Rabu, 16 April 2014

KHAULAH BINTI TSA’LABAH

Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa’labah Ghanam bin Auf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliau dinikahi oleh Aus bin Shamit bin Qais saudara dan Ubadah bin Shamit yang beliau menyertai perang Badar dan perang Uhud dan mengikuti seluruh peperangan yang disertai Rasulullah s.a.w.. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak laki-laki yang bernama Rabi’.
Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya Aus bin Shamit dalam suatu masalah yang membuat Aus marah dia berkata : “Bagiku engkau ini seperti punggung ibuku.” Kemudian Aus keluar setelah mengatakan kalimat tersebut dan duduk-duduk bersama orang-orang beberapa lama lalu dia masuk dan menginginkan Khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah Islam. Khaulah berkat “Tidak... jangan! Demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku sehingga Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita.
Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah s.a.w. kemudian dia duduk di hadapan beliau dan menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan suaminya. Keperluannya adalah untuk meminta fatwa dan berdialog dengan Nabi tentang urusan tersebut. Rasulullah bersabda : “Kami belum pernah mendapatkan perintah berkenaan urusanmu tersebut... aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”

Wanita mukminah ini mengulangi perkataannya dan menjelaskan kepada Rasululllah s.a.w. apa yang menimpa dirinya dan anaknya jika ia harus cerai dengan suaminya, namun Rasulullah s.a.w. tetap menjawab, Aku tidak melihat melainkan engkau telah haram baginya.”
Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Pada kedua matanya nampak meneteskan air mata dan macam ada penyesalan, maka beliau menghadap kepada Yang tiida akan rugi siapapun yang berdo’a kepada-Nya. Beliau berdo’a : “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang menimpa diriku.”
Alangkah bagusnya seorang wanita mukminah semacam Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah s.a.w. dan berdialog untuk meminta fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan melainkan untuk Allah Ta’ala. Ini adalah bukti kejernihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat kepada Rasulullah s.a.w..
Tiada henti-hentinya wanita ini berdo’a hingga suatu ketika Rasulullah pingsan sebagaimana biasanya beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah Rasulullah s.a.w. sadar kembali, beliau bersabda :
“Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan Al-Qur’an tentang dirimu dan suamimu kemudian beliau membaca : “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat, sampai firman Allah : “dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang pedih.” (Al-Mujadalah 1-4).

Kemudian Rasulullah menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarah dhihar :
Nabi : Perintahkan kepadanya (suami Khansa’) untuk memerdekakan seorang budak.
Khaulah : Ya Rasulullah dia tidak memiliki seorang budak yang bisa dia merdekakan.
Nabi : Jika demikian perintahkan kepadanya untuk shaum dua bulan berturut-turut.
Khaulah : Demi Allah dia adalah laki-laki tua yang tidak kuat melakukan shaum.
Nabi : Perintahkan kepadanya memberi makan dari kurma sebanyak 60 orang miskin.
Khaulah : Demi Allah ya Rasulullah dia tidak memilikinya.
Nabi : Aku bantu dengan separuhnya
Kaulah : Aku bantu separuhnya yang lain wahai Rasulullah
Nabi : Engkau benar dan baik maka pergilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagai kafarat baginya, kemudian bergaulah dengan anak pamanmu itu secara baik. “Maka Khaulah pun melaksanakannya.”

Inilah kisah seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak Adam yang mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang wanita yang, mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasa mulia dan besar perhatian Islam terhadapnya.
Ummul mukminin Aisyah berkata tentang hal ini, “Segala puji bagi Allah yang Maha luas pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Rasulullah s.a.w. dia berbincang-bincang dengan Rasulullah s.a.w. sementara aku berada di samping rumah dan tidak mendengar apa yang dia katakan, maka kemudian Allah Azza wa  Jalla menurunkan ayat :
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah.” (Al-Mujadalah : 1)

Inilah wanita mukminah yang dididik oleh Islam yang menghentikan khalifah Umar bin Khaththab r.a. saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Beliau berkata : “Wahai Umar aku telah mengenalmu sejak namamu dahulu masih Umair (Umar kecil) tatkala engkau berada di pasar Ukadz engkau menggembala kambing dengan tongkatmu, kemudian berlalulah waktu hingga engkau bernama Umar, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga memiliki nama Amirul Mukminin, maka bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu, dan ketahuilah barangsiapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya, dan barangsiapa yang takut mati maka dia akan takut kehilangan dan barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka ia takut terhadap adzab Allah.” Beliau katakan hal itu sementara Umar Amirul Mukminin berdiri sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.
Akan tetapi Al-Jarud Al-Abdi yang menyertai Umar bin Khaththab tidak tahan mengatakan kepada Khaulah, “Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul Mukminin wahai wanita!” Umar kemudian menegurnya, “Biarkan dia... tahukah kamu siapakah dia? Beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit yang ke tujuh, maka Umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya.

Dalam riwayat lain Umar berkata : Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari maka aku tidak akan menyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka saya akan mengerjakan shalat kemudian kembali untuk mendengarkannya hingga selesai keperluannya.
---------------------------------------------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 242 – 246

Tidak ada komentar:

Posting Komentar