dalam nas (Nas, teks, yakni ayat dalam Qur’an atau kata-kata dalam hadis Nabi yang dipakai sebagai dalil dalam memecahkan suatu masalah). Itulah yang mereka lakukan, dan apa yang mereka lakukan itu tak seorang pun di antara mereka ada yang berkeberatan. Tetapi mereka tidak memberi fatwa sebagai suatu keharusan atau itulah yang benar; itu hanya suatu dugaan sambil mereka beristigfar kepada Allah, atau mencari jalan tengah antara kedua pihak yang saling berbeda pendapat. Seperti dikatakan Ibn Hazm dalam al-Ihkãm fi Usülil Ahkãm : “Mereka yang menyampaikan pendapat atas dasar pikiran, istihsan atau ikhtiar banyak sekali di antara mereka. Semoga ridla Allah dilimpahkan kepada mereka. Tetapi tak ada caranya untuk menuduh seseorang bahwa dia menyampaikan pendapatnya sebagai ketentuan yang harus dipatuhi. Mereka hanya mengatakan sebagai catatan dari pihak mereka, bahwa itulah yang terlontar dalam pikiran mereka. Begitulah menurut dugaan mereka, dan demi kerukunan antara kedua pihak yang saling berbeda pendapat, dan sebagainya.” (TQS. 7: 118-119). Bagaimana mereka tidak akan berijtihad sementara persoalan-persoalan baru selalu timbul dan suasana kehidupan dalam kabilah-kabilah dan bangsa-bangsa yang harus dihadapi oleh sahabat-sahabat Rasulullah itu beraneka macam, berbeda dengan suasana kehidupan di tempat mereka. Semua itu memerlukan ijtihad, dan orang tak akan hidup tenang tanpa ada pemecahannya.
Ijtihad mereka yang pertama ialah ketika memilih Abu Bakr sebagai khalifah setelah Nabi wafat. Kita masih ingat dialog dan perdebatan yang terjadi di Saqifah Banu Sa’idah yang begitu keras sehingga hampir terjadi bencana, yang kemudian berakhir dengan dibai’atnya Abu Bakr. Sesudah Abu Bakr resmi sebagai Khalifah, mereka pernah berselisih pendapat tentang pengiriman pasukan Usamah untuk menghadapi pasukan Rumawi, yaitu ketika terjadi pembangkangan orang-orang Arab pedalaman atas pemerintahan Medinah. Kalangan Muhajirin dan Ansar berkata kepada Abu Bakr : “Mereka (yakni pasukan Usamah) Muslimin pilihan, dan seperti Anda ketahui, orang-orang Arab pedalaman itu sudah memberontak kepada kita. Maka tidak seharusnya jemaah Muslimin terpisah dari Anda.” Usamah sendiri meminta kepada Umar bin Khattab agar ia kembali kepada Abu Bakr memintakan izin untuk kembali dengan pasukannya, supaya angkatan bersenjatanya dapat menghadapi kaum musyrik dan mereka tidak akan mengubrak-abrik kaum Muslimin. Tetapi jawaban Abu Bakr : “Demi Yang memegang nyawa Abu Bakr, sekiranya ada serigala akan menerkamku, niscaya akan kuteruskan pengiriman pasukan Usamah ini seperti yang diperintahkan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Sekiranya di kota ini sudah tak ada orang lagi selain aku, pasti kulaksanakan juga.”
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 686-687.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar