Kamis, 25 September 2014

Ijtihad Umar bin Khattab (10)

Persamaan di Depan Hukum
Dari antara prinsip-prinsip yang sudah dibuat oleh Umar itu yang sampai sekarang di kebanyakan negara yang sudah maju masih tetap berlaku ialah prinsip persamaan di depan hukum. Dia menulis hal itu kepada Abu Musa al-Asy’ari dan hakim-hakim yang lain seperti yang sudah kita lihat, dan dia sendiri melaksanakannya dengan sangat teliti sekali. Di atas sudah kami sebutkan beberapa contoh yang sudah dipraktekkannya.
Dalam hal ini contoh yang cukup menonjol kasus Jabalah bin al-Aiham al-Gassani. Sejalan dengan cerita ini ialah yang telah terjadi ketika ada orang Yahudi mengadukan Ali bin Abi Talib kepada Umar, sedang kedudukan Ali terhadap Nabi di mata kaum Muslimin umumnya sudah sama-sama kita ketahui. Tetapi ia berkata kepada Ali : Abul Hasan, duduklah berhadapan dengan lawanmu itu. Atau berkata : Perlakukan samalah lawan Anda itu. Ali menyamakan dirinya dan duduk berhadapan dengan lawannya itu dengan menampakkan muka kesal. Sesudah perkaranya selesai Umar berkata : Ali, rupanya Anda tidak senang duduk berhadapan dengan lawan Anda? Setelah itu ada sumber yang menyebutkan bahwa Ali menjawab : “Tidak! Tetapi saya tidak senang karena Anda tidak mempersamakan ketika Anda memanggil saya dengan Abul Hasan.” Maksudnya sebutan itu memperlihatkan penghormatan kepadanya. Kata-kata Ali ini tidak menafikan bahwa Umar sangat menjaga adanya persamaan semua orang di depan hukum, dan dia melihat bahwa persamaan ini merupakan syarat keadilan yang pertama, lepas dari soal penilaian hakim sendiri suka atau tidak suka terhadap salah satu pihak yang berperkara.
Pengaruh persamaan ini dan masuknya perasaan lega dalam hati orang yang berselisih dapat kita lihat dalam dialog yang dibawakan oleh Ibn Tabataba dalam bukunya al-Fakhri fil Adäh a.s-Sultaniyah ketika Umar berkata kepada seorang laki-laki : Aku mencintaimu. Orang itu bertanya : Lalu ada hak saya yang akan Anda kurangi? Tidak, kata Umar. Orang itu berkata lagi : Yang menyukai cinta begini hanya kaum perempuan.
Mungkin kita masih akan mengira bahwa prinsip persamaan di depan undang-undang itu bukan suatu ijtihad dalam hukum (yurisprudensi), dan menyebutkan hal ini dalam membicarakan ijtihad Umar merupakan hal yang tidak perlu. Sebenarnya itu adalah suatu ijtihad yang luar biasa, dan sampai sekarang masih banyak di antara bangsa-bangsa yang berusaha hendak mewujudkan prinsip ini, yang pada bangsa-bangsa lain baru terwujud pada waktu-waktu belakang ini saja. Rasanya cukup kalau saya sebutkan beberapa keistimewaan yang diberikan kepada orang-orang asing dalam legislasi dan hukum dalam Imperium Usmani sampai waktu belakangan ini, dan apa yang masih berlaku di Mesir sampai akhirnya habis samasekali —agar dapat kita lihat apa yang dilakukan Umar itu sepenuhnya adalah yurisprudensi, dan sepenuhnya ijtihad. Jika di samping itu kita sebutkan beberapa revolusi yang terjadi di Eropa, dalam abad ke-18 dan ke-19, tak lain tujuan pertamanva adalah hendak mewujudkan adanya persamaan di mata undang-undang dan di pengadilan, dan bahwa prinsip persamaan itu merupakan prinsip pertama yang ditetapkan oleh revolusi Prancis dan diperkuat oleh piagam hak asasi manusia. Tentu kita sudah tidak ragu lagi bahwa prinsip inilah yang diusahakan oleh Umar dari dasar hukum Islam itu. Dan Umar memang sudah menghadapi perkembangan orang-orang Arab dan keadaan kesukuan di pedalaman yang memang sudah tidak lagi mengenal administrasi pemerintahan dan pengadilan masyarakat, kepada keadaan madani serta sistem Islam yang berdiri di atas dasar persamaan di depan undang-undang dan di depan pihak yang melaksanakan undang-undang itu.

Yang Tak Terdapat Nasnya dalam Qur’an Umar Berijtihad Sendiri
Perkembangan baru dalam kehidupan orang Arab yang termasuk dasar hukum yang dihadapi Umar ialah ijtihadnya dalam menguraikan segala yang tidak terdapat nasnya yang jelas dalam Qur’an. Qur’an sudah menentukan suatu sistem waris yang tak pernah dikenal sebelum Islam, dan bagi yang mendapat waris sudah ditentukan pula haknya. Tetapi perinciannya dalam nas itu tidak diuraikan. Kita sudah melihat sikap Abu Bakr mengenai warisan nenek dari pihak ibu. Ada beberapa soal lain yang diajukan kepada Umar yang tidak terdapat nasnya dalam Qur’an ataupun dalam sunah, tetapi harus dipecahkan dengan jalan ijtihad berdasarkan pendapat dan pikiran, di antaranya ialah masalah yang terkenal dengan sebutan al-masalah al-umuriyah atau al-masalah al-hajriyah yang memperoleh bagian adalah saudara laki-laki pewaris dari pihak ibu, sedang saudara kandung pewaris tidak memperolehnya. Sesudah hal ini disampaikan kepada Umar, ia memberikan fatwa bahwa saudara kandung, saudara dari pihak ibu dan saudara dari pihak ayah sama-sama mendapat. Tidaklah adil karena saudara kandung lalu tak mendapat bagian. Karenanya ia berkata : Anggaplah ayahnya itu batu —sumber lain menyebutkan keledai— ia mewarisinya dari peninggalan sebagai saudara dari pihak ibu bersama-sama dengan saudara-saudara seibu yang lain.
Umar telah menghadapi berbagai masalah waris yang tidak ringan sesudah terjadi wabah Amawas di Syam yang telah menelan korban ribuan jiwa. Masalah waris ini menjadi kusut masai yang selama bertahun-tahun proses pengadilannya menimbulkan kesulitan besar pada semua bangsa. Sesudah keadaan kembali seperti biasa Umar sendiri pergi ke Syam. Ia mengatur dan mengurus segala masalah yang dipandang perlu. Salah satu pekerjaan yang harus diselesaikannya, mengatur soal pembagian waris kepada para ahli waris dan memisahkannya pula kepada kabilah-kabilah dan masing-masing ahli waris itu. Kita dapat membayangkan betapa cermatnya hal itu dikerjakan serta kemungkinan akan timbulnya perselisihan karenanya. Tetapi bukan maksud saya hendak menguraikan semua ini; saya hanya ingin menyinggung selintas ijtihad yang dilakukan oleh Umar dalam menghadapi segala kesulitan yang begitu pelik itu; namun semua dapat diselesaikannya hanya dalam beberapa minggu saja dan dapat diterima oleh semua kaum Muslimin, padahal mereka masing-masing dengan kepentingannya sendiri. Ini suatu bukti yang nyata sekali bahwa semua orang merasa puas dengan ijtihad yang dilakukan atas dasar keadilan itu.

Pembagian Tanah pada Muslimin yang Membebaskannya
Sekarang saya ingin berpindah ke masalah ijtihad Umar yang terpengaruh oleh kebijakannya secara umum dalam soal-soal kedaulatan yang baru tumbuh itu serta kecenderungannya dalam menghadapi tahap-tahap baru. Dalam memperluas daerahnya itu besar pula pengaruhnya, yakni ijtihadnya sehubungan dengan kawasan yang dibebaskannya secara paksa di Irak dan di Syam.
Kita sudah melihat pihak Muslimin yang telah mendapat kemenangan di Kadisiah, kemudian menaklukkan Mada’in, Jalula, Hims. Halab (Aleppo) dan kota-kota lain dengan segala rampasan perangnya. Setiap rampasan perang seperlimanya dikirimkan kepada Amirulmukminin dan empat perlimanya dibagikan di antara anggota pasukan yang menang perang. Hal ini sesuai dengan firman Allah : “Dan ketahuilah, .segala yang kamu peroleh dari rampasan perang, seperlima untuk Allah dan untuk Rasul, untuk kerabat dan anak yatim, untuk orang miskin dan orang terlantar dalam perjalanan..” (TQS. al-Anfal (8) : 41). Setelah membebaskan tanah Sawad di Irak mereka bermaksud mengadakan pembagian dengan cara itu, seperlimanya untuk baitulmal, dan yang selebihnya dibagikan kepada para anggota pasukan yang terlibat dalam pembebasan itu. Tetapi Umar berbeda pendapat dengan mereka mengenai pembagian tanah itu dengan mengatakan : Bagaimana dengan kaum Muslimin yang datang dan mendapati tanah dengan orang-orang Persia kafirnya sudah dibagi dan diwarisi dari nenek moyang dan menjadi milik mereka. Ini tak dapat diterima. Abdur-Rahman bin Auf dalam hal ini berkata : Tanah dan orang-orang Persia kafir itu tidak lain adalah yang sudah diberikan Allah kepada mereka. yakni kepada para prajurit yang menang. Dijawab oleh Umar : ltulah yang Anda katakan, tetapi saya tidak sependapat. Sesudah saya ini tak akan ada negeri yang dibebaskan lalu memberi hasil yang besar. Bahkan jangan-jangan menjadi beban bagi kaum Muslimin. Kalau kita bagikan tanah Irak dengan orang-orang asing kafirnya, tanah Syam dengan orang-orang asing kafirnya, lalu dengan apa kesenjangan itu ditutup dan apa lagi buat anak-anak dan para janda di negeri ini dan tempat-tempat lain di Syam dan Irak!
Para prajurit itu tidak puas dengan kata-kata Umar. Banyak mereka yang mengecamnya dengan mengatakan : Anda hendak mewakafkan apa yang diberikan Allah kepada kami yang kami peroleh dengan pedang kami untuk golongan orang yang tidak ikut hadir! Tetapi Umar tetap bertahan dengan pendapatnya dengan hanya mengatakan : Itulah pendapat saya. Setelah mereka melihat Umar begitu bersikeras, mereka berkata : Musyawarahkanlah. Sesudah kaum Muhajirin yang mula-mula dikumpulkan mereka berbeda pendapat. Tinggal Abdur-Rahman bin Auf yang masih bertahan dengan pendapatnya agar hak-hak mereka itu dibagikan. Tetapi Usman, Ali dan Talhah sependapat dengan Umar. Umar mengundang sepuluh orang pemuka-pemuka Ansar, lima orang dari Aus dan lima orang dari Khazraj dan ia berkata kepada mereka : “Saya tidak ingin mempersulit kalian selain meminta kalian ikut bersama-sama memikul amanat mengenai persoalan kita ini. Saya hanya salah seorang seperti kalian, dan sekarang kalian mau mengakui atas dasar kebenaran : siapa yang tidak setuju dan siapa yang setuju dengan saya, silakan. Saya tidak ingin kalian mengikuti apa yang saya kehendaki. Di depan kalian ada Kitabullah yang hanya mengatakan yang benar. Sungguh, apa yang saya katakan, yang saya inginkan hanyalah yang benar!” Mereka berkata : “Katakanlah Amirulmukminin, kami akan mendengarkan!” Umar berkata lagi : “Kalian sudah mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang itu, yang mengira bahwa saya telah memperkosa hak-hak mereka, dan saya berlindung kepada Allah bahwa saya hendak melakukan perbuatan yang merugikan. Kalau saya sampai merugikan mereka sedikit sekalipun yang seharusnya menjadi hak mereka dan saya berikan kepada yang lain maka saya telah menganiaya diri saya sendiri. Tetapi saya berpendapat, tak ada lagi yang akan dapat dibebaskan sesudah negeri Kisra ini. Allah telah memberikan kepada kita sebagai rampasan perang harta mereka, tanah mereka dan orang-orang mereka. Harta yang mereka peroleh sebagai rampasan perang sudah saya bagikan kepada yang berhak, dan saya keluarkan seperlimanya dan sudah saya salurkan sebagaimana mestinya, dan saya sendiri yang membimbingnya. Saya berpendapat akan menahan kedua negeri itu dengan orang-orang kafir asingnya dan akan saya kenakan kharaj serta jizyah yang harus mereka bayar. Itulah yang akan menjadi rampasan perang bagian pihak Muslimin yang berperang dan anak-anaknya dan mereka yang datang kemudian. Kalian lihat tempat-tempat perbatasan dengan musuh yang masih rawan itu? Harus ada orang-orang yang menjaganya. Kalian lihat kota-kota besar itu? Semua itu harus diisi oleh angkatan bersenjata, dan kita harus memberikan bekal yang cukup banyak kepada mereka! Apa yang akan dapat diberikan kepada mereka kalau semua tanah dan orang-orang asing kafir itu dibagikan?!”
Kita sudah melihat dialog dengan segala argumennya ini, dan ini membuktikan bahwa perdebatan antara Umar dengan mereka yang mendakwakan diri berhak atas tanah Irak itu terjadi begitu sengit, sehingga karena sengitnya sampai mereka menuduh Amirulmukminin telah melakukan perbuatan zalim, kendati Amirulmukminin tetap bersikeras dengan pendapatnya, yang dalam pendapatnya itu ia tidak berpegang pada nas Qur’an atau sunah yang sudah ada contohnya dari Rasulullah. tetapi kemaslahatan umum bagi negara dan politiknya itulah yang dijadikan dasar. Jadi itu semata-mata pendapat Umar, dari hasil ijtihadnya, dan untuk memperkuatnya ia mengemukakan argumen-argumen yang membuat Usman, Ali dan Talhah merasa puas, dan kesepuluh orang Ansar yang mendengar argumennya itu pun mengatakan : “Terserah kepada pendapat Anda. Pendapat Anda dan apa yang Anda katakan itu memang bagus sekali! Kalau anggota-anggota pasukan tidak ditempatkan di daerah-daerah perbatasan yang rawan dan dalam kota-kota untuk memperkuatnya, niscaya orang-orang kafir itu kembali lagi ke dalam kota.”
Umar sudah merasa puas dengan pendapatnya itu. dan tak ada lagi pihak oposisi yang akan membatalkannya. Dalam hal ini ia berkata : “Sekarang jelas buat saya, siapa orang yang berpikir sehat, yang akan menempatkan tanah ini di tempatnya, dan membiarkan orang-orang Persia kafir itu apa yang dapat mereka lakukan?” Mereka sependapat akan meminta Usman bin Hanif dengan mengatakan : “Utuslah dia ke tempat yang lebih penting. Pandangan dan pikirannya baik sekali dan dia sudah berpengalaman.” Umar kemudian mengangkatnya untuk daerah Sawad. Karena kebijakannya yang baik, dari Kufah saja —setahun Umar terbunuh— ia sudah dapat mengumpulkan seratus juta dirham, dan berat dirham ketika itu sama dengan berat satu miskal.
Gambaran yang paling baik yang menjadi keputusan Umar sekitar pembagian rampasan perang itu ialah suratnya yang dikirimkan kepada Sa’d bin Abi Waqqas, sesudah ia bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dan menjelaskan segala masalahnya. Dalam surat itu ia mengatakan : “Surat Anda yang menyebutkan bahwa banyak orang yang menanyakan kepada Anda tentang pembagian rampasan perang di kalangan mereka, sudah saya terima. Begitu surat saya ini Anda terima lihatlah perlengkapan dan harta yang diserahkan orang kepada Anda untuk diberikan kepada tentara. Maka bagikanlah kepada Muslimin yang hadir, dan tinggalkanlah dua lahan tanah dan sungai-sungai untuk mereka yang menggarapnya, agar dengan begitu menjadi pemberian kaum Muslimin. Kalau Anda sudah membagikannya di kalangan mereka yang hadir, mereka yang datang kernudian tidak lagi mendapat bagian.
Dialog semacam ini telah terjadi antara Umar dengan sahabat-sahabatnya seusai pembebasan Syam. Sahabat-sahabatnya mengajaknya beradu argumen selama kurang lebih dua atau tiga hari. Sekelompok jemaah Muslimin menghendaki agar Umar membagikan tanah Syam itu kepada mereka seperti ketika Rasulullah membagi Khaibar. Orang yang paling gigih dalam hal ini Zubair bin Awwam dan Bilal bin Rabbah. Tetapi jawaban Umar kepada mereka seperti ketika menjawab orang mendebatnya mengenai tanah di Irak : Jadi kaum Muslimin yang sesudah kalian tidak mendapat bagian. Tanah itu tidak dibagikan tetapi dibiarkan untuk mereka yang menggarapnya agar dengan begitu menjadi pemberian kaum Muslimin.
Inilah ijtihad Umar mengenai tanah yang diperoleh Muslimin dan rampasan perang. Ijtihad ini meminjam ungkapan Abu Yusuf dalam kitab al-Kharaj : “Merupakan keberhasilan yang diberikan Allah atas segala yang telah dilakukan Umar dan itulah yang terbaik yang telah diberikannya kepada kaum Muslimin. Segala yang menurut pendapatnya dengan pengumpulan kharaj itu dan pembagiannya kepada kaum Muslimin, sudah sesuai dengan kepentingan mereka umumnya. Tanpa adanya ketentuan demikian dalam pemberian dan pembayaran, daerah-daerah perbatasan dengan musuh yang berbahaya itu tidak akan dapat diatasi dan dalam meneruskan perjuangan angkatan bersenjata tidak pula mampu mengadakan perjalanan dan mengusir kembali orang-orang kafir musuh ke kota mereka setelah selesai pertempuran. Di mana pun yang terbaik itu Allah juga lebih tahu.”
Ini sekadar beberapa contoh dari ijtihad Umar mengenai beberapa hal penting. terutama yang berhubungan dengan kepentingan negara. Di balik itu ijtihadnya sekitar legislasi (perundang-undangan) dan fikih sudah banyak diungkapkan dalam kitab-kitab fatwa dan dijadikan pegangan utama oleh keempat imam mazhab dan kalangan ahli fikih sunni dan yang lain. Bukan maksud saya hendak menelaah fatwa-fatwa itu sampai sedalam-dalamnya atau mencatat semua ijtihadnya.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 704-710.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar