Selasa, 19 Agustus 2014

BENTUK-BENTUK PENGABAIAN DAN AKIBATNYA

Pada hakikatnya setiap bentuk pengabaian adalah tindakan tercela. Orang benci terhadapnya. Pengabaian ini dapat bertingkat-tingkat dari masalah-masalah kecil sampai permasalahan besar yang menyangkut kemaslahatan umat. Mengabaikan masalah besar maupun kecil sebenarnya sama buruknya. Pengabaian terhadap masalah besar biasanya juga berangkat dari pengabaian berulang-ulang terhadap masalah kecil-kecilan. Sudah seharusnyalah bila kita menghindari berbagai bentuk pengabaian meskipun terhadap masalah-masalah yang sepele. Berikut adalah gambaran bentuk-bentuk pengabaian dalam berbagai bidang dengan berbagai akibatnya. Dalam pergaulan sering kita jumpai orang yang meminjam suatu alat, sandal misalnya, tanpa seizin yang empunya (ghosob), memasuki rumah/ kamar orang lain tanpa memberi salam terlebih dulu, menaruh suatu barang tidak pada tempatnya, menggunakan suatu alat tidak sesuai dengan fungsinya, tidak segera mengembalikan barang/ uang pinjaman setelah penggunaan selesai sedangkan barang/ uang untuk pengembalian sudah tersedia. Hal-hal tersebut merupakan bentuk pengabaian yang mengakibatkan pelakunya dianggap tidak sopan, tidak berakhlak mulia, serta tidak bertanggungjawab.
Tidak menjaga kebersihan badan, pakaian, serta tampat tinggal; makan dan minum tidak teratur dan tidak memperhatikan halal-haramnya thayyib-kotornya; merupakan bentuk pengabaian di bidang kesehatan, Termasuk di dalamnya adalah mengacuhkan ketentuan dokter mengenai diet, dosis obat yang harus diminum si sakit. Karena pengabaian ini, bisa jadi muncul penyakit baru, penyakit bertambah parah, atau tidak segera sembuh.
Tidak mau menyimak pembacaan ayat-ayat Quran atau penjelasan-penjelasan mengenai ayat-ayat Qur’an, atau bahkan bercakap-cakap sendiri ketika mubaliqh sedang berbicara tentangnya di suatu forum kajian Islam, apalagi beraktifitas sendiri ketika khatib sedang berkhutbah merupakan wujud pengabaian. Sikap-sikap tersebut menyebabkan terputusnya rahmat Allah, tercurahnya azab Allah karena manghalangi manusia untuk mendapatkan petunjuk, serta hilangnya pahala shalat Jum’at. Pada gilirannya, orang tersebut akan meremehkan setiap pembicaraan orang lain yang bukan dari kelompoknya. Sehingga, Ia tidak memperhatikan seseorang karena pembicaraannya melainkan memperhatikan suatu pembicaraan karena orangnya.
Tidak mendengarkan dan selanjutnya mendatangi kumandang adzan yang memanggil umat mengerjakan shalat padahal tidak ada udzur, berarti mengabaikan hikmah shalat berjamaah sekaligus memberi contoh orang lain yang lebih awam untuk tidak shalat berjama’ah dan memakmurkan masjid.
Tidak sesuainya kata dengan perbuatan (dusta), tidak menepati janji tidak menjaga amanat yang dipikulkan kepadanya tanpa sekedar memberikan alasan syar’i kepada yang berkepentingan merupakan bentuk pengabaian. Sebagai akibatnya, ia diremehkan orang lain, tidak lagi dipercaya, dan dianggap tidak bertanggung-jawab, bahkan dinilai sebagai orang munafik.
Seorang pengemudi yang terus memacu mobil dengan cepatnya ketika traffic-light merah menyala, kemudian bertabrakan dengan mobil lain, berarti melakukan pengabaian sekaligus menanggung akibatnya. Bila pengabaian terhadap rambu-nambu lalu lintas saja berbahaya bagaimanakah halnya dengan akibat dari pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Allah? Tentu lebih berbahaya. Banyak contoh dari umat terdahulu yang mendustakan seruan rasul- rasul Allah yang kemudian dibinasakan dengan azab yang dahsyat. Barang siapa melanggar ketentuan Allah, maka benar-benar ia telah menganiaya dirinya sendiri.” (OS. Ath-Thalaq (65) : 1). Barangsiapa melanggar ketentuan Allah, mereka itu adalah orang- orang yang zalim (Q.S Al-Baqarah (2) : 229). Termasuk pengabaian juga bila umat Islam tidak memperhatikan keberadaan musuh-musuhnya dengan berbagai kekuatan dan kemampuan mereka. Tanpa memperhatikan mereka, bisa jadi kaum muslimin justru terjebak oleh ranjau-siasat tipu-daya mereka sebelum strategi untuk menghadapinya tersusun. Na’udzubillah.
-----------------------------------------
Buletin Da'wah 'IZZAH No. 41/II 19 Rajab 1412 H / 24 Januari 1991 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar