Selasa, 24 Desember 2013

PERMOHONAN UMAR KEPADA NABI

Sudah sebulan lamanya ia dalam bilik itu sesuai dengan niatnya hendak meninggalkan para istrinya itu samasekali. Ketika itu kaum Muslimin sedang berada dalam mesjid dalam kendaan menekur. Mereka berkata : Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya. Jelas sekali kesedihan yang mendalam itu membayang pada wajah mereka. Ketika itu Umar yang berada di tengah-tengah mereka lalu berdiri. Ia hendak pergi ke tempat Nabi dalam biliknya itu. Dipanggilnya Rabah si pelayan supaya dimintakan izin ia hendak menemui Rasulullah. Ia melihat kepada Rabah dengan mengharapkan jawaban. Tapi rupanya Rabah tidak berkata apa-apa, yang berarti bahwa Nabi belum mengizinkan. Sekali lagi Umar mengulangi permintaan itu. Juga sekali lagi Rabah tidak memberikan jawaban. Sekali ini Umar berkata lagi dengan suara lebih keras.
“Rabah, mintakan aku izin kepada Rasulullah — s.a.w. — Kukira dia sudah menduga kedatanganku ini ada hubungannya dengan Hafsha. Sungguh, kalau dia menyuruh aku memenggal leher Hafsha, akan kupenggal.”
Sekali ini Nabi memberi izin dan Umar pun masuk. Bila ia sudah duduk dan membuang pandang ke sekeliling tempat itu, ia menangis.
“Apa yang membuat engkau menangis, Ibn’l-Khattab?” tanya Muhammad.
Yang membuatnya menangis ialah melihat tikar tempat Nabi berbaring itu sampai membekas di rusuknya, dan bilik sempit yang tiada berisi apa-apa selain segenggam gandum, kacang-kacangan (Qaraz, kacang-kacangan dari sejenis pohon paku (acacia nilotica?)) dan kulit yang digantungkan.
Setelah oleh Umar disebutkan apa yang telah menyebabkannya menangis itu dan Nabi mengatakan perlunya meninggalkan kehidupan duniawi, ia pun mulai kembali tenang.
Kemudian kata Umar :
“Rasulullah, apa yang menyebabkan tuan tersinggung karena para istri itu. Kalau mereka itu tuan ceraikan, niscaya Tuhan di sampingmu, demikian juga para malaikat — Jibril dan Mikail — juga saya, Abu Bakr, dan semua orang-orang beriman berada di pihakmu.”
Kemudian ia terus bicara dengan Nabi sehingga bayangan kemarahannya berangsur hilang dari wajahnya dan ia pun tertawa. Setelah Umar melihat hal ini lalu diceritakannya keadaan Muslimin yang di mesjid serta apa yang mereka katakana, bahwa Nabi telah menceraikan istri-istrinya. Dengan adanya keterangan dari Nabi bahwa ia tidak menceraikan mereka, ia minta izin akan mengumumkan hal ini kepada orang-orang yang sekarang masih tinggal di mesjid menunggu.
Ia pergi ke mesiid, dan dengan suara keras ia berkata kepada mereka :
“Rasulullah s.a.w. — tidak menceraikan istrinya.” Sehubungan dengan peristiwa inilah ayat-ayat suci ini turun :
“Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan sesuatu yang telah Tuhan halalkan untukmu; hanya karena engkau ingin memenuhi segala yang disenangi para istrimu? Dan Allah jua Maha Pengampun dan Penyayang. Tuhan telah mewajibkan kamu melepaskan sumpah kamu itu. Dan Tuhan jua Pelindungmu, Dia Mengetahui dan Bijaksana. Tatkala Nabi membisikkan cerita itu kepada salah seorang istrinya, maka bila ia (istri) itu mengumumkan hal tersebut dan Tuhan mengungkupkan hal itu kepadanya, sebagian diterangkannya dan yang sebagian lagi tidak. Bila hal itu kemudian disampaikan kepada istrinya, ia bertanya : “Siapa yang mengatakun itu kepadamu?’ ia menjawab : “Yang mengatakan itu kepadaku Allah Yang Maha Mengetahui. Kalau kamu berdua mau bertobat kepada Allah maka hatimu sudah sudi menerima. Tetapi kalau kamnu berdua Bantu-membantu menyusahkannya, maka Tuhanlah Pelindungnya; demikian juga Jibril dan setiap orang baik-baik di kalangan orang-orang beriman; di samping itu para malaikat juga jadi penolongnya. Jika ia menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang baik daripada kamu — yang berserah diri, yang beriman, berbakti dan bertobat, yang rendah hati beribadat dan berpuasa, janda-janda atau perawan.” (QS 66 : 1 – 5)
Dengan demikian peristiwa itu selesai. Istri-istri Nabi kembali sadar, dan dia pun kembali kepada mereka setelah mereka benar-benar bertobat, menjadi manusia yang rendah hati beribadat dan beriman. Kehidupan rumah tangganya sekarang kembali tenang, yang memang demikian diperlukan oleh setiap manusia yang sedang melaksanakan suatu beban besar yang ditugaskan kepadanya.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 498-499.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar