Jumat, 11 Oktober 2013

UTUSAN HAWAZIN MEMINTA KEMBALI TAWANAN PERANGNYA

Muhammad dan kaum Muslimin yang lain sekarang berangkat meninggalkan Ta’if menuju Ji’rana. tempat barang rampasan dan tawanan perang itu ditinggalkan. Di tempat ini mereka berhenti mengadakan pembagian. Seperlima di antaranya oleh Rasul dipisahkan buat dirinya dan yang selebihnya dibaginya kepada para sahabat. Tetapi tatkala mereka di Ji’rana ini, tiba-tiba datang utusan dari pihak Hawazin yang sudah masuk Islam. Mereka ini mengharapkan, supaya harta mereka, wanita dan anak-anak dikembalikan kepada mereka karena sudah sekian lama mereka, berpisah dan sudah sekian lama pula mereka mengalami kepahitan hidup. Utusan itu datang menemui Muhammad. Salah seorang dari mereka berkata : “Rasulullah, di tempat-tempat berpagar (Hazira, segala yang dilingkungi sesuatu, kadang terdiri dari buluh dan papan, yakni tempat berpagar) orang-orang tawanan itu, terdapat juga bibi-bibimu dari pihak ayah dan pihak ibu, ibu-ibu yang dulu pernah memeliharamu. Jika sekiranya kami yang menyusui Harith bin Abi Syimr atau Nu’man bin’l-Mundhir, kemudian ia datang melihat keadaan kami seperti yang kau alami sekarang ini, tentu kami manfaatkan dan kami mintai belas-kasihannya. Konon pula engkau, yang sudah mendapat pemeliharaan yang terbaik.”
Mereka tidak salah dalam mengingatkan Muhammad akan adanya hubungan dan pertalian keluarga itu. Dari kalangan tawanan perang itu terdapat seorang wanita yang sudah berusia lanjut mendapat perlakuan keras dari tentara Muslimin. Wanita itu berkata kepada mereka : “ Kamu tahu, bahwa aku masih saudara susuan dengan kawanmu itu.”
Karena mereka tidak percaya, oleh mereka ia dibawa kepada Muhammad, yang ternyata segera mengenalnya, bahwa wanita itu Syaima bint’l-Harith ibn ‘Abd’l-Uzza. Dimintanya ia ke dekatnya dan dihamparkannya mantelnya supaya ia duduk. Ia dipersilakan memilih — kalau senang tinggal, boleh tinggal dan kalau ingin pulang akan diantarkan kepada kabilahnya. Tetapi ternyata wanita itu ingin pulang juga kepada masyarakatnya sendiri.
Mengingat hubungan Muhammad dengan mereka yang datang menyerahkan diri dari Hawazin itu demikian rupa, sudah wajar sekali apabila ia bersikap penuh kasih-sayang kepada mereka dan memenuhi pula permintaan mereka. Sejak dahulu memang demikian inilah sifatnya, kepada siapa saja yang pernah mengulurkan tangan kepadanya. Tahu berterima kasih dan mengingat budi orang sudah menjadi bawaan dan sifatnya.
Setelah mendengar kata-kata mereka itu ia bertanya :
“Anak-anak dan istri-istri kamu ataukah harta kamu yang lebih kamu sukai?”
“Rasulullah”, jawab mereka. “kami disuruh memilih antara harta dengan sanak keluarga kami? Mengembalikan istri-istri dan anak-anak kami tentu itulah yang kami sukai.”
Lalu kata Nabi s.a.w. : “Apa yang ada padaku dan pada Banu ‘Abd’l-Muttalib, itu akan kuserahkan kembali kepadamu. Bilamana nanti sudah selesai aku memimpin orang sholat dluhur hendaklah kamu berdiri dan katakana : “Kami meminta bantuan Rasulullah kepada kaum Muslimin dan meminta bantuan kaum Musliinin kepada Rasulullah mengenai anak-anak kami dan wanita-wanita kami.” Maka ketika itu akan kuserahkan kepadamu, dan akan kumintakan buat kamu.”
Setelah apa yang diucapkan Nabi itu dilaksanakan oleh Hawazin, ia berkata lagi : “Apa yang ada padaku dan pada Banu ‘Abd’l-Muttalib, itu akan kuserahkan kembali kepadamu.”
Ketika itu juga kaum Muhajirin berkata : “Apa yang ada pada kami, itu kami serahkan kepada Rasulullah.”
Dan ini juga yang dikatakan oleh kaum Anshar.
Tetapi Aqra’ ibn Habis atas nama Tamim dan ‘Uyaina bin Hishn menolak, demikian juga Abbas bin Mirdas atas nama Banu Sulaim. Akan tetapi Banu Sulaim sendiri tidak mengakui penolakan Abbas itu. Dalam hal ini Nabi berkata : “Barangsiapa mau mempertahankan haknya atas tawanan itu, maka untuk setiap orang ia akan mendapat ganti enam bagian dari tawanan yang mula-mula didapat.”

TAWANAN HAWAZIN DIKEMBALIKAN
Dengan demikian wanita-wanita dan anak-anak Hawazin itu dikembalikan kepada kabilahnya setelah mereka menyatakan diri masuk Islam. Kepada utusan Hawazin itu Muhammad menanyakan Malik bin ‘Auf. Setelah diberitahukan bahwa orang itu masih di Ta’if dengan Thaqif, dimintanya kepada mereka supaya disampaikan : kalau dia mau datang dengan sudah menerima Islam, maka keluarga dan harta-bendanya akan dikembalikan dan akan diberi pula seratus ekor unta.
Sekarang orang mulai merasa kuatir — kalau Muhammad memberikan ini kepada setiap utusan yang datang rampasan perang yang menjadi bagian mereka akan jadi berkurang. Oleh karena itu mereka mendesak supaya tiap-tiap orang mengambil bagiannya. Dan mereka terus saling berbisik. Bisikan demikian ini tampaknya sampai juga kepada Nabi, yang dalam hal ini ia lalu berdiri di samping seekor unta, diambilnya seutas bulu dari ponok unta itu, dan sambil dipegang dengan jari dan diacungkan ke atas ia berkata : “Saudara-saudara. Demi Allah! Bagianku dan harta rampasan dan dari hulu ini hanya seperlima; ini pun sudah dikembalikan kepada kamu.
Kemudian dimintanya kepada mereka masing-masing supaya harta rampasan itu dikembalikan dan dengan demikian dapat dibagi secara adil.
“Barangsiapa mengambil ini secara tidak adil sekalipun hanya sebesai jarum, maka buat yang bersangkutan ini suatu cemar, api dan aib sampai hari kiamat.”
Muhammad mengatakan itu dengan sikap marah setelah mantelnya yang mereka ambil dikembalikan, dan setelah mengatakan kepada mereka : “Kembalikan mantelku itu, saudara-saudara. Demi Allah, andaikata kamu mempunyai ternak sebanyak pohon di Tihama ini, tentu kubagi-bagikan kepada kamu, kemudian akan kamu lihat bahwa aku bukan orang yang kikir, pengecut dan pembohong.”
Kemudian rampasan perang itu dibagi lima dan yang seperlima diberikan kepada mereka yang paling sengit memusuhinya. Seratus ekor unta diberikan masing-masing kepada Abu Sufyan dan Mu’awiya anaknya, Harith bin’l-Harith bin Kalada, Harith bin Hasyim, Suhail bin ‘Amr, Huwaitib bin ‘Abd’l-’Uzza, kepada bangsawan-bangsawan dan kepada beberapa pemuka kabilah yang telah mulai lunak hatinya setelah pembebasan Mekah. Kepada mereka yang kekuasaan dan kedudukannya kurang dari yang tadi, diberi lima puluh ekor unta. Jumlah yang mendapat bagian itu mencapai puluhan orang. Ketika itu Muhammad menunjukkan sikap sangat ramah dan murah hati, yang membuat orang yang tadinya sangat memusuhinya, lidah mereka telah berbalik jadi memujinya. Tiada seorang dari mereka yang perlu diambil hatinya itu yang tidak dikabulkan segala keperluannya.
Ketika Abbas bin Mirdas mendapat beberapa ekor unta ia tidak senang hati dan mencela karena menurut anggapannya ‘Uyaina, Aqra’ dan yang lain tampaknya lebih diutamakan. Lalu Nabi berkata: “Temui dia dan berilah lagi supaya dia puas dan diam.” (Iqta’u anni lisanahu, yakni berilah lagi supaya dia puas dan diam. Harfiah, potongkan lidahnya tentang aku)
Lalu diberi lagi sampai dia puas. Dan itulah yang membuat dia diam.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 482-485.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar