Jumat, 20 Desember 2013

IBRAHIM LAHIR

Akan tetapi tidak lama ia mengalami kesedihan itu, dengan melalui Maria orang Kopti, Tuhan telah memberi karunia seorang anak laki-laki yang diberi nama Ibrahim, nama yang diambil dari Ibrahim leluhur para Nabi, para hanif yang patuh kepada Tuhan. Sejak Maria diberikan oleh Muqauqis kepada Nabi sampai pada waktu itu masih berstatus hamba sahaya. Oleh karena itu tempatnya tidak di samping mesjid seperti istri-istri Nabi Umm’l-Mukminin yang lain. Oleh Muhammad ia ditempatkan di ‘Alia, di bagian luar kota Medinah, di tempat yang sekarang diberi nama Masyraba Umm Ibrahim, dalam sebuah rumah di tengah-tengah kebun anggur. Ia sering berkunjung ke sana seperti biasanya orang mengunjungi hak-miliknya. Ia mengambilnya sebagai hadiah dari Muqauqis bersama-sama saudaranya yang perempuan, Sirin, dan Sirin ini diberikannya kepada Hassan bin Thabit. Sesudah Khadijah wafat, dan semua istrinya, baik yang muda remaja atau yang sudah setengah umur, yang dulu pernah memberikan keturunan. Muhammad tidak pernah menantikan mereka masih akan memberikan keturunan lagi. yang selama sepuluh tahun berturut-turut belum ada tanda-tanda kesuburan pada mereka.
Setelah ternyata Maria mengandung dan kemudian lahir Ibrahim — ketika itu usianya sudah lampau enam puluh tahun — sangat gembira sekali ia. Rasa sukacita telah memenuhi hati manusia besar ini. Demi kelahirannya itu kedudukan Maria dalam pandangannya tampak lebih tinggi, dari tingkat bekas-bekas budak ke derajat istri. Ini menambah ia lebih disenangi dan lebih dekat lagi.

ISTRI NABI CEMBURU
Wajar sekali hal ini akan menambah rasa iri hati di kalangan istri-istrinya yang lain, lebih-lebih karena Maria ibu Ibrahim, sedang mereka semua tidak beroleh putra. Juga pandangan Nabi kepada bayi ini sehari ke sehari makin memperbesar kecemburuan mereka. Ia sangat menghormati Salma, istri Abu Rafi’, yang bertindak sebagai bidan Maria Ketika lahirnya itu ia memberikan sedekah uang dengan ukuran tiap seutas rambut kepada setiap fakir miskin, dan untuk menyusukannya telah diserahkan pula kepada Umm Saif disertai tujuh ekor kambing untuk dimanfaatkan air susunya buat si bayi. Setiap hari ia singgah ke rumah Maria sekadar ingin melihat Ibrahim, dan ia pun tambah gembira setiap melihat senyuman bayi yang masih suci dan bersih itu; makin senang hatinya setiap melihat pertumbuhan bayi bertamhah indah. Apa lagikah yang akan lebih besar dari semua ini, akan menimbulkan rasa iri hati dalam diri istri-istri yang tidak mempunyai anak itu? Dan sampai di mana pula pengaruh iri hati itu pada mereka?
Dengan penuh perasaan gembira pada suatu hari Nabi datang dengan memondong Ibrahim kepada Aisyah. Dipanggilnya Aisyah supaya melihat betapa besarnya persamaan Ibrahim dengan dirinya itu. Aisyah melihat kepada bayi itu, kemudian katanya, bahwa dia tidak melihat adanya persamaan itu. Setelah dilihatnya Nabi begitu gembira karena pertumbuhan bayi itu, ia tampak marah; semua bayi yang mendapat susu seperti Ibrahim, akan sama pertumbuhannya atau akan lebih baik. Istri-istri Nabi telah marah dan tidak suka hati karena kelahiran Ibrahim itu, yang akibatnya tidak terbatas hanya pada jawaban-jawaban yang kasar, bahkan sudah lebih dari itu, sampai-sampai dalam sejarah Muhammad dan dalam sejarah Islam telah meninggalkan pengaruh, sehingga karenanya datang pula wahyu dan disebutkan dalam Kitabullah.

KETERANGAN UMAR
Dan wajar sekali pengaruh demikian ini akan timbul, Muhammad telah memberi tempat dan kedudukan kepada istri-istrinya demikian rupa, suatu hal yang tidak pernah dikenal di kalangan Arab. Dalam suatu keterangan Umar bin’l-Khattab herkata : “ Sungguh”. kata Umar, “kalau kami dalam aman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.” Dan katanya lagi : “Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba istri saya berkata : “Coba kau berbuat begini atau begitu. Jawab saya, “Ada urusan apa engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusan yang kuinginkan.” Dia pun membalas, “Aneh sekali engkau, Umar. Engkau tidak mau ditentang, padahal putrimu menentang Rasulullah s.a.w. sehingga ia gusar sepanjang hari. Kata Umar selanjutnya : “Kuambil mantelku, lalu aku keluar, pergi menemui Hafsha. “Anakku”, kataku kepadanya. “Engkau menentang Rasulullah s.a.w. sampai ia merasa gusar sepanjang hari?! Hafsha menjawabnya : “Memang kami menentangnya.” “Engkau harus tahu”, kataku. “Kuperingatkan engkau jangan terpedaya. Orang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dan mengira cinta Rasulullah s.a.w. hanya karenanya.” Kemudian saya pergi rnenemui Umm Salama, karena kami masih berkerabat. Hal ini saya bicarakan dengan dia. Lalu kata Umm Salama kepadaku : “Aneh sekali engkau ini. Umar! Engkau sudah ikut campur dalam segala hal, sampai-sampai mau mencampuri urusan Rasulullah s.a.w. dengan rumahtangganya!” Kata Umar lagi : “Kata-katanya mempengaruhi saya sehingga tidak jadi saya melakukan apa yang sudah saya rencanakan. Lalu saya pun pergi.”
Muslim dalam Shahihnya melaporkan, bahwa Abu Bakar pernah meminta izin kepada Nabi akan menemuinya dan setelah diizinkan ia pun masuk, kemudian datang Umar meminta izin dan masuk pula setelah diberi izin. Dijumpainya Nabi sedang duduk dalam keadaan masygul di tengah-tengah para istrinya yang juga sedang masygul dan diam. Ketika itu Umar berkata : “Saya akan mengatakan sesuatu yang akan membuat Nabi s.a.w. tertawa. Lalu katanya : “Rasulullah, kalau tuan melihat Bint Kharija yang meminta belanja kepada saya, maka saya bangun dan saya tinju lehernya. Maka Rasulullah pun tertawa seraya katanya : “Mereka itu sekarang di sekelilingku meminta belanja! Ketika itu Abu Bakar lalu menghampiri Aisyah dan ditinjunya lehernya, demikian juga Umar lalu menghampiri Hafsha dan meninjunya. sambil masing-masing berkata : “Kalian minta yang tidak ada pada Rasulullah s.a.w.” Mereka pun menjawab: “Demi Allah kami samasekali tidak minta kepada Rasulullah s.a.w. sesuatu yang tidak dipunyainya.”
Sebenarnya Abu Bakar dan Umar waktu itu menemui Nabi, karena Nabi s.a.w. tidak tampak keluar waktu sholat. Karena itu kaum Muslimin bertanya-tanya apa gerangan yang menghalanginya. Dalam peristiwa Abu Bakar dan Umar dengan Aisyah dan Hafsha inilah datang firman Tuhan :
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu : “Kalau kamu menghendaki kehidupan dan perhiasan dunia, marilah ke mari, akan kuberikan semua itu dan akan kuceraikan kamu dengan cara yang baik. Tetapi kalau kamu menghendaki Allah dan Rasul serta kehidupan akhirat, maka Allah telah menyediakan pahala yang besar untuk orang-orang yang berbuat kebaikan dari kalangan kamu.” (QS. 33 : 28-29)
Kemudian istri-istri Nabi saling mengadakan sepakat. Biasanya lepas sholat asar Nabi mengunjungi istri-istrinya. Ketika itu ia sedang berkunjung kepada Hafsha menurut satu sumber — atau kepada Zainab bin Jahsy menurut sumber yang lain — dan lama tidak keluar, lebih dari biasanya. Hal ini telah menimbulkan rasa iri hati pada istri-istrinya yang lain. Aisyah mengatakan : “Lalu aku dan Hafsha bersepakat, bahwa bilamana Nabi s.a.w. datang kepada salah seorang dari kami hendaknya ia berkata bahwa aku mencium bau maghafir*). Apa kau makan makan?” [Maghafir ialah sesuatu yang manis rasanya. berhau tidak sedap. Sedang Nabi tidak menyukai segala yang berbau tidak enak. Ketika ia mendatangi salah seorang dari mereka ini, hal itu oleh yang seorang ditanyakan kepadanya.
“Saya hanya minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, dan tidak akan saya ulang lagi,” katanya.
Menurut laporan Sauda, yang juga sudah mengadakan persepakatan yang serupa dengan Aisyah, menceritakan, bahwa setelah Nabi berada di dekatnya, ditanyanya : “Kau makan maghafir?”
“Tidak.” jawabnya.
“Ini bau apa?”
“Hafsha menyuguhi aku minuman dari madu.”
“Yang lebahnya mengisap ‘urfut?”
Dan bila ia mendatangi Aisyah dikatakannya seperti yang dikatakan oleh Sauda. Juga Shafia ketika dijumpainya mengatakan seperti apa yang dikatakan mereka juga. Sejak itu ia lalu mengharamkan madu untuk dirinya.
Setelah melihat kenyataan ini Sauda berkata : “Maha suci Tuhan!  Madu telah jadi haram buat kita!’’
Ditatapnya ia oleh Aisyah dengan pandangan mata penuh arti seraya katanya : Diam !
Nabi yang telah memberi kedudukan kepada istri-istrinya, sedang sebelum itu, seperti wanita-wanita Arab lainnya, mereka tidak pernah mendapat penghargaan orang, sudah wajar sekali apabila sikap mereka kini mau berlebih-lebihan dalam menggunakan kebebasan, suatu hal yang tidak pernah dialami oleh sesama kaum wanita, sampai-sampai ada di antara mereka itu yang menentang Nabi dan membuat Nabi gusar sepanjang hari. Ia sudah berusaha hendak menghindarkan diri dari mereka, meninggalkan mereka, supaya sikap kasih-sayang kepada mereka itu tidak sampai membuat tingkah laku mereka tambah melampaui batas, dan sampai ada dari mereka yang mengeluarkan rasa cemburunya dengan cara yang tidak layak. Setelah Maria melahirkan Ibrahim, rasa iri hati pada istri-istri Nabi itu sudah melampaui sopan santun, sehingga ketika terjadi percakapan antara dia dengan Aisyah. Aisyah menolak menyatakan adanya persamaan rupa Ibrahim dengan Nabi itu, dan hampir-hampir pula menuduh Maria yang bukan-bukan, yang oleh Nabi dikenal bersih.
Pernah terjadi ketika pada suatu hari Hafsha pergi mengunjungi ayahnya dan bercakap-cakap di sana, Maria datang kepada Nabi tatkala ia sedang di rumah Hafsha dan agak lama, Bila kemudian Hafsha kembali pulang dan mengetahui ada Maria di rumahnya, ia menunggu keluarnya Maria dengan rasa cemburu yang sudah meluap. Makin lama ia menunggu, cemburunya pun makin menjadi. Bilamana kemudian Maria keluar, Hafsha masuk menjumpai Nabi.
“Saya sudah melihat siapa yang dengan kau tadi”, kata Hafsha, “Engkau sungguh telah menghinaku. Engkau tidak akan berbuat begitu kalau tidak kedudukanku yang rendah dalam pandanganmu.”

Catatan :
Maghafir jantak mighfar, ialah getah yang dihasilkan dari pohon ‘urfut, rasanya manis dan baunya tidak sedap. ‘Urfut sebangsa pohon kayu yang mengeluarkan getah berbau tidak sedap, yang bila diisap oleh lebah menghasilkan madu yang sama baunya. Terjemahannya yang persis dalam kata Indonesia belum tersua. Mungkin pohon ini termasuk jenis paku atau akasia.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 491-495.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar