Kamis, 19 Juni 2014

Logika Kaum Murtad dan Mereka yang Menolak Menunaikan Zakat

Mereka yang enggan menunaikan kewajiban zakat berkata di antara sesama mereka : Kalau kaum Muhajirin dan Ansar sudah berselisih mengenai kedaulatan, dan Rasulullah wafat tidak meninggalkan wasiat siapa yang akan menggantikannya, maka sudah seharusnya kita mempertahankan kemerdekaan kita sendiri justru demi menjaga Islam agama kita. Dan seperti kalangan Muhajirin dan Ansar, kita pun berhak menentukan pilihan siapa yang akan bertindak menggantikan Rasulullah di antara kita. Adapun bahwa kita harus tunduk kepada Abu Bakr atau kepada yang lain, bukanlah itu yang dikehendaki agama, juga Qur’an tidak mengajarkan demikian. Kita wajib taut kepada orang yang kita serahi urusun kita sendiri.
Barangkali mereka yang berpikiran serupa itu masih dapat dimaafkan mengingat Rasulullah sendiri memang mengakui adanya sebagian kekuasaan otonomi pada beberapa daerah Arab dan kabilah itu. Mereka berpikir untuk mengambil kemerdekaan itu sepenuhnya setelah Nabi wafat. Badhan, gubernur Persia di Yaman tetap memegang kekuasaan setelah ia menyatakan dirinya masuk Islam dan meninggalkan agama Majusi. Para amir yang lain, seperti di Bahrain, Hudramaut dan yang lain, dibiarkan dalam kekuasaan masing-masing setelah mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Zakat yang dipungut dari sebagian penduduk daerah itu dibagikan kepada orang-orang miskin di daerah itu juga. Keharusan membayar jizyah yang ditemukan oleh Islam hanya berlaku terhadap Ahli Kitab.
Masyarakat Arab Muslimin seperti penduduk Medinah, kenapa mereka membayar zakat kepada penguasa Medinah! Kenapa mereka tidak mempertahankan hubungannya dengan Medinah dalam arti hubungan kesatuan agama yang tak ada hubungannya dengan kekuasaan politik! Soalnya Medinah sudah lebih dulu mengenal Islam sehingga mereka lebih tahu tentang segala kewajiban dan ajaran-ajaran Islam. Mereka tinggal mengutus orang ke daerah-daerah dan kepada kubilah-kabilah lain untuk mengajarkan agama, seperti dulu dilakukan oleh Rasulullah, sehingga hubungan mereka satu sama lain lebih menyerupai perserikatan antar-umat Islam. Satu sama lain tidak saling dirugikan dan tidak mencari jalan untuk melanggar kemerdekaan pihak lain.
Pikiran ini yang berkecamuk pada sebagian kabilah yang berdekatan dengan Medinah, Mekah dan Ta’if. Sedang penduduk Yaman dan selatan Semenanjung di seberangnya, begitu juga kavasan-kawasan lain yang jauh dari pusat kedudukan Islam, mereka banyak yang menerima Islam sebagai penghormatan saja atas kekuasaan Muhammad yang dalam waktu pendek tersebar luas hingga mencapai perbatasan imperium Rumawi dan Persia. Penyebarannya yang begitu cepat memang sangat mengagumkan. sehingga setiap kabilah itu berturut-turut mengirimkan utusan ke Medinah menyatakan kepada Nabi bahwa mereka dan kabilah-kabilah lain yang tergabung ke dalamnya masuk Islam. Tetapi dengan tersebarnya berita bahwa Nabi wafat, tidak heran jika iman mereka jadi goyah dan mereka berbalik murtad dari agama yang baru saja mereka terima. Juga tidak heran jika mereka kemudian membangkang terhadap agama ini lalu terbawa oleh orang-orang yang mengobarkan fitnah dan api permusuhan atas nama fanatisma dan kecongkakan Arahnya.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 61 - 62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar