Senin, 29 April 2013

PINTU GERBANG MAJAPAHIT

Gapuro Majapahit
OBYEK WISATA. TravelNusa (Traveler Nusantara). Di Rondole, desa Muktiharjo, kira-kira 5 km. sebelah Utara Pati, terdapat sebuah pintu gerbang. Menurut kepercayaan penduduk setempat, pintu gerbang (gapuro - regol) itu berasal dari Trowulan, Majapahit, (yang jauhnya kira-kira 350 km. dari kota Pati.
Mengapa pintu gerbang Majapahit tersebut sampai berada di Pati, konon ada kaitannya dengan riwayat Sunan Muria. Dan dalam riwayat ini di kalangan masyarakat beredar dua versi, sebagaimana dikisahkan di bawah ini.

VERSI PERTAMA : MENCARI AYAH
Seorang pemuda tampan, trampil, gesit dan enerjik bernama Kebo Anabrang (Kebo Nabrang) dengan sopannya menghadap Kangjeng Sunan Muria di Padhepokannya. Sang pemuda mengaku bahwa dia adalah puteranya Kangjeng Sunan Muria. Sejak kecil memang dia tidak pernah melihat ayahandanya itu. Dan setelah dewasa ini dia baru diberitahu oleh ibunya bahwa ayahnya adalah seorang Sunan, yakni Sunan Muria.
Akan tetapi pengakuan sang pemuda itu ditolak keras oleh Sunan Muria. Beliau berkata bahwa beliau tidak merasa mempunyai anak yang bernama Kebonabrang.
Namun meskipun Sunan Muria menolak pengakuan sang pemuda, Kebonabrang tetap berusaha meyakinkan Kanjeng Sunan dengan bukti-buktinya sendiri yang di bawahnya dari ibunya, bahwa dia benar-benar adalah puteranya Kangeng Sunan Muria.
Karena Kebonabrang terus menerus mendesak, maka Sunan Muria akhirnya bersedia mengakui bahwa Kebonabrang adalah puteranya, asal dia dapat memenuhi syarat. Syaratnya ialah Kebonabrang harus dapat memindahkan salah sebuah pintu gerbang yang ada di kerajaan Majapahit ke gunung Muria dalam waktu satu malam saja. Menurut yang empunya cerita, Kebonabrang sungguh dapat membawa salah sebuah pintu gerbang yang diambilnya sendiri dari Majapahit dibawa ke gunung Muria.
Tetapi sial bagi Kebonabrang. Karena bersamaan dengan saat itu di Juana, sebelah timur Pati, ada juga seorang pemuda yang sedang menuju ke Majapahit dalam rangka mengikuti sayembara memindahkan pintu gerbang Majapahit. Sayembara tersebut adalah untuk memperebutkan seorang puteri cantik bernama Roro Pujiwati, puterinya Kyai Ageng Ngerang (Sunan Ngerang) Juana.
Karena banyak pemuda yang menginginkan Roro Pujiwati menjadi isterinya, maka banyaklah yang melamarnya ingin mempersunting puteri jelita tersebut. Maka cara satu-satunya untuk menolak dan sekaligus menyeleksi mereka adalah dengan mengajukan persyaratan berat, yaitu barangsiapa yang sanggup memindahkan pintu gerbang Majapahit di Majapahit ke Juana (Ngerang), maka dialah yang akan diterima menjadi suami Roro Pujiwati.
Raden Ronggo putera Adipati Ronggojoyo dari Kadipaten Pasatenan Pati, ikut dengan niat berkobar mengikuti sayembara itu. (Setelah menjadi Adipati Pasatenan Pati menggantikm ayahandanya, Raden Ronggo bergelar Adipati Raden Ronggojoyo Ananta Kusumo).
Setelah sampai di Majapahit, Raden Ronggo kecewa karena dia mengetahui bahwa telah ada seorang pemuda dari Muria yang membawa lari sebuah pintu gerbang. Dengan hati berdebar dia kembali mengejar pemuda yang telah mendahuluinya (yakni Kebonabrang).
Sesampainya di suatu tempat, Raden Ronggo menjumpai Kebonabrang sedang bingung mencari perlengkapan pintu gerbang yang jatuh. Perlengkapan yang jatuh itu ialah ganjel lawang (ganjal pintu) dari pintu gerbang yang dibawanya. Desa tempat jatuhnya ganjal pintu (ganjel Lawang) itu dinamakan desa Jelawang hingga sekarang.
Mulai dari desa yang hingga sekarang bernama Jelawang itu terjadilah saling kejar mengejar dan bergulatan seru memperebutkan pintu gerbang antara kedua orang pemuda, yakni antara Kebo Anabrang (Kebonabrang) dengan Raden Ronggo. Kebonabrang yang telah berhasil membawa pintu gerbang itu dihentikan oleh Raden Ronggo. Dan terjadilah perkelahian saling adu kekuatan, saling menghantam dan adu kesaktian.
Konon pertengkaran antara kedua pemuda itu diketahui oleh Sunan Muria. Beliaupun menuju ke tempat dua pemuda yang bertengkar, karena tempat tersebut amat cetho welo-welo (tampak jelas) bagi beliau. Tempat tersebut hingga sekarang dinamakan desa Towelo (dari kata Cetho welo-welo).
Setelah dilerai oleh Sunan Muria, kemudian diperintahkan oleh beliau, barangsiapa yang dapat mengangkat pintu gerbang itu, maka bolehlah dibawa. Ternyata Raden Ronggo tidak kuat mengangkatnya. Oleh Sunan Muria, Raden Ronggo hanya diberi sebuah palangnya, yang kemudian dibawa ke Juana, diserahkan kepada Kyai Ageng Ngerang. Tetapi Kyai Ageng Ngerang tidak mau menerima hasil sayembara tersebut karena yang diminta bukanlah palang pintu, tetapi pintu gerbangnya utuh. Karena jengkel dan marahnya, palang kayu itu diayunkan kepada Roro Pujiwati. Namun suatu keajaiban terjadi saat itu, palang kayu tidak mengenai Roro Pujiwati, tetapi terdengar suara gelap (bahasa Jawa, halilintar = bahasa. Indonesia). Dan ketika itu pula malam menjadi Gelap Gulita, padahal malam tanggal 15 Sya’ban (Ruwah). Dan lenyap pulalah Roro Pujiwati tanpa bekas, entah ke mana.
Tempat itu kemudian dinamakan SIGELAP, persis di kilo meter satu sebelah barat kota Juana. Dan jembatannya dinamakan pula JEMBATAN SEGELAP (SIGELAP). Hingga saat ini, setiap tanggal 15 Sya’ban banyak sekali muda-mudi yang beramai-ramai memeriahkan malam purnama dengan tujuan minta “berkah” kepada ruh halus yang “mbaurekso” (menjaga) jembatan Sigelap. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, konon yang menjaga jembatan Sigelap itu adalah ruhnya Roro Pujiwati.
Begitu pun banyak orang yang percaya juga!.
Sementara itu, Kebonabrang dipersilakan membawa pintu gerbang Majapahit ke gunung Muria. Tetapi baru saja diangkat, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda hari telah pagi. Padahal syarat diakuinya menjadi putera Sunan Muria ialah dapat memindahkan pintu gerbang dalam waktu satu malam. Maka Kebonabrang akhirnya gagal total pula memenuhi persyaratan yang diminta oleh Sunan Muria itu. Dan oleh Kangjeng Sunan Muria, Kebonabrang di perintahkan menjaga pintu gerbang Majapahit itu hingga meninggalnya.

VERSI KEDUA : KARENA CINTA KEPADA BIBINYA SENDIRI
Berbeda dengan cerita pada versi pertama yang mengatakan bahwa Raden Ronggo adalah putera Adipati Pasatenan Pati, pada versi kedua ini menuturkan bahwa Raden Ronggo adalah puteranya Kangjeng Sunan Muria, dari ibu yang bernama Raden Ayu Roroyono. Raden Ayu Roroyono adalah puteranya Sunan Ngerang (Kyai Ageng Ngerang) yang berkedudukan di Juana, setelah timur kota Pati. Kecuali Raden Ayu Roroyono yang menjadi isteri Sunan Muria, Sunan Ngerang juga mempunyai seorang puteri lagi, jadi adiknya Raden Ayu Roroyono, bernama Roro Pujiwati.
Roro Pujiwati inilah yang dicintai Raden Ronggo, putera Sunan Muria. Padahal Roro Pujiwati ini adalah bibinya Raden Ronggo sendiri, karena Roro Pujiwati itu adiknya Raden Ayu Roroyono (ibunya Raden Ronggo).
Tentu saja kehendak Raden Ronggo untuk mempersunting Roro Pujiwati itu ditolak, karena keponakan tidak boleh menikahi bibinya. Cara menolaknya adalah dengan mengajukan syarat yang harus dipenuhi, yakni memindahkan sebuah pintu gerbang Majapahit ke tempatnya Roro Pujiwati di Juana.
Maka terjadilah seperti yang telah dijelaskan dalam versi pertama di atas, yaitu pergulatan adu kekuatan antara Raden Ronggo dengan Kebo Anabrang (Kebonabrang). Dalam versi kedua ini Kebonabrang adalah sebagai muridnya Sunan Muria, bukan seorang pemuda yang mengaku sebagai puteranya Kangjeng Sunan Muria.
Dalam perebutan pintu gerbang itu Raden Ronggo hanya memperoleh sebatang kayu pathok, yaitu sebagian dari pintu gerbang saja. Kayu palang (pathok) itulah yang dibawa Raden Ronggo ke tempat Roro Pujiwati di Ngerang. Tetapi Roro Pujiwati menolak karena yang diminta adalah pintu gerbangnya. Karena cintanya sudah ngebet tetapi ditolak, maka Raden Ronggo marah. Akhirnya Roro Pujiwati dipukul dengan kayu pathok, dan lenyaplah Roro Pujiwati. Tepat di desa Mintomulyo, 1 km. sebelah barat Juana, di jembatan SIGELAP sekarang ini.

Catatan :
1. Pada versi pertama, Raden Bambang Kebo Anabrang adalah putera Sunan Muria, tetapi pada versi kedua, Kebo Anabrang sebagai muridnya Sunan Muria.
2. Sebaliknya dalam versi kedua, Raden Ronggo sebagai puteranya Sunan Muria dari ibu yang bernama Roroyono.
3. Raden Ronggo memukul Roro Pujiwati dengan pathok, yakni potongan kayu. Menurut cerita rakyat, kisah itu adalah kinayah karena konon yang terjadi adalah Roro Pujiwati diperkosa oleh Raden Ronggo hingga menemui ajalnya. (Semua itu hanya Tuhanlah yang Maha Mengetahui apa yang sebenarnya terjadi).
------------------------------
SUNAN MURIA Antara Fakta dan Legenda, Umar Hasyim, Penerbit “Menara Kudus” Kudus, 1983, halaman 82-86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar