Kamis, 09 Januari 2014

Pemerintahan Abu Bakr (3)

Hubungan Politik Antar Negeri-negeri Arab di Masa Rasulullah
Kalau kita kembali memperhatikan perkembangan yang begitu cepat ini kita akan bertambah kagum kepada Abu Bakr. Sikapnya yang tenang dan lemah lembut dalam menghadapi semua persoalan, itulah pula sumber kekuatannya dan keberhasilan politiknya. Sampai pada masa Rasulullah negeri-negeri Arab terbagi antara kehidupan kota dengan kehidupan pedalaman, dengan kepercayaan agama yang beraneka macam. Utara dan selatan hampir tak saling mengenal. Yaman yang berada di bawah kekuasaan Persia, bertetangga dengan agama-agama Nasrani. Yahudi dan penyembah berhala. Bahasanya pun bahasa Arab Himar yang dalam dialek umumnya berbeda dengan bahasa Arab Kuraisy, khususnya dengan bahasa Arab Mudar. Di samping itu dari generasi ke generasi Yaman merupakan tempat peradaban.
Kebalikannya dari Hijaz, ang lebih dekat dengan kehidupan pedalaman sahara. Kota-kotanya, Mekah, Yasrib dan Ta’if masing-masing berdiri dengan caranya sendiri, seperti setiap kabilah yang masing-masing punya cara sendiri pula. Agama-agama Yahudi dan Nasrani yang bertetangga dengan mereka di Yasrib tak sampai mengubah kemerdekaan mereka, juga di Mekah yang bertetangga dengan agama Nasrani dan penyembahan berhala kemerdekaan mereka tidak terpengaruh. Setelah dakwah Nabi yang mengajak kepada tauhid ini tersebar di seluruh Semenanjung Arab dan dengan izin Allah agama ini merata ke segenap kawasan itu, Yaman pun lepas dari cengkeraman Persia dan kembali merdeka, dengan cara-caranya sendiri seperti sediakala. Begitu juga kota-kota lain di Hijaz dan kabilah-kabilahnya tetap berpegang pada Islam, agama yang diturunkan dengan wahyu kepada Rasulullah. Dengan demikian negeri-negeri Arab itu sudah seperti perserikatan bangsa-bangsa Arab, disatukan oleh satu akidah. Semua sudah bernaung di bawah agama yang dibawa oleh Muhammad dan mereka setia menganut ajaran-ajarannya. Sebagai kewajiban kepada Allah untuk menunaikan salah satu rukun agama yang sudah mereka yakini itu, yang masih kurang hanyalah dalam menunaikan zakat.

Kesatuan Agama adalah Perkembangan Awal dalam Sistem Politik
Tetapi kesatuan agama ini merupakan perkembangan yang mula-mula dalam sistem politik negeri-negeri itu yang tadinya tak mendapat perhatian masyarakat Arab. Kabilah-kabilah dan penduduk kota sudah bersekutu hendak mempertahankan kebebasan beragama dan akan memerangi kaum musyrik yang akan merintangi orang dari jalan Allah. Setelah pasukan Medinah di bawah pimpinan Rasulullah berangkat hendak memasuki kota Mekah, kabilah-kabilah dari Sulaim, Muzainah, Gatafan dan yang lain bergabung dengan kaum muhajirin dan Ansar untuk membebaskan kota suci itu. Mekah pun membuka pintu dan penduduknya menyerah, dan bersama-sama dengan Rasulullah pemuda-pemudanya berangkat ke Hunain dan Ta’ if.
Dalam pada itu Rasulullah telah pula mengirim pembantu-pembantunya ke daerah-daerah yang penduduknya sudab beragama Islam untuk mengajarkan Qur’an dan seluk-beluk agama. Pembantu-pembantu Rasulullah itu dulu sudah pernah mengatur zakat dan pemungutannya lalu dikirimkan ke Medinah atau dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin, penduduk yang sudah menganut agama Allah. Wajar saja akibat revolusi agama? ini akan melahirkan suatu perkembangan baru dalam sistem politik yang cendererung pada persatuan tanah Arab yang tak pernah dialami sebelumnya. Tetapi penduduk negeri-negeri itu, di Yaman dan di luar Yaman tidak memperkirakan adanya perkembangan ini, dan tak terlintas dalam pikiran siapa pun bahwa setelah Rasulullah perkembangan itu masih akan berjalan. Bahkan mereka mengina bah a ajaran-ajaran yang disebarkan oleh Rasululllah di kalangan mereka ini asli milik mereka. Mereka kemudian akan kembali ke politik mereka yang lama, setiap golongan dan kabilah berdiri sendiri-sendiri dan dengan caranya masing-masing seperti sediakala.
Itulah sebab timbulnya pemberontakan di negeri-negeri itu setelah Rasulullah wafat, dan yang kemudian menimbulkan perang Riddah. Abu Bakr menginginkan negeri-negeri itu tetap seperti sediakala sedang negeri-negeri tersebut ingin sepenuhnya kembali kepada kemerdekaan politiknya. Abu Bakr yang sudah begitu kuat imannya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, sangat beralasan sekali dengan kegigihannya supaya setiap Muslim melaksanakan segala yang diwajibkan oleh Allah seperti yang dilaksanakan kepada Rasulullah. Kawasan itu menganggap dirinya berhak merdeka dan mengurus diri sendiri seperti Medinah. Oleh karena itu mereka menolak kaum Muhajirin dan Ansar setelah tak ada lagi seorang utusan Allah yang menerima wahyu, dan yang dengan penuh iman akan mereka jalankan perintahnya, sebab itu adalah perintah Allah Subhanahu wa ta ‘ala.
-------------------------
ABU BAKR AS-SIDDIQ, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Keduabelas, Januari 2010, halaman 346-348.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar