Senin, 14 Juli 2014

Kehidupan Sosial pada Masa Umar bin Khattab (1)

ALANGKAH besarnya perkembangan yang terjadi di negeri-negeri Arab selama lima belas tahun setelah pembebasan kota Mekah! Kebesarannya itu membuat kita tidak berlebihan jika tidak kita namakan perkembangan, melainkan lompatan yang tak ada bandingannya dalam sejarah! Dalam waktu yang begitu singkat itu bangsa Arab berpindah dari kehidupan paganisme kepada Islam, dari kabilah-kabilah dan kelompok-kelompok yang bercerai berai saling bermusuhan kepada persatuan yang saling bantu-membantu dengan politik umum dan tujuan bersama. Dan keterpencilan menyendiri dalam batas-batas Semenanjung kepada penguasaan mereka dalam kedaulatan yang begitu besar, menggabungkan kekuasaan Persia dan kekuasaan Rumawi. Dari kehidupan badui yang begitu keras dan kasar yang sudah merata di kebanyakan negeri mereka, kepada kehidupan makmur yang tak biasa mereka rasakan sebelumnya. Dengan keadaan mereka seperti itu, tidaklah heran kehidupan sosial mereka akan sangat terpengaruh oleh perubahan yang begitu cepat itu. Pandangan mereka tentang kehidupan serta tuntutan akan segala keperluan mereka pun akan berubah. Ada baiknya kita melihat kehidupan masyarakat sebelum masa Islam sampai sesudahnya untuk memahami jalan pemikiran Umar bin Khattab tentang kehidupan sosial di masa pemerintahannya.

Begitu Cepat Perubahan Terjadi dalam Kehidupan Sosial
Tetapi memang itulah yang terjadi. Masing-masing faktor yang telah menyebabkan adanya lompatan demikian itu sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka —dalam arti perorangan atau masyarakat. Faktor agama, faktor politik dan faktor ekonomi. Pengaruh atas semua itu adakalanya saling berlawanan, tetapi satu sama lain saling terjalin dan menyatu, yang kemudian membawa pada peralihan dalam kehidupan sosial yang begitu menanik perhatian dan mendorong orang berpikir tentang bagaimana akibatnya kelak terhadap kehidupan Islam dan kaum Muslimin.
Untuk memperkirakan sampai berapa jauh perkembangan itu terjadi, baik juga kita mengalihkan pandangan kita ke masa kehidupan sosial orang Arab sebelum Islam. Mereka kebanyakan masyarakat pedalaman, masyarakat badui, sedikit sekali mereka yang menjadi penghuni kota, karena di Semenanjung itu tak ada aliran sungai yang teratur, juga tak ada curah hujan yang turun di musim-musim tertentu dalam setahun dengan kadar yang berimbang waktunya. Kalaupun ada, hujan turun sekaligus membawa banjir yang kadang sangat merusak dan kadang datang musim-musim kering yang terus-menerus. Kecuali di daerah-daerah tertentu, pengaturan pertanian juga tidak mudah. Berdirinya kota-kota besar dan kecil karena adanya mata air yang dapat mengalir deras. Di luar itu tetap daerah pedalaman yang menjadi padang rumput bila turun hujan dan kembali gersang bila tak ada hujan. Oleh karena itu, seperti daerah-daerah pedalaman lainnya, pedalaman Yaman juga dihuni oleh sebagian besar penduduk Yaman, kendati perbandingan penduduk kota Yaman dengan pedalamannya lebih besar daripada penduduk kota Najd, Hijaz dan negeri-negeri Arab lain dengan pedalamannya.

Kehidupan Kabilah dan Sifar-sifatnya
Dasar kemasyarakatan di pedalaman itu ialah kabilah (tribalism, kesukuan) dan kabilah itu terdiri dari kampung-kampung yang diikat oleh nasab keturunan dan kekerabatan antara mereka yang ada dalam kampung itu. Setiap keluarga dalam kampung tersebut tinggal di rumah bulu yang mudah dibawa-bawa setiap ada kabilah ingin mengembara mencari padang rumput untuk ternaknya dan rezeki untuk anak-anaknya. Perpindahan kabilah-kabilah itu lebih sering pada musim semi dan musim panas, ketika terdapat banyak rumput di sekitar sumber mata air yang kecil-kecil di pedalaman itu. Bilamana datang musim dingin dan rerumputan jadi kering mereka pindah ke daerah-daerah perkotaan dan tinggal tak jauh dari sana, mencari hubungan kerja dengan warga kota atau menyerang mereka untuk sekadar mendapatkan sesuap makan untuk kehidupan mereka, karena ini lebih menjamin kebebasan, yang bagi mereka memang lebih penting daripada makanan yang enak-enak dan pakaian halus yang ringan-ringan.
Setiap kabilah dipimpin oleh seorang syekh, setiap kampung oleh seorang kepala kampung dan setiap rumah oleh kepala rumah tangga. Kepala rumah tangga adalah ayah. Dialah yang berkuasa penuh atas semua anggota keluarga dan kekuasaan terbesar atas istrinya. Kedudukan seorang istri terhadap suami seperti kedudukan bujang terhadap tuannya —ia tak mempunyai hak suara terhadap suami, tak boleh membantah atau menentang perintahnya. Tugasnya hanya mengurus rumah dan memperbanyak keturunan tuannya. Itu sebabnya. kemandulan adalah penyebab perceraian yang utama. Poligami tanpa batas supaya dapat memberikan keturunan sebanyak-banyaknya. Soalnya karena dulu orang Arab sangat mendambakan banyak keturunan anak laki-laki untuk memperkuat perlindungan kabilah dan keluarganya. Kita masih ingat kisah Abdul-Muttalib bin Hasyim, kakek Nabi tatkala ia bernazar bahwa apabila ia mendapat sepuluh anak laki-laki sampai mencapai umur dewasa dan dapat menopangnya, salah seorang akan disembelih untuk dipersembahkan sebagai sesajen kepada Tuhan di Ka’bah. Kita masih ingat nazarnya itu dilaksanakan, tetapi Abdullah kemudian ditebus dengan seratus ekor unta.
Orang Arab lebih suka kawin dengan kabilah lain, dengan kepercayaan bahwa keturunan dan hasil perkawinan campuran semacam ini lebih kuat dan lebih baik. Sebaliknya perkawinan dengan gadis-gadis kabilahnya sering membawa percekcokan dan permusuhan. Kepercayaan mereka inilah yang membuat mereka menahan para tawanan perang perempuan dengan harapan memberikan keturunan kepada mereka. Begitu juga tuntutan pertama yang diajukan sebagai diat untuk yang terbunuh. dua orang anak gadis orang kampung yang membunuh tak dapat ditawar-tawar lagi, meskipun dalam soal yang lain, unta, kambing dan harta masih dapat tawar-menawar. Sungguhpun begitu. kemenakan laki-laki yang melamar sepupunya perempuan mendapat prioritas pertama. Ayah si gadis tak boleh menahan selama ia memberikan maskawin yang sudah umum berlaku di kalangan kabilah itu. Kalau maskawin itu sekian kali lebih besar dari yang lain, maka itu adalah suatu keberuntungan dan kebahagiaan.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 638-640.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar