Kamis, 20 Februari 2014

Pemerintahan Umar bin Khattab (4)

Medinah Menjadi Ibu kota dan Musyawarah Menjadi Dasar Hukum
Andaikata untuk negeri-negeri yang beraneka ragam di Semenanjung itu ia berusaha akan menerapkan satu sistem, pasti akan berkesudahan dengan hal-hal yang tidak diinginkan, baik oleh Umar maupun oleh kaum Muslimin. Penduduk kota tidak akan senang dengan sistem organisasi orang pedalaman, dan orang pedalaman pun tidak akan puas dengan sistem organisasi orang kota. Orang sudah begitu gembira ketika Umar memerintahkan agar orang-orang tawanan dikembalikan kepada keluarga masing-masing, dan tidak lagi menganggap kaum Riddah itu berbahaya. Biarlah mereka turut bergembira, mereka akan lebih berbaur dalam bekerja sama, sehingga kerja sama demikian itu akan mendorong mereka memenuhi panggilan dalam menghadapi keadaan perang dan secara lebih pasti dapat mengatasinya. Dalam pada itu tak ada salahnya keadaan itu berjalan seperti biasa di Yaman dan di luar Yaman di kawasan Semenanjung, dan untuk setiap daerah itu cukup Umar mengirim seorang wakil dari pihaknya untuk memperkuat pemerintahan Medinah dan untuk memungut zakat serta menegakkan ketentuan-ketentuan hukum Islam, mengajar dan memperdalam agama untuk mengatur tata kehidupan mereka sesuai dengan hukum. Di luar itu setiap golongan dan kabilah biarkan menikmati kemerdekaan sendiri sepenuhnya, seperti yang biasa mereka lakukan sejak turun-temurun, dan ikatan-ikatan bersama antara daerah itu secara keseluruhan jangan sampai melampaui kepentingan negara. Bahwa memang sudah demikian keadaannya maka kita harus meminjam istilah hukum internasional masa kita sekarang dan ikatan-ikatan semacam ini kita sebut saja federasi, seperti federasi Amerika Serikat atau Swiss, dan yang menjadi ibu kota federasi ini ialah Medinah.
Yang membuat kemajuannya itu bukan hanya keberhasilannya menumpas kaum murtad. Andaikata tidak terjadi Perang Riddah pun. Medinah dengan sendirinya akan tetap menjadi ibu kota Islam yang pertama, dan akan tetap mendahului semua kehidupan kota dan pedalaman. Itulah yang menjadi tempat Rasulullah berlindung. yang memperkuat dan memberikan pertolongan. Quran diturunkan di sini lebih banyak daripada yang diturunkan di Mekah. Di kota ini pula kaum Muhajirin dan Ansar berkumpul, mendengarkan ajaran-ajaran dan mengenal teladan Rasulullah, yang memperkuat dan membela agama Allah. Di sini pulalah tempat turunnya wahyu dan sumber hukum Islam, tempat kediaman para pendahulu yang pertama menyambut Islam, tempat semua orang Arab kemudian berlindung di bawah panjinya. Kemudian oleh Rasulullah pun dijadikan ibu kotanya. Dan sini ia mengirim utusan-utusan kepada raja-raja dan pemimpin-pemimpin, mengajak mereka bergabung ke dalam agama Allah. Dalam hal demikian, tidak heran jika kota ini yang dijadikan ibu kotanya dan menjadi titik perhatian dari segenap penjuru. Sesudah berhasil menumpas kaum murtad. keberhasilan ini telah dapat memastikan kekuasaannya dan berkembang ke seluruh penjuru Semenanjung. Dengan demikian pusat pemerintahan Islam tetap bertahan sampai kemudian dipindahkan ke Damsyik pada masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Sistem pemerintahan Medinah di masa Umar bin Khattab didasarkan pada pemerintahan masa Rasulullah dan masa Abu Bakr setelah itu. Dasarnya adalah Syura (musyawarah), yang mengacu pada firman Allah : “…. dan persoalan mereka dimusyawarahkan di antara sesama mereka ….” (asy-Syura (42) : 38), dan pada firman-Nya, yang ditujukan kepada Nabi : “….dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala persoalan ….” (Ali Imran (3) : 159). Rasulullah memang selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya, dan terutama dengan Abu Bakr dan Umar. Katanya kepada mereka : “Demi Allah, sekiranya kalian berdua sudah sepakat untuk suatu persoalan, saya tidak akan pernah meninggalkan kalian dalam bermusyawarah.” Seperti yang juga dikatakan oleh Abu Hurairah : “Sasa tak pernah melihat orang yang begitu sering bermusyawarah seperti Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.” Sesudah digantikan oleh Abu Bakr dan memulai langkahnya dengan mengirim Usamah bin Zaid untuk menghadapi Rumawi, ia meminta izin kepada Usamah agar Umar tetap tinggal di Medinah, karena ia diperlukan untuk diajak bermusyawarah bersama sahabat-sahabat yang lain. Begitu juga Umar, musyawarah itu dijadikannya dasar pemerintahannya.

Bentuk Musyawarah
Musyawarah yang berlaku waktu itu bukanlah hendak membatasi wewenang Khalifah seperti dalam sistem parlemen menurut pengertian kita sekarang. Kalangan pemikir yang memberikan pendapat kepada Khalifah tidaklah pula berhak memaksakan pendapat mereka kepadanya. Dengan musyawarah itu kekuasaan penuh tetap di tangan Khalifah. Dia bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya sendiri dan kepada umat yang telah mengangkatnya. Kalau dia sampai melampaui hak itu dan melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya, dan perhitungan dengan Allah dan dengan dirinya sudah tidak pula dapat menahannya, maka umatlah yang akan meluruskannya dengan mata pedang.
Juga pemilihan dalam bentuk seperti yang kita kenal sekarang bukan pula yang menjadi dasar musyawarah itu. Khalifah juga yang memilih orang-orang yang akan diajak musyawarah, lalu dia yang menentukan pendapat-pendapat mereka; dia sendiri yang boleh menerima atau menolak pendapat-pendapat itu. Kalangan pemikir di masa Rasulullah ialah kaum Muhajirin dan Ansar yang tinggal di Medinah, dan mereka semua orang-orang yang berada di sekitairnya. Mereka mendengarkan pendapat Rasulullah dan memberikan pendapat mereka, dan mereka pun pergi bersama-sama ke medan perang. Pada masa kekhalifahan Abu Bakr, banyak dari mereka yang berangkat ke medan perang di Irak dan Syam. Yang tinggal mendampinginya hanya sahabat-sahabat besar dari kalangan Kuraisy. Begitu, juga hanya pada masa pemerintahan Umar, yang mendampingi tokoh-tokoh sahabat dari Muhajirin dan Anshar, menggodok pendapat-pendapat mereka yang pemecahannya tak terdapat dalam Kitabullah atau dalam Sunah Rasulullah Mereka itu merupakan staf khusus untuk diajak bermusyawarah, terutama Abbas bin Abdul-Muttalib, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Abdur-Rahman bin Auf dan yang setingkat dengan mereka. Tetapi dalam bermusyawarah itu Umar sering mangajak orang banyak. Ia mengajak orang ke Mesjid di Medinah, atau mengajak mereka dalam shalat berjamaah di mana saja mereka berada, kemudian ia menyampaikan masalah yang hendak dibahas bersama itu dan menawarkan kepada siapa saja yang ingin memberikan pendapat. Bila ia menghadapi masalah yang begitu pelik ia mengundang anak-anak muda untuk dimintai pendapatnya, karena ketajaman pikiran mereka. Kalau suatu masalah dari sidang umum itu sudah dapat dipecahkan, maka pelaksanaannya diputuskan. Kalau ada masalah yang belum jelas, dikembalikan kepada staf khususnya, meminta pendapat mereka dan berdiskusi dengan mereka sampai ia merasa puas bahwa apa diyakininya itu benar.
Sesudah terbunuhnya Abu Ubaid di Irak Umar mengajak orang bermusyawarah, meminta pendapat mereka apa yang harus dilakukannya. Pendapat umum mengatakan : Berangkatlah Anda dan bawalah kami bersama Anda. Tetapi staf khususnya berpendapat cukup mengirim salah seorang sahabat Rasulullah memimpin pasukan ke Irak, dan dia sendiri tinggal di Medinah memasok orang itu. Ketika itu ia mengumpulkan orang dan berkata kepada mereka : “Kaum Muslimin berhak mengadakan musyawarah di antara sesama mereka. Saya sendiri tak lebih hanya salah seorang dari kalian, sebelum kalangan pemikir itu membebaskan saya dari ikut pergi. Oleh karena itu saya berpendapat akan tetap tinggal dan akan mengirim orang saja.”
Kita lihat dia sedang dalam perjalanan ke Syam, dan pemimpin-pemimpin militer menemuinya dengan mengatakan bahwa daerah itu sedang dilanda wabah penyakit yang hebat. Ia mengumpulkan mereka dan diajaknya mereka bermusyawarah : Akan meneruskan perjalanannya ke Syam yang sedang dijangkiti wabah ataukah harus kembali ke Medinah? Ternyata mereka saling berbeda pendapat : Ada yang menyarankan agar meneruskan perjalanan, yang lain berpendapat lebih baik kembali, yang berakhir dengan pendapat yang kemudian. Dia dan rombongan kembali keMedinah.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 598-601.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar