Minggu, 22 Desember 2013

Berburu Durian di Pedalaman Muara Teweh

Bersama anak suku pedalaman desa Malawanken
Muara Teweh Kalimantan Tengah, adalah destinasi yang seru dan telah TravelNusa (Traveler Nusantara) kunjungi beberapa waktu lalu. Penyebutan “Muara Teweh” konon berasal dari “Tumbang Tiwei”  sebagai akibat pola penyeragaman sebutan se-Kalimantan Tengah oleh Belanda pada saat itu. (hertzend07).
Hertzend menyebutkan lagi bahwa asal muasal Muara Teweh sangat banyak ragamnya tergantung dari berbagai perspektif bahasa komunitas masyarakat setempat, diantaranya :
  • Dalam kumunitas Suku Bayan Dusun Pepas, disebut Nangei Tiwei (Nangei = Tumbang, Muara; Tiwei = Ikan Seluang Tiwei).
  • Pada komunikasi Suku Bayan Bintang Ninggi, disebut Nangei Musini (Nangei Musini = Muara Musini).
  • Pada Komunitas Suku Dusun Taboyan Malawaken, disebut Ulung Tiwei (Ulung Tiwei = Muara Tiwei, di mana Ulung Tiwei ini merupakan rumpun bahasa sebelah Timur/Mahakam. Misalnya, Ulung Ngiram disingkat Long Ngiram, jadi Ulung Tiwei disingkat Long Tiwei).
  • Pada komunitas Dusun Bakumpai/Kapuas, disebutkan Tumbang Tiwei (Tumbang Tiwei = Muara Tiwei, yang kemudian oleh kolonial Belanda dimelayukan menjadi Muara Teweh).
  • Lebih Jauh, penyebutan nama kota Muara Teweh yang berasal dari kata Tumbang Tiwei tersebut tampaknya sejalan adanya suku-suku Dusun Barito Utara, seperti dikutip dari buku “Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan”, karya Tjilik Riwut (Mantan Gubernur Kalimantan Tengah).

Rumah Betang dan komunitas penduduk yang menjadi dasar cikal-bakal bagi komunitas Muara Teweh, yakni Juking Hara dan Tanjung Layen dengan beberapa ciri pertanda peninggalan sejarahnya masing-masing. Juking Hara dan daerah sekitarnya adalah tempat dikuburkannya Tumenggung Mangkusari, tempat peristiwa Bukit Bendera dan Kuburan Belanda serta tempat didirikannya benteng belanda untuk pertama kalinya Tahun 1865. Sedangkan Lebo Tanjung Layen (Lebo Tanjung Kupang) tempat kedudukan kota Muara Teweh sekarang, yakni di sekitar Masjid Jami Muara Teweh, dengan sungai Kupang yaitu sungai yang membelah Simpang Merdeka dan Simpang Perwira yang ada hingga saat ini. (hertzsend07).

Wikipedia. Muara Teweh pun melahirkan para pahlawan dari etnis Dayak masa penjajahan Belanda diantaranya : 
  1. Tumenggung Surapati, meninggal 1904 dimakamkan di kota Puruk Cahu, kabupaten Murung Raya.
  2. Panglima Batur, dari suku Dayak Bakumpai dimakamkan di Komplek Makam Pangeran Antasari, Banjarmasin Utara, Banjarmasin.
  3. Panglima Unggis, dimakamkan di desa Ketapang, Gunung Timang, Barito Utara.
  4. Panglima Sogo, yang turut menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda 26 Desember 1859 di Lewu Lutung Tuwur, makamnya di desa Malawaken, Teweh Tengah, Barito Utara.
  5. Panglima Batu Balot (Tumenggung Marha Lahew), panglima wanita yang pernah menyerang Fort Muara Teweh tahun 1864-1865, makamnya di desa Malawaken (Teluk Mayang), Kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara.
  6. Panglima Wangkang dari suku Dayak Bakumpai di Marabahan, putera dari Damang Kendet dan ibunya wanita Banjar dari Amuntai.
  7. Perang Montalat tahun 1861 juga menyebabkan gugurnya dua putera Ratu Zaleha yang dimakamkan di desa Majangkan, Gunung Timang, Barito Utara.

Traveler Notes Menuju Muara Teweh
Sungai Barito
Kali ini TravelNusa (Traveler Nusantara) pengen menikmati durian asli Muara Teweh, kebetulan ada saudara di tempat tujuan sehingga tak terlalu resah-gelisah mikirin tempat merebahkan badan. Perjalanan dimulai dari Bandara A. Yani Semarang TravelNusa (Traveler Nusantara) terbang menuju Bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin selama 1,5 jam perjalanan terbang. Setelah menunggu urusan bagasi selama 2 jam TravelNusa (Traveler Nusantara) melanjutkan perjalanan darat menuju Muara Teweh selama 9 jam akhirnya sampai juga di tempat tujuan.

Menikmati Durian di Desa Malawanken Pedalaman Muara Teweh
Pagi itu TravelNusa (Traveler Nusantara) berencana mencari buah durian segar di desa Malawanken. Ma’af arah-arahnya sampai terlupa detailnya saking exited dengan indahnya Indonesia. Perjalanan dari rumah saudara TravelNusa (Traveler Nusantara) menuju destinasi kira-kira 40 menit perjalanan motor dengan kecepatan rata-rata 80 km/jam di jalan beraspal yang mulus dan melewati sungai Barito yang terkenal itu, menyenangkan.
Jalan desa Malawanken
Akhirnya sampai juga di destinasi yang TravelNusa (Traveler Nusantara) tuju. Ternyata di sepanjang jalan sudah dijajakan buah durian di depan rumah penduduk di desa Malawanken. Mungkin kalau di Semarang seperti berwisata kuliner durian di desa-desa kecamatan Gunungpati atau desa-desa kecamatan Mijen, tetapi jarak antar rumah disini sangat jauh hampir 1 kilometer-an.
Sepertinya pemerintah daerah terus berusaha mengembangkan sentra wisata kuliner dari hasil kebun buah-buahan di daerah ini dan di beberapa tempat yang TravelNusa (Traveler Nusantara) lewati sebelumnya ada banyak budidaya ikan sungai di sepanjang sungai Barito dan sungai-sungai kecil lainnya, kata saudara TravelNusa (Traveler Nusantara) itu budidaya ikan seluang, ikan khas sungai Barito.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar