Kamis, 23 Januari 2014

Pemerintahan Abu Bakr (7)

Pemerintahan Abu Bakr adalah Pemerintahan Syura
Dari pembentukannya yang pertama dengan segala kecenderungannya pemerintahan Abu Bakr adalah pemerintahan syura — pemerintah dengan dasar permusyawaratan. Abu Bakr dibaiat atas dasar pemilihan umum, yang dipilih karena sifat-sifat pribadinya serta kedudukannya di sisi Rasulullah, bukan karena keluarga atau kabilahnya. Bukan Abu Bakr sendiri yang menuntut untuk dibaiat, bahkan ia mencalonkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Kaum Muslimin diminta mencalonkan siapa saja dari keduanya yang mereka kehendaki. Ketika mereka dicalonkan kaum Ansar menentang kaum Muhajirin dan menuduh bahwa mereka ingin memaksa. Semua itu berlangsung dalam sebuah rapat umum, yaitu rapat Saqifah, dengan masing-masing telah menyampaikan pidatonya, masing-masing berusaha hendak pengaruh-mempengaruhi pemilihan itu dengan cara yang sangat mudah sekali. Setelah kemudian orang datang untuk melaksanakan baiat itu, kaum Muhajirin tidak pula mendahului kaum Ansar. Yang pertama membuka jalan ialah Umar dan Abu Ubaidah yang kemudian diteruskan sampai selesai.
Inilah pembaiatan yang diciptakan oleh musyawarah. Baik di Prancis, maupun di Amerika sekalipun, tak lebih bebas dari ini. Setelah Abu Bakr memimpin pemerintahan, pidatonya yang pertama ialah mengukuhkan dasar-dasar musyawarah. Bukankah dia yang mengatakan kepada khalayak ramai selesai pelantikannya : “Saya sudah terpilih untuk memimpin kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya, dan kalau saya salah luruskanlah.”? Bukankah dia berkata kepada mereka : “Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan Rasul-Nya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasulullah maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya!”
Inilah pernyataan yang sungguh tegas mengenai hak pendapat umum dan hak rakyat dalam memberikan pengawasan dan bimbingan kepadanya, jika Khalifah melanggar dan berpaling dari perintah Allah. Akibatnya yang wajar untuk menetapkan dasar pelanggaran itu ialah pernyataan bagi pelanggar untuk diturunkan dari kekuasaan. Rasanya tak ada makna yang lebih dalam dari pernyataan ini untuk menetapkan dasar-dasar musyawarah itu.
Seperti kita lihat, meskipun pada masa Abu Bakr perang masih berlanjut, pemerintahnya tetap berpegang pada musyawarah, baik dalam soal-soal besar maupun kecil. Ia tidak melaksanakan suatu pekerjaan sebelum mengadakan musyawarah. Dalam memutuskan suatu perkara ia tak pernah membeda-bedakan suatu golongan dengan golongan yang lain. Dia sendiri tidak mengenal kemegahan hidup seperti raja atau penguasa di dunia. Semua Muslim di hadapannya sama. Mereka yang masuk Islam bukan dari asal Islam, haknya sama dengan kaum Muslimin yang lain. Tetapi Abu Bakr menolak mengikutsertakan kaum murtad yang kemudian kembali kepada Islam, dalam perang dengan Persia karena ia ingin menjaga keamanan dan keselamatan negara. Sesudah bahaya itu tak ada lagi, ia berpesan kepada Umar agar membantu Musanna dengan tenaga mereka dalam perang dengan Irak.

Pemerintahan Abu Bakr Merintis Kesatuan Politik
Dengan demikian Abu Bakr telah merintis perkembangan sistem pemerintahan seperti sudah kita sebutkan, dan menyediakan segala sarana untuk kesatuan politik negeri Arab, setelah kesatuan agama dapat diselesaikannya. Sikap dan kebijaksanaan Abu Bakr yang lemah lembut merupakan faktor utama dalam merintis kesatuan politik ini. Kita lihat bagaimana ia memaafkan pemimpin-pemimpin pemberontak di Yaman dan di tempat lain yang pernah memberontak karena ingin berdiri sendiri. Ia telah memaafkan Qurrah bin Hubairah, Amr bin Ma’di Karib dan Asy’as bin Qais serta pemuka-pemuka Arab yang lain. Kepemaafannya kepada mereka itu setelah ia memperlihatkan sikap keras dan tegas sambil mengajak mereka dan golongannya untuk bersatu dengan Medinah. Sistem musyawarah yang dijalankan Abu Bakr dalam pemerintahannya itu makin memperkuat persatuan itu. Dengan pembebasan Irak dan Syam persatuan semua masyarakat Arab kini makin kuat.
Sudah wajar sekali pemerintahan masa itu akan berpegang pada dasar-dasar musyawarah. Islam lahir di tanah Arab, Kitab Sucinya dalam bahasa Arab dan Rasulullah orang Arab. Ketika itu negeri Arab hidup dalam kebebasan yang sebebas-bebasnya. Soalnya bagi seorang manusia Arab kebebasan itu merupakan sesuatu yang paling berharga, baik yang di pedalaman sahara atau yang berada daerah di pemukiman. Sejak dulu, dan sampai sekarang, cita persamaan memang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat pedalaman. Ajaran Islam ternyata tambah memperkuat cita itu, sebab di hadapan Al-Khalik persamaan itu lebih luhur dan lebih sempurna lagi. Di hadapan-Nya tak ada perbedaan manusia kecuali dari amalnya. Kalau bukan karena ketakwaannya orang Arab tak lebih mulia dari yang bukan Arab.
Tentang persaudaraan yang dikaitkan dengan kebebasan dan persamaan sebagai simbol pemerintahan rakyat masa kita sekarang ini, dalam Islam sudah diperjelas demikian rupa seperti dalam ucapan Rasulullah : “Tak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya.” Tidak heran, dengan ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah kepada umat manusia, dan sejalan dengan watak orang Arab yang paling dijunjung tinggi, persatuan mereka itu akan bertambah kuat dalam sistem yang dasar-dasarnya oleh Abu Bakr sudah diperkuat, dan akan menjurus pada perkembangan yang lebih cepat ke arah persatuan dan stabilitas.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 353-355.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar