Senin, 26 Mei 2014

Abu Bakr Mulai Dengan Serangan Damainya

Dalam kehidupan kita dewasa ini kita sudah biasa mengenal istilah-istilah yang dilakukan oleh kaum politisi untuk menggambarkan situasi dan tindakan-tindakan yang mereka anggap baru dan belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Yang mudah biasa kita dengar masa kita sekarang ini ialah istilah “serangan damai”. Pada masa-masa dahulu serangan damai demikian ini sudah tidak asing lagi. Malah cara inilah yang telah dilakukan oleh Abu Bakr dan juga dilaksanakan oleh kedua sahabatnya dalam pertemuan bersejarah yang sangat penting itu.
Setelah ketiga Muhajirin itu merasa puas dengan pertemuan tersebut, pihak Ansar tidak lagi berani meneruskan dan mereka sadar. Tetapi pihak-pihak yang masih keras ingin memegang pimpinan setelah Rasulullah tak dapat menahan diri.
“Aku sudah menyusun kata-kata yang akan kusampaikan kepada mereka,” kata Umar, “tetapi waktu akan mulai berbicara. Abu Bakr berkata kepadaku : “Sabarlah, aku yang akan bicara. Sesudah itu boleh kamu bicara sesukamu.”

Pidato Abu Bakr yang Pertama Kepada Ansar

Yang dikhawatirkan Abu Bakr sikap Umar yang terlalu keras bila berbicara, sedang situasinya tidak mengizinkan cara-cara kekerasan. Yang diperlukan ialah taktik yang bijak dan pengantar yang baik. Waktu itu Abu Bakr berdiri. Setelah mengucapkan syukur kepada Allah dan mengingatkan mereka kepada Rasulullah serta risalah tauhid yang dibawanya, ia berkata :
“...Orang-orang Arab itu berat sekali untuk meninggalkan agama nenek moyang mereka. Kaum Muhajirin yang mula-mula dari masyarakat Nabi sendiri telah mendapat karunia Allah, mereka percaya kepadanya, beriman kepadanya, senasib seperjuangan dengan menanggung segala macam penderitaan, yang datangnya justru dari masyarakat mereka sendiri. Mereka didustakan, ditolak dan dimusuhi. Mereka tak merasa gentar, meskipun jumlah mereka kecil, menghadapi kebencian dan permusuhan lawan yang begitu besar. Mereka itulah yang telah lebih dulu menyembah Allah di muka bumi, beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Mereka itu termasuk sahabat-sahabatnya dan keluarganya. Sepeninggal Nabi, merekalah orang-orang sang paling berhak memegang pimpinan ini. Tak ada orang yang akan menentang kecuali orang yang zalim.
“Dan kalian, Saudara-saudara Ansar! Siapa yang akan membantah jasa kalian dalam agama serta sambutanmu yang mula-mula, yang begitu besar artinya dalam Islam. Allah telah memilih kamu sebagai pembela (ansar) agama dan Rasul-Nya. Ke tempat kalian inilah ia hijrah dan dari kalangan kalian ini pula sebagian besar istri-istri dari sahabat- sahabatnya. Posisi itu hanya ada pada kamu sekalian setelah kami. Karena itu, maka kamilah para amir dan Tuan-tuan wazir. Kami tak akan meninggalkan Tuan-tuan dalam musyawarah dan tak akan memutuskan sesuatu tanpa Tuan-tuan.”
Kami para amir dan Tuan-tuan para wazir. Kami tidak akan meninggalkan Tuan-tuan dalam musyawarah, dan kami takkan memutuskan sesuatu tanpa Tuan-tuan. Kata-kata ini mirip sekali dengan pendapat Ansar yang mengatakan : dari kami seorang amir dan dari Muhajirin seorang amir. Kata-kata yang lebih teratur ini dan akan membawa segala persoalan ke arah yang lebih baik dan membangn. Barangkali ini pula tujuan Abu Bakr —tujuan yang sangat bijaksana dengan pandangan yang jauh. Barangkali pihak Aus pun yang tadinya masih bersaing dengan Khazraj, sekarang sudah puas menerima Abu Bakr. Dari kalangan Khazraj sendiri barangkali banyak yang tidak keberatan terhadapnya.
Abu Bakr tidak menginginkan pihak pihak Muhajirin akan memegang kekuasaan tanpa mengajak orang lain seperti yang dilakukan oleh Sa’d bin Ubadah. Malah dimintanya Ansar sebagai para wazir, bekerja sama tanpa menyertakan yang lain, meskipun yang lain itu di beberapa bagian Semenanjung ada yang lebih kuat dan lebih banyak jumlahnya. Ia mengajak Ansar atas dasar pimpinan berada di tangan Muhajirin karena kedudukan mereka yang sudah lebih dulu dalam membela dan mendukung Rasulullah.
Sudah tentu, dengan kata-kata itu mereka semua akan merasa puas, karena ini memang sudah sangat adil, dengan dasar demi kebenaran semata.

Jawaban Ansar kepada Abu Bakr
Orang-orang yang masih diliputi semangat mempertahankan Ansar merasakan pengaruh kata-kata Abu Bakr itu dalam hati kalangan Saqifah. Mereka khawatir kesepakatan yang semula sudah ada akan buyar. Keadaan itu dipaksakan oleh pihak Muhajirin dan kekuasaan akan dipegang mereka sendiri. Maka salah seorang dari Ansar berdiri dan berkata :
“Kemudian daripada itu. Kami adalah Ansarullah dan pasukan Islam, dan kalian dari kalangan Muhajirin sekelompok kecil dari kami, datang ke mari mewakili golongan Tuan-tuan. Tetapi ternyata sekarang Tuan-tuan mau mengambil hak kami secara paksa.”
Dalam kedudukannya itu, apa yang didengarnya tentu tidak menyenangkan Abu Bakr. Sekali lagi ia menunjukkan kata-katanya kepada Ansar, seraya katanya :
“Saudara-saudara Kami dari Muhajirin orang yang pertama menerima Islam. Keturunan kami orang baik-baik, keluarga kami terpandang. kedudukan kami baik pula. Di kalangan Arab kamilah yang banyak memberikan keturunan, dan kami sangat sayang kepada Rasulullah. Kami sudah memeluk Islam sebelum Tuan-tuan, di dalam Qur’an juga kami didahulukan dari Tuan-tuan, seperti dalam firman Allah : “Pelopor-pelopor pertama dari Muhajirin dan Ansar, dan yang mengikuti mereka dalam segala perbuatan yang baik.” (Qur‘an, 9 : 100).
Jadi kami Muhajirin dan Tuan-tuan adalah Ansar, Saudara-saudara kami seagama, bersama-sama menghadapi rampasan perang dan penolong-penolong kami dalam menghadapi musuh. Apa yang telah Tuan-tuan katakan, bahwa segala kebaikan ada pada Tuan-tuan itu sudah pada tempatnya. Dan segenap penghuni bumi ini Tuan-tuanlah yang patut dipuji. Tetapi dalam hal ini orang-orang Arab itu hanya mengenal lingkungan Kuraisy. Jadi dari pihak kami para amir dan dari pihak Tuan-tuan para wazir!”

Catatan :
Amir jamak umara’, harfiah pangeran, pemimpin, yang memerintah, pemerintah dapat diartikan juga kepala negara. Wazir jamak wuzara’ yang memberi dukungan, pendamping, pembantu, menteri.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 38 - 41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar