Kamis, 27 Februari 2014

Pemerintahan Umar bin Khattab (6)

Umar Bertahan di Masjid Medinah untuk Mengikuti Keadaan Rakyatnya
Kedaulatannya sudah membentang luas pada masanya itu namun dia tidak tergoda ingin duduk di atas takhta selain Masjid, karena ia mengikuti keadaan kedaulatannya itu, sama seperti yang dilakukan oleh Rasulullah dan Abu Bakr. Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya keadaan Masjid itu tetap seperti ketika dibangun oleh Rasulullah, dindingnya yang lunak dan atapnya dari daun kurma. Sebenarnya ketika itu Umar sudah mampu membongkar dan membangunnya kembali dengan kemewahan seperti yang kemudian terjadi dalam tahun-tahun berikutnya, supaya penampilan kedudukannya sesuai dengan kebesaran kekuasaannya. Dan kalaupun ia lakukan itu, tak ada orang yang akan menyalahkannya. Ketika Sa’d bin Abi Waqqas di Madain, istana Iwan Kisra dijadikan tempat kedudukannya. Sesudah pindah ke Kufah ia mendirikan sebuah bangunan untuk dirinya dan diberi nama “Istana Sa’d.” Tetapi Umar, selama empat tahun pertama pemerintahannya ia tidak mau mengadakan perubahan sedikit pun di Masjid itu. Setelah penduduk Medinah makin banyak dan Masjid sudah tak dapat menampung, baru ia mengadakan perluasan, berdasarkan pesan Rasulullah yang mengatakan : “Kita layak memperluas Masjid itu.” Sedang Umar berkata : “Kalau tidak karena saya mendengar Rasulullah mengatakan, “Layak kita memperluas Masjid kita ini,” niscaya tidak akan saya perluas.”
Tatkala memerintahkan perluasan Masjid Umar memperhatikan sekali agar semata-mata hanya untuk keperluan sholat dan urusan pemerintahan. Pernah Masjid itu oleh penduduk Medinah digunakan juga untuk tempat pertemuan, mereka membicarakan urusan perdagangan serta tempat bergadang dan berbangga-bangga sehingga kadang menimbulkan kebisingan sementara Amirulmukminin duduk memikirkan masalah-masalah kenegaraan yang amat penting. Oleh karena itu, sesudah diadakan perluasan itu ia mengambil tempat di samping Masjid dan diberi nama “Butaiha.” dan katanya : “Barang siapa ingin membuat kebisingan dan bersuara keras-keras atau mau membaca syair pergilah ke tempat itu.” Tetapi tambahan yang dibuat Umar dalam bangunan Masjid itu tidak melebihi luas bidang tanah yang ada dan tambahan jumlah pintunya. Yang lain- lain tetap seperti ketika dibangun oleh Rasulullah, sebab fondasi bangunan itu dari batu sedang yang di atasnya dari jerami, tiang-tiangnya dari kayu dengan langit-langit dari pelepah. Dan bangunan Masjid yang sederhana inilah Umar mengeluarkan segala perintahnya ke markas-markas pasukannya. Tetapi, tiba-tiba Kisra terjungkir dari takhta Iwannya dan Kaisar melarikan diri keluar dari Syam ke Konstantinopel, kemudian Iskandariah yang besar dan megah, ibu kota peradaban dunia ketika itu, menyerahkan kuncinya kepada pasukan Muslimin!

Ketatnya Kepada Diri Sendiri dan Baktinya kepada Rakyatnya
Penaklukan yang sudah begitu luas, sedikit pun tidak mengubah kesederhanaan hidup Umar, dan pandangannya bahwa dunia ini remeh sudah menjadi tuntutan imannya. Dalam permulaan tugasnya sebagai Khalifah, kaum Muslimin sudah menentukan haknya dari baitulmal, yakni sekadar cukup untuk dirinya dan untuk keluarganya, seperti yang sudah ditentukan juga untuk Abu Bakr. Sesudah rampasan perang datang melimpah ke Medinah, yang diperoleh Umar tidak lebih dari yang juga diperoleh orang lain dari kalangan Muslimin. Dia tidak melihat bahwa sebagai Khalifah ia harus mendapat hak melebihi hak yang lain. Suatu hari pernah ia ditanya, dari harta Allah apa yang dibolehkan untuk dia, ia menjawab : “Jawaban saya kepada kalian : Yang dianggap boleh dari harta itu buat saya dua pasang pakaian: sepasang untuk musim dingin dan sepasang untuk musim panas: itu yang saya pakai untuk menunaikan haji lalu dibalikkan untuk umrah yang saya makan dan dimakan keluarga, seperti yang biasa dimakan keluarga Kuraisy, bukan dari yang terkaya, juga bukan dari yang termiskin. Di samping itu saya adalah sama dengan Muslimin yang lain, yang saya peroleh sama dengan yang mereka peroleh.” Pernah juga ia berkata: “Saya menempatkan harta Allah itu seperti menempatkan harta anak-anak yatim : kalau sudah terasa cukup, saya cukupkan; kalau terasa kurang saya makan selayaknya.” Ia menghindari apa yang ada di baitulmal, yang kadang sampai membuatnya dalam keadaan yang serba sulit.
Suatu hari ia pernah mengeluh, lalu ditawarkan madu kepadanya, karena di baitulmal masih ada satu pasu (‘Ukkah, wadah yang biasanya khusus untuk menyimpan madu atau samin, terutama samin) madu. Ketika sudah di atas mimbar ia berkata : Kalau kalian mengizinkannya buat saya : kalau tidak, berarti haram buat saya.” Mereka pun segera mengizinkan. Kaum Muslimin menyaksikan sendiri betapa ketatnya ia terhadap dirinya, kemudian mereka mendatangi putrinya, Hafsah Ummulmukminin dan mengatakan : “Umar tetap begitu ketat terhadap dirinya. Allah telah melimpahkan rezeki, hendaklah ia turut menikmati hasil rampasan perang itu sesukanya. Jama’ah sudah memberikan keleluasaan kepadanya.” Rupanya keinginan mereka itu oleh Hafsah mau dicarikan pendekatannya. Ketika Umar datang menemuinya dan ia bercerita apa yang mereka katakan, dijawab oleh Umar: Hafsah putri Umar, Anda menasihati mereka dan mau menipu ayahmu. Keluargaku hanya berhak atas diriku dan hartaku, tetapi tentang agamaku dan kepercayaan yang diberikan kepadaku, tidak.”
Tentang Umar ini al-Fakhri membawakan sebuah cerita sebagai bukti yang paling jelas memperlihatkan keinginannya yang begitu keras hendak menyamakan dirinya dengan Muslimin yang lain dengan mengatakan : “Datang kiriman kepada Umar beberapa bahan pakaian burd dari Yaman. Oleh Umar dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin dan setiap orang mendapat bagian sehelai, dan bagian Umar juga seperti yang lain, satu helai. Ketika naik ke atas mimbar dengan pakaian itu yang sudah dipotongnya menjadi kemeja dan menyerukan orang berjihad, seseorang berkata kepadanya : Saya tidak perlu menaati seruan Anda! Mengapa? tanya Umar. Orang itu menjawab : Karena Anda lebih mementingkan diri Anda daripada kami. Anda mendapat bagian sehelai burd Yaman dan untuk satu baju Anda itu tidak cukup, karena Anda berperawakan tinggi; tetapi mengapa Anda potong menjadi kemeja? Umar menoleh kepada anaknya seraya berkata : Abdullah, jawablah! Abdullah berkata : Burd saya kuberikan kepadanya supaya cukup untuk kemejanya itu. “Kalau begitu sekarang saya patuh.’ kata orang itu.
Umar samasekali tidak ingin kedudukan Khalifah itu untuk dirinya, tetapi ia menganggap dirinya hanya sebagai pengawal harta Muslimin yang jujur, juga sebagai pengawal persatuan dan kemerdekaan yang jujur. Hal ini membuatnya dekat kepada semua orang dan dicintai, dan lebih-lebih lagi orang mencintainya karena dia melihat kedudukan Khalifah sebagai bapa yang harus memikul semua kewajiban terhadap kaum Muslimin, yakni kewajiban seorang bapa terhadap anak-anaknya. Rasa kasih sayang dan berkorban merupakan sifat kebapaan yang paling kudus dan mulia. Umar adalah orang yang penuh kasih sayang dan banyak mengabdi untuk orang-orang yang memerlukan kasih sayang. Menurut dia kasih sayang dan pengabdian itu termasuk salah satu kewajiban pemerintah, sama seperti menegakkan keadilan dan memelihara keamanan.
Suatu malam ia keluar ke pinggiran kota ditemani oleh Aslam, pembantunya. Ketika mereka melihat sebuah rumah bulu, mereka segera menuju ke tempat itu. Seorang perempuan sedang mengerang karena hendak melahirkan. Ketika ditanya keadaannya perempuan itu menjawab : Saya perempuan asing di sini dan saya tak punya apa-apa. Umar segera kembali pulang sambil berjalan cepat-cepat, dan katanya kepada istrinya, Umm Kulsum, putri Ali bin Abi Talib : Anda ingin mendapat pahala yang akan diberikan Allah kepada Anda? Lalu diceritakannya kejadian itu. Ya, kata sang istri. Umar membawa tepung dan lemak yang digendongnya sendiri di punggungnya. dan Umm Kulsum membawa segala yang diperlukan orang melahirkan. Sementara Umm Kulsum masuk menemui perempuan itu Umar duduk berbincang-bincang dengan suami yang tidak mengenalnya itu. Perempuan itu melahirkan anak laki-laki. Kemudian kata Umm Kulsum : Amirulmukminin, beri selamatlah kepada kawan Anda itu; istrinya telah melahirkan anak laki-laki. Mendengar kata-kata perempuan itu sang suami merasa apa yang dilakukan Umar itu terlalu besar buat dirinya, dan ia meminta maaf. Tidak apa! kata Umar. Setelah memberikan segala yang diperlukan kepada mereka, ia pergi.
Pada malam yang lain Umar mendengar suara bayi menangis. Ia pergi menuju ke arah datangnya suara itu. Kepada ibu bayi itu ia berkata : Takutlah kepada Allah. Kasihanilah bayi Anda! Tak lama sesudah Umar mendengar lagi suara bayi itu menangis, kembali lagi ia kepada ibunya dan mengatakan seperti yang dikatakannva tadi. Sesudah lewat tengah malam terdengar lagi tangis bayi itu. Sekali ini ia berkata kepada ibu bayi itu: Anda ini ibu jahat! Mengapa sepanjang malam ini bayi Anda tak pernah berhenti menangis?
Hamba Allah! kata perempuan itu, saya redakan tangisnya dengan makanan. tetapi dia tidak mau.
Mengapa? tanya Umar.
Karena Umar menentukan pemberian hanya kepada yang sudah disapih.
Berapa umur bayi Anda?
Sekian dan sekian bulan.
Celaka, kata Umar. Janganlah cepat-cepat disapih.
Selepas sholat subuh ia menyelinap ke tengah-tengah orang banyak dan dengan air mata berlinang ia berkata : Celaka Umar! Sudah berapa banyak bayi Muslimin yang mati! Kemudian ia memerintahkan orang agar menyampaikan pengumuman: Janganlah cepat-cepat menyapih bayi kalian. Pemberian akan berlaku bagi semua yang dilahirkan dalam wilayah Islam. Setelah itu ia menulis surat ke segenap penjuru.
Tak ada orang yang tidak tahu kisah Umar ketika tengah malam ia mendapati seorang perempuan, yang anak-anaknya meraung-raung menangis di sekeliling kuali yang dijerang di atas api. Oleh Umar ia ditanya, mengapa bayi-bayi itu mengerang.
Karena lapar, kata perempuan itu.
Apa yang dijerang di atas api itu?
Air untuk menghibur mereka supaya mereka tertidur... Antara kami dengan Umar hanya Allah...
Cepat-cepat Umar kembali dan pergi ke gudang tepung terigu, diambilnya sekantong lemak dan sekarung terigu, diangkatnya sendiri ke atas punggungnya dan dibawanya segera ke tempat tadi. Dimasukkannya tepung dan lemak itu sebagian ke dalam kuali dan dia pula yang meniup api di tungku. Selesai dimasak dan disuguhkan, anak-anak itu makan sampai kenyang lalu tidur. Umar pergi meninggalkan perempuan yang memang tidak mengenalnya itu sambil berkata : Rasa lapar itulah yang membuat mereka tidak bisa tidur dan menangis!
Pemerintahan Umar sangat dicintai orang justru karena sifat kasih sayang dan pengabdiannya ini. Mereka melihat Khalifah sebagai ayah bagi kaum du’afa —setiap orang yang lemah— bagi setiap anak yatim dan bagi setiap orang tak punya. Mereka mencintai Umar “al-Faruq” karena sifat adilnya sudah menjadi naluri dan bawaannya, karena kecintaannya kepada kebebasan dan persamaan ia menempatkan diri sebagai orang lemah dan miskin. Dalam pidatonya yang pertama di depan orang banyak ia mengatakan : “Di mata saya, tak ada dari kalian orang yang lebih kuat dari orang yang lemah di antara kalian, sebelum saya berikan haknya, dan tak ada orang yang lebih lemah dari orang yang kuat sebelum saya cabut haknya.” Pernah ia berpidato mengatakan : “Saya tidak pernah mengangkat pejabat-pejabat untuk menghilangkan kesenangan kalian, untuk mencemarkan kehormatan dan untuk mengambil harta kalian. Tetapi saya mengangkat mereka untuk mengajarkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Barang siapa diperlakukan tidak adil saya tak akan mengizinkannya menyampaikan pengaduan kepada saya sebelum saya menjatuhkan hukuman yang setimpal.” Kepada para panglima pasukan ia menulis : “Janganlah kalian memukul anggota pasukan Muslimin karena itu berarti kalian merendahkan mereka, jangan menghilangkan hak mereka lalu menuduh-nuduh mereka kafir, janganlah mengurung mereka lalu menyiksa mereka dan jangan pula menempatkan mereka di hutan-hutan yang akan membuat mereka tersesat.”
Dia menulis surat demikian kepada panglima-panglima jika dia tak dapat melakukannya sendiri. Tetapi kalau dia mampu melakukan. ia tidak akan mewakilkan kepada yang lain. Kita masih ingat kata-katanya pada permulaan kekhalifahannya : “Tak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya.” Demikian jujur ia tentang semua itu, untuk beberapa urusan ia mengangkat yang tua dan yang muda. Dia yang mengatur segala urusan militer, dia mengangkat pejabat-pejabat tinggi, menjalankan politik negara dan bertindak memutuskan perkara secara adil. Tak ada satu soal kecil pun yang ditinggalkannya selama ia dapat menyelesaikannya sendiri. Ali bin Abi Talib ketika melihatnya berlari-lari ke pinggiran kota Medinah ditanyanya : Amirulmukminin, mau ke mana?
Ada seekor unta untuk sedekah lari dan saya mau mengejarnya, jawab Umar.
Anda akan merepotkan khalifah-khalifah yang sesudah Anda!
Pernah suatu malam Umar mendatangi Abdur-Rahman bin Auf yang sedang sholat. Oleh Abdur-Rahman ditanya : Ada apa Anda datang malam-malam begini?
Ada sekelompok orang menuju ke arah pasar. Saya khawatir mereka itu pencuri-pencuri di kota. Mari kita berangkat supaya dapat mengawasi mereka. Sesampai di pasar keduanya duduk-duduk mengobrol di atas gundukan tanah. Ketika mereka melihat ada penerangan lampu Umar berkata : Saya sudah melarang ada penerangan lampu sesudah orang tidur! Mereka pergi ke tempat tersebut, ada sekelompok orang sedang minum-minum, yang salah seorang di antaranya ada yang dikenalnya. Paginya orang itu dipanggil dan katanya : Anda dan teman-teman Anda semalam sedang minum-minum.
Siapa yang memberitahukan Anda. Amirulmukminin?
Saya lihat sendiri, kata Umar.
Bukankah Allah sudah melarang memata-matai orang?
Orang itu ditinggalkan oleh Umar.
Pada akhir masanya, karena oleh rasa keprihatinannya yang begitu besar terhadap semua persoalan umat, cita-citanya ingin berpindah-pindah di semua kawasan kedaulatannya, memeriksa keadaannya dan melihat tingkah laku para pejabatnya. Sesudah pembebasan Mesir menurut sebuah sumber ia mengatakan : “Kalau saya masih hidup, insya Allah, saya akan pergi mengunjungi rakyat selama setahun penuh. Saya tahu, di belakang saya orang banyak mempunyai keperluan yang belum terpenuhi. Para pejabat itu tidak akan menyampaikannya kepada saya. Saya ingin pergi ke Syam. tinggal di sana dua bulan. kemudian ke Bahrain, tinggal dua bulan di sana, selanjutnya pergi ke Kufah dan tinggal dua bulan, dan sana ke Basrah. tinggal dua bulan. Ini sungguh tahun yang istimewa sekali!” Tetapi ajal sudah mendahuluinya sebelum keinginannya tercapai.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 605-611.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar