Rabu, 01 Januari 2014

MUSLIMIN MENYAMBUT SERUAN RASUL

Dua perasaan itu di kalangan Muslimin ada pada waktu itu. Ada yang menyambut agama ini dengan hati yang bersemarak cahaya dan bimbingan Tuhan, hati yang sudah berkilauan cahaya iman, dan ia sudah tidak mengenal yang lain. Ada yang masuk agama dengan suatu harapan, dan dengan rasa gentar. Mereka mengharapkan harta rampasan perang, karena kabilah-kabilah itu sudah tak berdaya menahan serbuan Muslimin, lalu mereka menyerah dan bersedia membayar jizya (pajak kepala sebagai kompensasi atas setiap non-Muslim di bawah pemerintahan Islam dengan mendapat jaminan keamanan dan dibebaskannya ia dari wajib militer) dengan taat dan patuh. Yang merasa gentar karena kekuatan ini dapat menghantam kekuatan lain yang merintanginya, dan ditakuti kekuasaannya oleh setiap raja. Golongan pertama, dengan segera mereka itu berbondong-bondong menyambut seruan Rasulullah. Ada onang miskin dan mereka itu, tidak ada binatang beban yang akan ditungganginya, ada pula orang yang kaya raya, menyerahkan semua harta kepadanya untuk diserahkan kepada perjuangan di jalan Allah, dengan hati ikhlas, dengan harapan akan gugur pula sebagai syahid di sisi Tuhan. Sedang yang lain masih berat-berat langkah dan mulai mereka itu mencari-cari alasan, sambil berbisik-bisik sesama mereka dan mencemooh ajakan Muhammad kepada mereka untuk menghadapi suatu peperangan yang jauh, dalam udara yang begitu panas membakar.

MEREKA YANG TINGGAL DI BELAKANG DAN ORANG-ORANG MUNAFIK
Itulah mereka orang-orang munafik, yang karenanya Surah At-Taubah turun, yang berisi ajakan perjuangan yang paling berat dan tegas-tegas menyampaikan ancaman Tuhan kepada mereka yang membelakangi ajakan Rasulullah.
Ada sekelompok orang-orang munafik yang berkata satu sama lain : Jangan kalian berangkat perang dalam udara panas. Maka firman Tuhan ini turun :
“……. dan mereka berkata : “Jangan kamu berangkat perang dalam udara panas begini.” Tapi katakanlah : “Api neraka lebih panas lagi, kalau kamu mengerti! Biarlah mereka tertawa sedikit dan menangis lebih banyak sebagai balusan atas hasil perbuatan mereka.” (QS. 9 : 81-82)

Kata Muhammad kepada Jadd bin Qais salah seorang Banu Salima :
“Hai Jadd, engkau bersedia tahun ini menghadapi Banu’l-Ashfar?”
“Rasulullah”, kata Jadd. “Izinkanlah saya untuk tidak dibawa ke dalam ujian serupa ini. Masyarakat saya sudah cukup mengenal, bahwa tak ada orang yang lebih berahi terhadap wanita seperti saya ini. Kuatir saya, bahwa kalau saya melihat wanita-wanita Banu’l-Ashfar, saya takkan dapat menahan diri.” [Banu’l-Ashfar ialah bangsa Rumawi].
Oleh Rasulullah ia ditinggalkan. Dalam hubungan ini ayat berikut ini turun :
“Ada pula di antara mereka yang berkata : “Izinkanlah saya (tidak ikut serta) dan jangan kaubawa saya ke dalam ujian ini.” Ya, ketahuilah, mereka kini sudah terjatuh ke dalam ujian itu, dan bahwa neraka itu melingkungi orang-orang kafir.” (QS. 9 : 49).

Orang-orang yang memang sudah membawa bibit-bibit kebencian dalam hatinya kepada Muhammad, mereka mengambil kesempatan dalam peristiwa ini supaya orang-orang munafik itu tambah munafik dan menghasut orang supaya tinggal di belakang medan perang. Muhammad melihat bahwa mereka itu tak dapat diberi hati, kuatir nanti akan merajalela. Ia berpendapat akan mengambil tindakan terhadap mereka dengan tangan besi. Ia mengetahui, bahwa banyak orang berkumpul di rumah Sulaim orang Yahudi itu. Mereka mau menghalang-halangi orang, mau menanamkan rasa enggan dalam hati orang dan supaya mereka tinggal saja di garis belakang. Didampingi oleh beberapa orang sahabat ia mengutus Talha bin Ubaidillah kepada mereka dan rumah Sulaim itu dibakar. Salah seorang dari mereka patah kakinya ketika ia melarikan diri dari dalam rumah itu. Yang lain-lain langsung menerobos api itu dan dapat meloloskan diri. Tetapi mereka sudah tidak lagi mengulangi perbuatan semacam itu. Bahkan itu menjadi contoh buat yang lain. Sesudah itu lak ada lagi orang berani melakukan perbuatan demikian.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 506-508.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar