Senin, 28 Juli 2014

Kehidupan Sosial pada Masa Umar bin Khattab (5)

Pengaruh Qur’an dalam Ekonomi : Egoisme, Zakat dan Riba
Pengaruh Qur’an dalam revolusi ekonomi tidak pula kurang besarnya dari pengaruh revolusi sosial itu. Kedudukan pedagang-pedagang kaya masa jahiliah, para lintah darat dan sebangsanya, di mata orang-orang miskin dan kaum buruh sangat dihormati dan dikagumi, kendati kekaguman mereka tidak sampai mengurangi kebebasan dan keangkuhan mereka. Dengan demikian jika orang-orang kaya itu memberi kepada orang miskin karena kasihan, cara kasihan mereka itu bersifat ria, ingin diketahui orang, sama seperti dalam cara memberi, yang kemudian dijadikan batu loncatan untuk mencari kedudukan yang lebih tinggi di mata masyarakat.
Sejak semula wahyu turun Islam sudah menentang keras kecenderungan egoisme ini. Ditentang dengan suatu ketentuan yang pada dasarnya adalah persaudaraan dan persamaan antar umat manusia dan mempersalahkan orang-orang kaya yang memberi dengan mengungkit-ungkit dan menyakiti perasaan orang —dengan memperlakukan ketentuan zakat sebagai kewajiban bagi kaum berada kepada orang tak berpunya. Allah berfirman : “Kata-kata yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang disertai gungguan. Allah Mahakaya, Mahabijaksana. Hai orang-orang yang beriman! Janganlah merusak sedekahmu dengan mengingat-ingat kembali dan dengan gangguan ...” (TQS. al-Baqarah (2) : 263-264). “Kalaupun kamu perlihatkan sedekah itu, itu pun baik; tetapi jika kamu sembunyikan dan kamu berikan kepada orang-orang fakir itulah yang lebih baik bagimu...” (TQS. al-Baqarah (2) : 271). Zakat dan sedekah itu bukanlah suatu jasa dari si kaya kepada si miskin, tetapi memang sudah ada hak si miskin dalam harta si kaya itu. “Dan dalam harta kekayaan mereka terdapat hak orang miskin yang yang meminta dan yang tidak meminta.” (TQS. az-Zariyat (51) : 19). Untuk itu Allah berfirman : “Sedekah untuk kaum fakir dan miskin, para amil, orang yang dilunakkan hatinya, orang dalam perbudakan, orang yang terbelit utang, untuk jalan Allah dan orang terlantar dalam perjalanan. Itulah yang diwajibkan Allah. Dan Allah Mahatahu, Mahabijaksana.” (TQS. at-Taubah (9) : 60). Hak fakir miskin itu sama dengan hak kedua orangtua atas harta anak kalau diperlukan. Untuk itu Allah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu, apa yang harus mereka nafkahkan. Katakanlah : Apa saja yang baik kamu nafkah hendaknya kepada ibu-bapa dan kerabat, kepada kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan mereka yang terlantar dalam perjalanan. Dan segala perbuatan baik yang kamu lakukan, Allah mengetahuinya. (TQS. al-Baqarah (2) : 215).
Ini merupakan suatu orientasi baru, yang dengan mudah dapat sepenuhnya kita jadikan dasar penyusunan mazhab sosialisme Islam. Suatu orientasi yang tidak biasa buat masyarakat Arab dengan kekuatan yang demikian rupa. Sejak berabad-abad orang sudah berbicara tentang segala kebajikan dan tentang pahala beramal, bahwa yang demikian itu adalah kemurahan hati si pemberi, bukan hak si penerima. Tetapi Qur’an menganggapnya sebagai hak dan hanya itu yang akan membersihkan harta si kaya dari pencemaran dosa. Karenanya, pengaruhnya bergema kuat sekali dalam penyebaran Islam ketika pertama kali kelahirannya. Dalam perkembangan masyarakat Islam berikutnya, seperti yang dapat kita lihat pengaruhnya tampak jelas sekali suatu perkembangan yang begitu pesat.
Mengenai riba, Islam sudah menyatakan perang total. Sebagai ukuran cukup kita baca firman Allah ini : “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah, Allah tidak menyukai orang yang tetap dalam kekufuran, dalam dosa.” (TQS. al-Baqarah (2) : 276). Firman-Nya lagi : “Mereka yang memakan riba tak akan dapat berdiri, selain hanya seperti orang yang mendapat tamparan setan sampai menjadi gila...” (TQS. al-Baqarah (2) : 275). Qur’an melukiskan perbuatan riba ini sebagai makan harta orang secara tidak sah : “Karena mereka menjalankan riba, padahal sudah dilarang, dan karena memakan harta orang dengan jalan batil, maka Kami sediakan buat orang yang ingkar azab yang pedih.” (TQS. an-Nisa (4) : 161). Bahwa riba itu sudah begitu merajalela di masa jahiliah, maka Allah mewajibkan janganlah ada orang yang mengadakan ikatan dengan riba : “Orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba itu. Jika kamu orang-orang beriman. Jika tidak kamu lakukan, ketahuilah, suatu pernyataan perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi bila kamu bertobut, maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak merugikan dan tidak dirugikan.” (TQS. al-Baqarah (2) : 278-279).
Dalam kehidupan sosial pengaruh peraturan ekonomi ini besar sekali. Pengaruh yang kuat ini makin kuat dan makin dalam karena ia mendapat dukungan yang begitu bersemangat dan mayoritas kaum Muslimin. Oleh karena itu, dengan segala kemampuan yang ada, sampai waktu akhir-akhir ini kaum Muslimin dengan keras sekali tetap menolak riba.
Revolusi agama dan revolusi sosial di negeri Arab itu saling terjalin dengan revolusi politik yang membawa mereka kepada persatuan dan yang semula tercerai-berai dengan perluasan yang sampai demikian jauh melalui pembebasan pada masa Umar, seperti yang sudah kita lihat. Karena faktor-faktor yang saling mendukung ini, dalam kehidupan kota dan kehidupan ekonomi orang-orang Arab itu mengalami masa peralihan, suatu masa peralihan yang samasekali tak terlintas dalam benak mereka dan nenek moyang mereka. Sudah ribuan, bahkan puluhan ribu penduduk pedalaman pindah ke kota-kota di Syam. Banyak mereka yang tinggal di daerah-daerah pertamanan dan perkebunan di Damsyik, Hims, Kinnasrin, Mada’in, Kufah, Basrah dan kota-kota lain yang cerah dan padat. Mereka sudah melihat gedung dan industri, melihat desa yang subur dan tempat-tempat yang rimbun di sana sini, di Iskandariah. di Memphis, di Thebes dan di tempat-tempat lain di Mesir. Mereka memperoleh rampasan perang dan penghasilan lain yang dapat membebaskan mereka dari beban hidup yang begitu berat, bahkan mereka sudah dibiasakan menjadi orang yang hidup enak. Dalam pada itu juga mereka melihat gadis-gadis kulit putih dari Rumawi dan Syam, gadis-gadis Mesir dan Irak yang cantik-cantik yang tidak mereka lihat di pedalaman dan di perkotaan mereka sendiri. Keindahan dunia yang ramah dan lembut. Juga di negeri-negeri yang terbuka ini mereka bertemu dengan minuman anggur yang lezat dan mudah diperoleh.
Di samping semua itu. di sana terdapat pula peninggalan-peninggalan seni yang indah-indah. di kuil-kuil dan di pekuburan-pekuburan Rumawi, lengkap dengan patung-patung yang dibentuk begitu indah, dalam gereja-gereja dan biara-biara Nasrani dengan segala lukisan yang seolah dapat berbicara seperti yang dikehendaki pelukisnya. Belum lagi adanya aliran Iskandariah yang menyebarkan prinsip-prinsip dan pandangan-pandangannya dan berbagai macam ilmu pengetahuan dan seni. Begini juga segala ajaran dan budaya yang disebarkan oleh Rumawi dan Persia, masing-masing di Damsyik dan di Mada’in. yang kemudian membuahkan peradaban yang berkembang matang selama berabad-abad dan setelah itu, tiba saatnya untuk surut.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 656-659.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar