Rabu, 11 Juni 2014

Memurnikan Tauhid

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah!
SETIAP khatib menyerukan dan mengingatkan agar kita senantiasa berusaha meningkatkan bakti dan taqwa kita kepada Allah Swt. Karena, memang hanya dengan jalan itulah umat manusia dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak.
Taqwa yang mencakup pengertian manjaga diri dari segala marabahaya yang mengancam keselamatan dan kebahagiaan hidup jasmani maupun rohani dengan jalan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah itu, adalah merupakan tugas dan kewajiban segenap umat manusia, bahkan justeru untuk itulah mereka dijadikan oleh Allah di permukaan bumi ini. Karenanya, taqwalah harus senantiasa diserukan dan diingatkan kepada segenap umat manusia, demi keselamatan dan kebahagiaan mereka.
Selanjutnya, berbicara meningkatkan taqwa kepada Allah, tidak bisa dilepaskan dengan keimanan kepada-Nya, karena pada dasarnya, taqwa itu merupakan konsekuensinya dan perwujudan dari keimanan tersebut. Iman yang benar dan murni akan menumbuhkan bakti dan taqwa yang benar dan murni. Sebaliknya, iman yang salah dan palsu tentu akan menumbuhkan bakti dan taqwa yang salah dan palsu pula.
Demikian pula, kemantapan dan kerapuhan iman seseorang akan mempengaruhi kadar bakti dan taqwanya kepada Allah Swt. Karena itu, upaya meningkatkan taqwa harus dibarengi dengan memurnikan dan memantapkan iman dan tauhid kita kepada Allah Swt.

Tauhid Rububiyah
Banyak orang yang mempunyai kepercayaan bahwa Allah itu sebagai Tuhannya, Sang Penciptanya dan Sang Pemberi Karunia, bahkan mereka percaya pula bahwa Allah itulah Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta dan Pengatur alam semesta dengan segala isinya. Maha Raja di Raja, Maha Perkasa dan Penguasa Tunggal jagat raya. Namun, dalam kenyataannya, mereka tidak patuh dan tunduk kepada-Nya, bahkan mereka durhaka dan menentang kepada-Nya. Lebih mengherankan lagi, mereka malah tunduk, sujud dan memohon kepada selain-Nya. Apakah itu makhluk halus, Malaikat, Jin dan arwah suci lainnya, ataukah berupa makhluk kasar, misalnya manusia yang dianggap keramat, patung, berhala, tempat atau benda-benda yang dianggap keramat dan lain sebagainya. Kepercayaan yang semacam ini adalah kepercayaan yang sesat dan menyesatkan. Bahkan oleh Al Quran dinyatakannya sebagai bentuk kezhaliman. menganiaya dirinya sendiri.
“Dan mereka mengingkari (ayat-ayat Kami), padahal hati-hati mereka meyakininya. Itu adalah karena kezhaliman dan kesombongan mereka. Karena itu, lihatlah betapa akibat orang-orang yang melakukan kerusakan itu!” (QS An-Naml : 14).
Kepercayaan terhadap ke-Esa-an Tuhan yang semacam itu, disebut “Taulaid Rububiyah”. Yaitu, suatu aliran kepercayaan yang hanya meyakini bahwa Allah itu sebagai Tuhan Yang Maha Esa, Sang Penguasa, Pencipta dan Pengatur alam semesta, akan tetapi kepercayaan dan keyakinannya itu tidak dibarengi perbuatan nyata.
Sebenarnya kepercayaan yang semacam ini sudah berkembang di kalangan bangsa Arab di zaman jahiliyah. Mereka mempercayai bahwa Allah sebagai Tuhannya, Sang Pencipta langit, bumi dan segala isinya. Yang mematikan dan menghidupkan, Yang melindungi dan Pemberi karunia, Yang Maha Berkuasa dan merajai kerajaan langit dan jagat raya. Namun demikian, tetap saja mereka dinyatakannya oleh Allah sebagai orang-orang musyrik, penyekutu-penyekutu Allah dan tidak beriman kepada-Nya. Karena, kepercayaan dan keyakinannya itu dibarengi dengan penyembahan, penyerahan sembelihan, pengadaan sesajian dan permohonan kepada berhala-berhala, benda-benda keramat, arwah-arwah suci baik dari kalangan nenek moyang mereka sendiri maupun dari orang-orang shalih, bahkan ada pula yang menyembah dan memohon kepada Malaikat dan makhluk-makhluk halus lainnya.
“Dan kebanyakan mereka itu tidak beriman kepada Allah, bahkan mereka itu orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf : 106).
Bahkan sebenannya iblis yang sudah divonis sebagai penghuni kekal neraka jahanam, juga mempercayai bahwa Allah itu sebagai Tuhannya. Hal itu dinyatakannya sendiri ketika ia hendak dimasukkan oleh Allah ke neraka.
“Ya Tuhanku! Tangguhkanlah aku sampai hari di mana (manusia) pada dibangkitkan dari (kubur-kuburnya).” (QS Shad : 79).
Dengan demikian jelas, bahwa tauhid yang diajarkan oleh Islam bukanlah “Tauhid Rububiyah”, yang hanya mempercayai dan meyakini kemandirian Allah sebagai satu-satunya Tuhan Yang Maha Berkuasa, Pencipta dan Pengatur alam semesta.

Tauhid Ubudiyah
Tauhid Ubudiyah atau juga disebut dengan Tauhid Uluhiyah, artinya sikap memandirikan segenap peribadatan hanya diperuntukkan dan ditujukan kepada Allah. Dan itulah makna dan kalimat “LAA ILAAHA ILLALLAH”.
Lafazh “ILAAHUN” yang biasa diartikan dengan “Tuhan”, sebenarnya di dalam bahasa Arab mempunyai makna : Sesembahan yang disembah oleh hati dengan penuh kecintaan, pengagungan, penghormatan, pemulyaan disertai penuh rasa takut, tunduk, penuh harap dan sebagainya.
Jadi makna “LAA ILAAHA ILLALLAH” bukan menafikan kepercayaan adanya Tuhan selain Allah, tetapi menafikan adanya sesembahan atau sesuatu yang diibadahi selain Allah. Tegasnya makna “LAA ILAAHA ILLALLAH” ialah : Tidak ada satu pun sesembahan yang berhak di ibadahi melainkan Allah Swt. Dan arti “Ibadah” itu sendiri mencakup : patuh, tunduk, takut, cinta dan penyerahan diri secara bulat kepada Allah karena keagungan dan kebesaran-Nya yang bersifat ghaib.
Sebagaimana yang terkandung di dalam pernyataan setiap muslim yang diucapkan di dalam shalatnya : “Hanya kepada-Mu-lah (ya Allah), kami beribadah dan hanya kepada-Mu-lah (ya Allah), kami meminta pertolongan.” (QS Al Fatihah : 4).
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semuanya kupasrahkan bulat-bulat kepada Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku.” (QS Al-An’am : 162).
Jadi, bila seseorang telah memandirikan segenap bakti dan pengabdiannya, kecintaan dan pengorbanannya, permohonan dan ketergantungannya, serta kepatuhan dan ketaatannya ditujukan hanya kepada Allah Swt. demi mengharap ridla dan rahmat-Nya, berarti orang tersebut telah memiliki Tauhid Ubudiyah.
Begitulah bentuk tauhid yang diajarkan oleh Islam, baik lewat Rasul yang terakhir maupun para Rasul yang terdahulu.

Memurnikan Tauhid
Berdasarkan uraian di atas, maka menjadi mudah bagi kita untuk melakukan upaya memurnikan tauhid kita. Yaitu, membersihkan peribadatan kita dari segala macam cara dan bentuk pengabdian yang tidak diridlai oleh Allah. Termasuk pemujaan, penyerahan diri dan nengajukan permohonan kepada benda-benda yang dianggap keramat, mendatangi dukun-dukun, meminta syafa’at kepada orang-orang shalih baik yang masih hidup lebih-lebih yang sudah meninggal dunia dan sebagainya. Dengan istilah yang lebih populer membersihkan ibadah kita dari segala macam bid’ah dan khurafat. Sehingga ibadah kita benar-benar murni sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya dan semata-mata ditujukan demi mengharap rahmat dan ridla-Nya.
Bid’ah, khurafat dan syirik, bukan saja merupakan pencemaran bagi kemurnian ibadah, tapi juga merupakan tindakan yang sesat dan menyesatkan. Yang pada gilirannya akan merugikan diri sendiri, bahkan mendatangkan murka dan kutukan Allah. Na’udzu billah min dzalik!
-----------------------------------------
Tulisan Abu Riza, Majalah Al- Muslimun No. 154 Rabi'ul Awal/Rabi'ul Akhir 1403 H, Januari 1983 M Tahun ke29, Penerbit : Firma Al-Muslimun Bangil Jawa Timur, halaman 22-24 dan 91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar