Minggu, 01 Desember 2013

MAJELIS SYURA DAN PELANTIKAN USMAN (3)

PERTEMUAN DAN PERDEBATAN SENGIT
Anggota-anggota Majelis Syura itu sudah mengadakan pertemuan begitu mereka ditunjuk, tetapi ternyata mereka masih saling berbeda pendapat. Abdullah bin Umar berkata kepada mereka : “Kalian akan mengangkat seorang pemimpin sementara Amurulmukminin masih hidup?’ Kata-kata itu didengar oleh Umar, maka in segera memanggil mereka : “Berilah waktu,” kata Umar. “Kalau terjadi sesuatu terhadap diri saya. biarlah Suhaib (: adalah seorang budak asal Rumawi yang oleh Rasulullah ditebus dengan uangnya sendiri) yang mengimami shalat kalian selama tiga malam ini. Setelah itu bersepakatlah kalian : barang siapa di antara kalian ada yang mengangkat diri sebagai pemimpin tanpa kesepakatan kaum Muslimin, penggallah lehernya.” Selanjutnya ia memanggil Abu Talhah al-Ansari — dari kalangan Ansar — orang yang terbilang pemberani yang tak banyak jumlahnya, lain katanya : “Abu Talhah, bergabunglah Anda dengan lima puluh orang Ansar rekan-rekan Anda itu bersama beberapa orang anggota Majelis Syura. Saya rasa mereka akan bertemu di rumah salah seorang dari mereka. Berjaga-jagalah di pintu bersama teman-temanmu itu. Jangan biarkan dari mereka ada yang masuk, juga mereka jangan dibiarkan berlarut-larut sampai tiga hari belum ada yang terpilih. Andalah yang menjadi wakil saya pada mereka!”

SEBAB-SEBAB TIMBULNYA PERSELISIHAN
Tatkaia Umar wafat tiba saatnya Majelis Syura sudah akan bersidang untuk memilih seorang khalifah di antara mereka. Sesudah berkumpul mereka meminta Abu Talhah al-Ansari menjaga mereka, dan mereka tidak ingin dijaga oleh Mugirah bin Syubah dan Amr bin As. Malah oleh sa’d bin Abi Waqqas mereka dilempari kerikil dan disuruh pergi sambil mengatakan : “Kalian akan mengaku : ‘Kami telah hadir dan termasuk anggota Majelis Syura!’”
Begitu musyawarah sudah dimulai, terjadi perdebatan sengit di antara mereka, ada yang dengan suara keras demikian rupa. sehingga terkesan oleh Abu Talhah al-Ansari bahwa perselisihan mereka sudah makin memuncak. Ia masuk dan berkata : “Saya lebih ngeri melihat kalian saling dorong daripada saling bersaing. Saya tidak akan memperpanjang lebih dari tiga hari yang sudah diperintahkan kepada kalian. Setelah itu saya akan tinggal di rumah dan akan melihat apa yang kalian kerjakan!”
Bagaimana mereka sampai berselisih begitu sengit padahal mereka sahabat-sahabat besar Rasulullah dan dari kalangan Muslimin yang sudah beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya begitu baik?
Kita sudah pernah menyaksikan perselisihan sengit antara kaum Muhajirin dan Ansar di Saqifah Banu Sa’idah dan kaum Ansar pun segera mengakui hak Quraisy untuk memangku kekhalifahan. Ketika Abu Bakr duduk di antana Umar dengan Abu Ubaidah, ia memegang langan keduanya dan berkata kepada orang-orang di sekitarnya : “Ini Umar dan ini Abu Ubaidah. baiatlah siapa di antara keduanya yang kalian kehendaki.” Mendengar ucapan itu Umar berkata : “Abu Bakr, bentangkan tangan Anda!” Abu Bakr membentangkan tangannya lalu dibaiat oleh Umar, dibaiat oleh Abu Ubaidah dan yang hadir juga semua membaiatnya, selain Sa’d bin Ubaidah pemuka Ansar. Dengan demikian Abu Bakr telah menjadi pengganti R.asulullah dalam pemerintahan Islam. Sampai ajal tiba ia tidak menemui kesulitan yang berarti untuk memperoleh kesepakatan Muslimin dengan pergantian Umar.
Bukankah kedudukan Majelis Syura dalam kedua peristiwa ini merupakan contoh yang akan melepaskan mereka dari perselisihan dan mengajak bersepakat atas orang yang akan dibaiat oleh Muslimin menjadi khalifah?
Sebenarnya situasi yang dialami Majelis Syura berbeda sekali dengan situasi yang dialami oleh Muhajirin dan Ansar di Saqifah, dan yang dialami oleh Muslimin ketika Abu Bakr menunjuk Umar menjadi penggantinya. Ketika Rasulullah wafat persatuan di Semenanjung Arab belum lagi terpadu. Berita-berita mereka yang mendakwakan diri nabi dari Banu Asad, Banu Hanifah, begitu juga di Yaman sudah meluas dan sudah diketahui oleh pihak Muhajirin dan Ansar. Kekhawatiran bahwa kabilah-kabiiah itu akan memberontak terhadap agama baru ini dan terhadap kekuasaan Medinah sangat mengganggu pikiran.
Semua ini jelas sekali pengaruhnya dalam mempersatukan mereka yang sedang berkumpul di Saqifah. Mereka lebih cepat lagi melangkah mempersatukan diri mengingat Rasulullah sudah memerintahkan Usamah bin Zaid memimpin sebuah pasukan untuk menghadapi Rumawi. Lebih-lebih mereka memahami situasi genting itu serta beratnya tanggung jawab yang mesti dipikul oleh orang yang harus menggantikan Rasulullah. Waktu itu, baik Muhajirin maupun Ansar belum mengenal adanya daya tarik rampasan perang yang melimpah di Medinah dan yang akan membuat mereka melihat kekhalifahan itu sebagai hal yang menguntungkan. Oleh karenanya perdebatan mereka berkisar sekitar agama dan pembelaannya dan siapa yang harus menggantikan Rasulullah.
Di luar itu, yang berhubungan dengan pemerintahan dan kekuasaannya hanya sepintas lain saja terlintas dalam pikiran mereka. Pada mulanya pihak Ansar hanya berpegang pada hak mereka sendiri dalam kekhalifahan atau bersama-sama karena Medinah adalah kota mereka dan kaum Muhajirin pendatang baru di tempat itu. Jadi merekalah yang paling berhak memegang dan mengurus kepentingan umat. Sesudah dalam diskusi Saqifah itu tampak bahwa soalnya bukan lagi soal Medinah saja melainkan sudah soal agama yang baru tumbuh ini, barulah mereka mengakui hak Muhajirin dalam kekhalifahan, mengingat mereka adalah pelopor-pelopor yang pertama dalam agama dan dalam persahabatan mereka dengan Rasulullah.
Ketika Abu Bakr menunjuk Umar sebagai penggantinva, dalam menghadapi Persia dan Rumawi pasukan Muslimin di Irak dan di Syam dalam posisi bertahan. Tak ada yang tahu bagaimana takdir kelak menentukan . Malah pihak Muslimin masih berat hati akan berangkat ke Irak membantu Musanna bin Harisah. Sampai selama tiga hari itu tak ada orang yang memenuhi seruan Umar, sebab mereka masih takut menghadapi Persia dan kehebatannya. Memikul tanggung jawab dalam situasi yang begitu genting bukan hal yang layak diperselisihkan, satu sama lain ingin memonopoli. Perhitungan Abu Bakr melihat situasi yang begitu genting, itulah yang membuatnya menunjuk Umar, sebab di antara sahabat-sahabatnya, dialah yang benar-benar tangguh dan paling mampu mengikuti suatu politik yang harus sukses dengan ketangguhan dan keteguhan hati, seperti yang ada pada Umar. Umat Muslimin dapat menerima kekhalifahan Umar kendati mereka sudah tahu wataknya yang begitu keras dan tegar, dan dalam hal ini tak ada orang yang mau menyainginya. Cemas sekali mereka melihat perang Persia dan Rumawi itu, mereka diliputi rasa khawatir jika pasukan Muslimin kalah dengan segala akibat yang timbul karenanya.
Sesudah kemudian Umar memegang pimpinan ternyata sukses mengadakan penyebaran dan pembebasan serta berhasil membangun sebuah kedaulatan Islam dengan Medinah sebagai ibu kota yang disegani dunia. Di sisi itu, juga sebagai negeri Arab dengan kedaulatannya yang besar dan menjadi pusat perhatian semua bangsa dari segenap penjuru. Karena harta kekayaan yang melimpah berdatangan dari segenap penjuru kedaulatannya itu, Umar sudah tidak tahu lagi jumlah harta itu harus dengan dihitungkah atau ditimbang? Keadaan sudah berubah dari yang semula. Bukan hal yang mengherankan jika anggota-anggota Majelis Syura kemudian terlibat ke dalam perselisihan yang makin memuncak, masing-masing menginginkan pihaknya yang memenang kekhalifahan.
Di samping itu ada faktor lain yang memicu perselisihan, yang dampaknya kemudian begitu kuat dalam kehidupan Negara, yaitu persaingan keras antara kabilah-kabilah Quraisy sendiri dengan pengaruh jahiliyah yang begitu jelas. Setelah Nabi diutus dan menyerukan persamaan, kebenaran dan keadilan, lepas dari segala hawa nafsu, persaingan demikian ini di masa Rasulullah sudah tak terlihat lagi. Kemudian setelah Rasulullah vafat mulai timbul lagi, tetapi masih malu-malu. Sesudah kekhalifahan Abu Bakr dan Umar berlalu dan melihat Arab lebih unggul dari Persia dan Rumawi, fanatisme kekahifahan mulai timbul lagi. Orang mulai mengingat-ingat kembali persaingan dahulu antara Banu Hasyim dengan Banu Umayyah begitu juga dengan yang lain-lain di Mekah . Semua mereka terdorong untuk saling berseteru dan bermusuhan.
-------------------------------------------------------------------
Usman bin Affan - Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh PT. Pustaka Litera AntarNusa, Cetakan Kedelapan, Juni 2010, halaman 6-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar