Rabu, 27 November 2013

MAJELIS SYURA DAN PELANTIKAN USMAN (1)

UMAR TERKENA TIKAM DAN PENUNJUKAN MAJELIS SYURA
Ketika mula-mula Nabi bangkit menyerukan Islam, Semenanjung Arab terbagi-bagi di antara kabilah-kabilah yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri, dengan tingkat perkotaan dan pedalaman yang berbeda-beda, dengan penduduk yang selalu dalam konflik dan pertentangan terus-menerus. Sebagian besar daerah itu berada di bawah kekuasaan Persia atau pengaruh Rumawi. Sesudah Rasulullah s.a.w. berpulang ke rahmatullah setelah dua puluh tiga tahun kerasulannya pengaruh Persia dan Rumawi di Semenanjung sudah menyusut. Kabilah-kabilah Arab berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah. Kemudian Abu Bakr terpilih sebagai pengganti dan ia memerangi orang-orang Arab yang murtad dari Islam sampai mereka kembali kepada Islam. Setelah itu kesatuan agama dan politik di Semenanjung kembali lagi tertib. Ketika itulah Abu Bakr mulai merintis berdirinya Kedaulatan Islam dengan menyerbu Irak dan Syam; tetapi ajal tak dapat ditunda untuk menyelesaikan rencana yang sudah dimulainya itu.
Setelah itu Abu Bakr digantikan oleh Umar dan ia meneruskan kebijakan Abu Bakr. Pasukan Muslimin di Semenanjung itu menerobos ke kawasan kedua imperium Persia dan Rumawi, Imperium Persia dapat ditumpas dan daerah terpenting kekuasaan Rumawi telah pula berhasil dibebaskan.
Kedaulatan Islam di masa Umar membentang luas ke Tiongkok di timur sampai ke seberang Barqah (Cyrenaica) di barat, dan Laut Kaspia di utara sampai ke Nubia di selatan. yang mencakup juga Persia, Irak, Syam dan Mesir. Dengan demikian kedaulatan Arab itu telah merangkul bangsa-bangsa dengan segala unsur budayanya yang sangat beragam, karena setiap golongan, dari segi bahasa, ras, keyakinan, peradaban, lingkungan sosial dan ekonominya satu sama lain tidak sama. Tetapi begitu Islam tersebar ke tengah-tengah mereka, agama baru ini telah menjadi perekat yang mempersatukan mereka. Juga kabilah-kabilah Arab itu telah berhasil dalam mewarnai negeri-negeri yang dibebaskan itu dengan warna Arab.
Berdirinya Kedaulatan Islam di masa Umar itu selesai dengan terbunuhnya Umar. Di masa hidupnya ada dua orang Persia berkomplot dan seorang lagi dari Nasrani Hirah. Kedua orang Persia itu adalah Hormuzan, dan seorang lagi Abu Lu’lu’ah budak Mugirah, sedang yang dan Hirah orang Nasrani bernama Jufainah. Hormuzan adalah salah seorang dari angkatan bersenjata Persia yang ikut dalam perang besar Kadisiah yang mengalami kekalahan. Kemudian ia lari ke Ahwaz dan dan sana ia menyerang angkatan bersenjata Muslimin di Irak-Arab yang masih berdekatan.
Sementara dalam keadaan demikian Umar memerintahkan pasukannya menyebar di wilayah Persia, dan pasukan Muslimin berhasil mengepung Homuzan di Tustar dan ia dibawa ke Medinah sebagai tawanan. Di sinilah terjadi dialog dia dengan Umar, yang kemudian pemimpin Persia itu yakin bahwa tak mungkin ia selamat kecuali jika masuk Islam. Sesudah menjadi Muslim oleh Umar ia ditempatkan di Medinah dengan mendapat tunjangan dua ribu dinar setahun.
Adapun Fairuz (Abu Lu’lu’ah), orang Persia yang berperang melawan Muslimin dalam perang Nahawand, kemudian tertawan dan menjadi milik Mugirah bin Syu’bah. Pekerjaannya sebagai pemahat, tukang kayu dan pandai besi. Barangkali mata pisau yang digunakan untuk membunuh Umar dari hasil pekerjaannya sendiri. Mengingat pekerjaannya dalam pasukan Persia maka ia dipilih oleh komplotan itu untuk melaksanakan rencana tersebut.
Jufainah adalah seorang Nasrani dari Hirah, istrinya ibu susuan Said bin Abi Waqqas. Ia dibawa ke Medinah karena adanya pertalian susuan tadi. Oleh karena itu Sa’d marah sekali ketika ia dibunuh oleh Ubaidillah bin Umar sesudah ayahnya terbunuh. Antara keduanya hampir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tanda-tanda adanya komplotan semacam ini memang sudah ada yang kemudian diperkuat oleh beberapa peristiwa. Tanda-tanda itu ialah bahwa beberapa kawasan yang sudah dibebaskan oleh Muslimin di masa Umar ada yang tidak senang dengan kejadian tersebut, dan karenanya ada penduduk yang marah. Indikasi itu lebih jelas lagi setelah orang-orang yang berkomplot terhadap Umar dan kemudian membunuhnya itu berada di bawah perlindungannya di Medinah. Pemimpin mereka adalah Hormuzan, orang yang disenangi oleh Umar dan mendapat simpatinya, sehingga kadang ia dimintai pendapatnya; dan keberadaannya di Medinah disamakan dengan masyarakatnya sendiri. Kalau mereka saja kini sudah berkomplot terhadap Umar, apalagi orang Persia yang tinggal di tanah air mereka sendiri. Mereka diperintah oleh Arab, hati mereka bergolak, mereka berontak, kendati masih terpendam, karena kuatnya kekuasaan asing yang menguasai negeri itu.
Setelah Umar terbunuh, di negeri Arab sendiri timbul suatu gejala, yang agaknya tak akan terjadi kalau tidak karena berdirinya kedaulatan Islam. Sejak Umar ditikam oleh Abu Lu’Iu’ah kaum Muslimin dicekam oleh rasa ketakutan, khawatir akan nasib mereka sendiri kelak. Terpikir oleh mereka siapa yang akan menggantikannya jika dengan takdir Allah dia meninggal. Beberapa orang ada yang membicarakan masalah ini kepada Umar. Mereka meminta Umar mencalonkan pengganti.
Pada mulanya Umar masih ragu, dan ia berkata : “Kalaupun saya menunjuk seorang pengganti, karena dulu orang yang lebih baik dari saya juga menunjuk pengganti, atau kalaupun saya biarkan, karena dulu orang yang lebih baik dari saya juga membiarkan.” Tetapi sesudah dipikirkan matang-matang, bahwa kalau dibiarkan begitu saja ia khawatir keadaan akan menjadi kacau. Dalam berperang dengan Persia dan Rumawi semua orang Arab sudah ikut serta sehingga setiap kabilah mengaku dirinya seperti kaum Muhajirin dan Ansar, berhak memilih khalifah. Malah di antara mereka ada yang mengaku berhak mencalonkan pemimpinnya sebagai khalifah. Jika Umar tidak memberikan pendapat, pengakuan seperti itu akan sangat membahayakan kedaulatan yang baru tumbuh itu.
Karenanya, ia membentuk Majelis Syura yang terdiri dari enam orang dengan tugas memilih di antara mereka seorang khalifah sesudahnya. Keenam orang itu Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, Abdur-Rahman bin Auf dan Sa’d bin Abi Waqqas. Setelah menyebutkan nama-nama mereka ia berkata : “Tak ada orang yang lebih berhak dalam hal ini daripada mereka itu; Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam wafat sudah merasa puas terhadap mereka. Siapa pun yang terpilih dialah khalifah sesudah saya.”
-------------------------------------------------------------------
Usman bin Affan - Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh PT. Pustaka Litera AntarNusa, Cetakan Kedelapan, Juni 2010, halaman 1-3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar