Senin, 07 Oktober 2013

TA’IF DIKEPUNG

Jadi sahabat-sahabat itu oleh Muhammad diperintahkan berangkat ke Ta’if dan mengepung Thaqif yang dipimpin oleh Malik bin ‘Auf. Ta’if adalah sebuah kota yang sangat kukuh tertutup rapat oleh pintu-pintu gerbang seperti kebanyakan kota-kota negeri Arab ketika itu. Penduduk kota ini sudah punya pengetahuan dalam soal kepung-mengepung dan peperangan dan punya kekayaan yang cukup besar pula untuk membuat perkubuan yang kuat. Dalam perjalanan itu Muslimin singgah di Liya. Di tempat ini ada sebuah benteng khusus buat Malik bin ‘Auf, yang kemudian mereka hancurkan, demikian juga sebuah kebun kepunyaan pihak Thaqif mereka hancurkan selama dalam perjalanan itu.
Bilamana Muslimin sudah sampai di Ta’if, Nabi memerintahkan pasukannya berhenti dan bermankas di dekat kota itu. Sahabat-sahabat dikumpulkan dan mereka berunding apa yang akan mereka lakukan. Tetapi pihak Thaqif begitu melihat mereka dari atas perbentengan, dihujaninya mereka dengan serangan panah, sehingga tidak sedikit Muslimin yang terbunuh. Dan tidak pula mudah kaum Muslimin dapat menyerbu benteng-benteng yang sangat kukuh itu. Suatu cara lain harus mereka tempuh bukan seperti yang selama ini mereka lakukan ketika mengepung Quraiza dan Khaibar. Dapatkah kita menduga, bahwa kalau hanya dikepung saja sampai mengalami kelaparan pihak Thaqif itu akan mau menyerah? Dan kalau akan mereka serbu saja, dengan cara baru bagaimana harus mereka lakukan?
Inilah beberapa masalah yang perlu dipikirkan dan akan memakan waktu. Jadi sebaliknya pasukan ini harus ditarik mundur jauh-jauh dari sasaran panah, supaya jangan ada lagi orang-orang Islam yang akan mengalami bencana dan tewas karenanya. Sesudah itu boleh Muhammad memikirkan apa yang harus dilakukannya.
Dengan perintah Nabi s.a.w. markas itu sekarang dipindahkan jauh dari sasaran panah, dipindahkan ke sebuah tempat yang kemudian setelah Ta’if menyerah dan menerima Islam dibangunnya mesjid Ta’if di tempat itu. Hal ini sudah menjadi suatu keharusan. Anak panah Thaqif sudah menewaskan delapan belas orang Islam, dan tidak sedikit pula yang telah mendapat luka-luka, di antaranya salah seorang anak Abu Bakr. Di samping tempat itu, yang sudah jauh dari sasaran panah, dipasang pula dua buah kemah dari kulit berwarna merah untuk tempat-tinggal kedua istri Nabi — Umm Salama dan Zainab — yang sejak ia meninggalkan Medinah, ikut bersama-sama dalam perjalanan menghadapi peristiwa-peristiwa itu. Di antara kedua kemah inilah Muhammad melakukan sholat. Dan agaknya Mesjid Ta’if itu pun di tempat ini pula dibangun.
Manjaniq
Kaum Muslimin tinggal di tempat itu sambil menantikan apa yang akan ditentukan Tuhan terhadap mereka dan terhadap lawan mereka itu nanti. Ada salah seorang orang Arab gunung berkata kepada Nabi : Orang-orang Thaqif yang dalam benteng itu sama seperti rubah yang di dalam liangnya. Untuk dapat mengeluarkan mereka meminta waktu lama. Kalau dibiarkan saja, juga ia takkan mengganggu. Tetapi Muhammad sudah tidak mau kembali lagi sebelum mendapatkan sesuatu dari pihak Thaqif. Banu Daus (salah satu kabilah yang tinggal di bawah Mekah) yang sudah berpengalaman dalam menggunakan manjaniq (sebuah pesawat pelempar batu (junuq). Mungkin sama dengan ballista yang biasa digunakan dalam peperangan dahulu kala) dan “tank” (aslinya, dabbaha; dabba melata perlahan-lahan, yakni semacam alat dibuat daripada kayu dan kulit, orang masuk ke dalam alat tersebut lalu mendekati benteng yang sedang dikepung untuk dilubangi atau dibongkar dan mereka terlindung dari serangan yang datang dari atas, mungkin dapat disamakan dengan testudo semacam alat perang dahulu kala, dari bahasa Latin. berarti kura-kura atau kulitnya yang dapat melindungi badan. Dalam pengertian sekarang kira-kira sama dengan tank), salah seorang pemimpinnya adalah Tufail, yang sudah bersahabat dengan Muhammad sejak perang Khaibar, dan yang sekarang ikut pula mengepung Ta’if. Orang ini oleh Nabi diutus memintakan bantuan kepada kabilahnya itu.

DISERANG DENGAN MANJANIQ
Dabbaha / Ram / "Tank"
Kemudian orang ini datang kembali sudah membawa beberapa orang dari golongan itu lengkap dengan alat-alat. Mereka sampai di Ta’if empat hari kemudian setelah kota itu dikepung oleh Muslimin, Di sinilah pihak Muslimin menyerang Ta’if dengan manjaniq, dan beberapa orang menyerbu dengan masuk ke dalam “tank” untuk menerobos dinding-dinding benteng itu. Tetapi pihak Ta’if tidak kurang pula pandainya sehingga mereka dapat memaksa lawannya harus melarikan diri juga. Beberapa batang besi mereka panaskan; bilamana sudah mencair, besi itu dilemparkannya ke arah “tank” dan alat itu pun terbakar. Karena takut terbakar juga tentara Muslimin pun menyusup lari dari bawah alat-alat itu. Oleh pihak Thaqif mereka terus diserang dengan panah sehingga banyak pula yang terbunuh.
Jadi perjuangan ini juga tidak berhasil, Pihak Muslimin tidak dapat mengalahkan benteng-benteng yang kukuh itu.
Sesudah itu, kiranya apa pula yang harus mereka lakukan? Lama sekali Muhammad memikirkan hal ini. Tetapi bukankah ia sudah dapat mengalahkan dan mengosongkan Banu Nadzir dari perkampungannya dengan jalan membakar kebun kurma mereka? Sekarang kebun anggur Ta’if jauh lebih berharga daripada kebun kurma Banu Nadzir. Apalagi anggur ini sangat terkenal sekali di seluruh tanah Arab yang membuat Ta’if bangga sebagai tempat yang paling subur di seluruh jazirah, dan sebagai wahah, Ta’if seolah surga di tengah-tengah padang sahara.

Catatan :
Gambar Manjaniq dan Dabbaha hanyalah ilustrasi semata, bukan bentuk sebenarnya yang digunakan zaman Rasulullah, karena keterbatasan literature.
----------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 479-481.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar