Senin, 13 Januari 2014

Pemerintahan Abu Bakr (4)

Pelantikan Abu Bakr dan Perkembangan Sistem Politik
Apa yang terjadi dengan pelantikan Abu Bakr di Medinah patut kita renungkan, seperti yang dilakukan orang-orang Arab ketika itu. Mengapa kaum Muhajirin dan Ansar menghendaki pemilihan khalifah dari kalangan mereka sendiri, bukan dari kalangan Arab yang lain? Apa yang menunjukkan adanya perkembangan sistem politik ketika itu? Adakah dengan memilih Abu Bakr mereka berpendapat karena dialah yang lebih dulu masuk Islam, dan dalam membela Islam ia berada di baris terdepan, sehingga ia menjadi orang yang sangat menentukan dalam urusan orang Arab dan menjadi orang yang patut ditampilkan dalam memimpin mereka? Barangkali kita masih ingat keberatan Umar bin Khattab terhadap Abu Bakr ketika mau mengajak kalangan Mekah bermusyawarah untuk membebaskan Syam dan meminta bantuan mereka setelah memerangi penduduk Mekah yang murtad, seperti yang dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Ansar. Kemudian juga dalam hal ini kita barangkali masih ingat kata-kata Suhail bin Amr kepada Umar serta jawaban Umar. Kata Suhail :
“Bukankah kami saudara-saudara kalian dalam Islam dan saudara seayah dalam keturunan?! Karena dalam hal ini Allah telah memberi kedudukan yang baik kepada kalian, yang tak ada pada kami, lalu kalian mau memutuskan hubungan silaturahmi dan tidak menghargai hak kami?!
Umar menjawab : “Seperti yang kaukatakan, apa yang sudah kusampaikan kepada kalian itu hanyalah sebagai nasihat dari orang yang sudah lebih dulu dalam Islam, dan lebih sesuai dengan keadilan yang berlaku antara kalian dengan Muslimin yang lebih berjasa daripada kalian.”
Kalaulah begitu pendapat Umar dan orang-orang yang sependapat dengan dia mengenai Mekah dan penduduknya, alangkah tepatnya jika pendapat mereka itu juga sama mengenai kalangan Arab yang lain.
Kata-kata Suhail itu sudah jelas sekali menolak pendapat Umar, begitu juga tuntutan penduduk Mekah yang gigih atas hak yang sama dalam musyawarah dengan hak penduduk Medinah.
Jelas sekali dialog ini menggambarkan unsur-unsur yang interaksi untuk membentuk sistem politik dalam negara yang baru tumbuh itu. Kalau untuk menjaga keutuhan negara yang memang diperlukan Sehingga kaum Muhajirin dan Ansar di Medinah ketika itu cepat-cepat mengadakan pemilihan dan membai’at khalifah, maka dengan selesainya Abu Bakr dibai’at dan diterima dengan senang hati oleh umat Islam, keadaan darurat demikian itu sudah pula selesai. Mekah dan Ta’if sudah ikut memperkuat Islam dan bahu membahu dalam memerangi kaum murtad. Karenanya hak menyalakan pendapat pada keduanya sama seperti pada penduduk Medinah. Adakah kaum Muhajirin dan Ansar yang karena lehih dulu dalam Islam lalu akan dijadi kan alasan untuk diprioritaskan dari semua kaum Muslimin dan dijadikan alasan pula untuk lebih diutamakan dari kalangan Arab yang lain? Itulah pendapat Umar bin Khattab, dengan mengambil dasar dialog antara kaum Muhajirin dengan Ansar yang terjadi di Saqifah Bani Saidah dulu. Penduduk Mekah sendiri sudah merasa jemu dengan hal itu, dan atas nama mereka Ikrimah bin Abi Jahl dan Suhail bin Amr juga menolaknya.

Abu Bakr Berbeda Pendapat dengan Umar
Dalam hal ini Abu Bakr tidak sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Umar itu, kendati ketika di Saqifah Bani Sa’idah dulu, dengan alasan yang kuat sekali Abu Bakr-lah yang mendukung hak kaun Muhajirin untuk memegang pimpinan, karena mereka sudah lebih dulu dalam Islam daripada kaum Ansar dan demi semua itu mereka sudah memikul segala macam penderitaan. Soalnya, dia berpendapat bahwa selain penduduk Medinah, yang lain yang sudah kuat Islamnya, mereka sama-sama bahu membahu dalam memerangi kaum murtad, dan ada pula yang berangkat menghadapi perang Irak. Sudah tentu adil sekali bilamana mereka juga mendapat hak menyatakan pendapat dan pandangan mereka seperti penduduk Medinah. Karenanya ia mengajak penduduk Mekah bermusyawarah untuk menghadapi perang dengan Syam dan meminta bantuan mereka Juga emas yang dulu diperoleh dari sebuah tambang di dekat Medinah dibaginya rata antara kaum Muslimin. Ketika dikatakan tentang orang yang sudah lebih dulu dalam Islam lebih utama ia menjawab : “Mereka menyerahkan diri kepada Allah dan untuk itu mereka patut mendapat balasan Dia Yang akan memberi ganjaran di akhirat. Dunia ini hanya tempat menyampaikan.”
Dengan sikapnya yang arif itu ia telah dapat merintis perkembangan politik di negeri-negeri Arab dengan cara yang lemah lembut dan luwes.
Perbedaan pendapat sekitar soal ini kembali terulang pada masa pemerintahan Umar dan ia tetap berpegang pada pendapatnya yang semula, berlawanan dengan pandangan dan kebijakan Abu Bakr. Kemudian pada akhir masa jabatannya ia berusaha hendak kembali kepada pendapat pendahulunya itu tetapi ajal sudah mendahuluinya sebelum maksudnya terlaksana.
Kebijaksanaan politik Abu Bakr itu membawa perkembangan masyarakat Arab ke arah kesatuan politik, dan membuat mereka melihat Medinah sebagai ibu kota negara mereka dan sumber segala kebijakan mereka. Oleh karena itu harapan mereka hanya tertuju ke sana, mereka berlindung di bawah kekuasaan dan panji Medinah.
Bagaimana corak kekuasaan itu? Dalam bentuk teokrasi (keagamaan), aristokrasi (pemerintah kebangsawanan) atau demokrasi (pemerintah kerakyatan)?

Catatan :
Saya (Muhammad Husain Haekal) tidak mengklaim bahwa kata “pemerintah keagamaan” persis berarti pemerintah “teokrasi”. Demikian juga mengenai kata-kata “pemerintah kebangsawanan” dan “pemerintah kerakyatan” persis sama dengan “aristokrasi” dan “demokrasi”. Ketidaktepatan arti itu tampak lebih jelas lagi untuk waktu sekarang setelah pelbagai macam sistem pemerintahan negara makin berkembang. Pemerintahan yang tak berdasarkan agama dewasa ini berlaku untuk setiap pemerintah yang tidak mengakui kelas para pendeta atau pemuka agama dan tak ada agama resmi tertentu untuk negara. Tetapi di luar pemerintahan yang tak berdasarkan agama ini mengakui adanya kelas-kelas ini dan menentukan suatu agama resmi untuk Negara, kendati ia menganut sistem sekuler sepenuhnya, dengan menetapkan kebebasan menganut kepercayaan dalam arti yang seluas-luasnya. Pemerintahan demikian ini samasekali tak ada hubungannya dengan pemerintahan teokrasi. Penguasa pemerintahan teokrasi memperoleh kekuasaan dan sekaligus perlindungan dari Tuhan. Contohnya terlihat dalam kekuasaan Fir’aun dan yang semacamnya, dan pada raja-raja di Eropa sampai abad ke – 15, seperti yang sudah kita sebutkan pada awal bab ini. Sistem demikian ini dalam dunia kita sekarang sudah tak ada lagi. Sedang sistem aristokrasi dipegang oleh kelompok kaum ningrat atau bangsawan, atau katakanlah seperti kelompok kepala-kepala kabilah dan suku yang suka berperang dan menjarah. Kelompok ini selama sekian waktu dipegang oleh kalangan bangsawan itu, kemudian timbul persaingan oleh kalangan ningrat dan bangsawan yang lain Setelah itu orang lain bicara tentang aristokrasi modal dan kaum Kapitalis, tentang aristokrasi intelektual, dan kata ini sekarang sudah pula kehilangan maknanya yang lama. Tinggal lagi pengertian demokrasi, yang kemudian berkembang dalam berhagai bentuknya sejak zaman Atena lama yang terus berkuasa sampai masa kita sekarang ini. Dan dunia dewasa ini sedang melangkah ke suatu krisis, yang pangkalnya adalah sistem pemerintahan. Paham demokrasi tetap mempertahankan keberadaannya, dan sistem yang lain berusaha hendak menggantikannya.
Dalam pemerintahan Abu Bakr yang kita lukiskan itu barangkali pembaca dapat melihat dari segi penerapannya dengan salah satu bentuk ini, atau mirip tidaknya yang akan membawa arti seperti yang kita maksud serta bentuk yang sudah kita coba melukiskannya itu.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 348-350.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar