Minggu, 03 Maret 2013

PERISTIWA BI’IR MA’UNA (TAHUN 625)

Dengan demikian Muhammad mengutus Al-Mundhir bin ‘Amr dari Banu Sa’ida dengan memimpin 40 orang Muslimin pilihan. Mereka pun berangkat. Sampai di Bi’ir Ma’una — antara daerah Banu ‘Amir dan Banu Sulaim — mereka berhenti. Dan sana mereka mengutus Haram bin Milhan membawa surat Muhammad kepada ‘Amir bin’t-Tufail. Tetapi oleh ‘Amir surat itu tidak dibacanya, malah orang yang membawanya dibunuh. dan dia minta bantuan Banu ‘Amir supaya membunuhi kaum Muslimin. Tetapi setelah mereka menolak untuk melakukan pelanggaran atas pertanggung-jawaban dan perlindungan yang telah diberikan oleh Abu Bara’, Amir meminta bantuan kabilah-kabilah lain. Permintaan ini oleh mereka dipenuhi dan kemudian bersama-sama dia mereka berangkat dan mengepung rombongan Muslimin di tempat itu. Melihat keadaan ini pihak Muslimin pun segera mencabut pedang. Mereka mengadakan perlawanan, mati-matian sampai akhirnya mereka terbunuh semua.
Hanya Ka’b bin Zaid yang masih selamat, yang tadinya dibiarkan begitu saja oleh Ibn’t-Tufail Ternyata ia belum mati. Kemudian ía pun pergi pulang ke Medinah. Demikian juga ‘Amr bin Umayya, yang oleh ‘Amir bin’t-Tufail dimerdekakan karena dikiranya ia masih terikat dengan, suatu niat ibunya. Dalam perjalanan pulang di tengah jalan ‘Amr bertemu dengan dua orang yang dikiranya turut menyerang kawan-kawannya. Dibiarkannya kedua orang itu sampai tidur lebih dulu, kemudian diserangnya dan dibunuhnya. Sesudah itu ia melanjutkan lagi perjalanannya. Sesampainya di Medinah diberitahukannya Perbuatannya itu kepada Rasul s.a.w. Ternyata kedua orang itu dari Banu ‘Amir, dan golongan Abi Bara’, dan yang juga terikat oleh suatu perjanjian Jiwar (bertetangga baik) dengan Rasulullah, dan ini berarti harus diselesaikan dengan diat.
Bukan main Muhammad menahan perasaan pilu karena pembunuhan di Bi’ir Ma’una itu. Sungguh berat hatinya menahan dukacita atas sahabat-sahabatnya itu. Ia berkata : “Ini adalah perbuatan Abu Bara’. Sejak semula saya sudah berat hati dan kuatir sekali.”
Abu Bara’ juga merasa sangat terpukul karena pelanggaran ‘Amir bin’t-Tufail atas dirinya itu. Karena itu, Rabi’a anaknya lalu bertindak menghantam ‘Amir dengan tombak sebagai balasan atas perbuatannva terhadap ayahnya. Begitu dalamnya rasa dukacita Muhammad sehingga sebulan penuh setiap selesai salat Subuh ia berdoa semoga Tuhan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang telah membunuh sahahat-sahabatnya itu. Demikian juga seluruh umat Muslimin turut merasa pun karena malapetaka yang telah menimpa saudara-saudaranya seagama itu, meskipun sudah dengan penuh iman bahwa mereka semua gugur sebagai syuhada, dan mereka semua akan mendapat surga.

ORANG-ORANG YAHUDI DAN ORANG-ORANG MUNAFIK DI MEDINAH
Malapetaka yang telah menimpa kaum Muslimin di Raji’ dan di Bi’ir Ma’una mengingatkan kaum munafik dan Yahudi Medinah akan kemenangan Quraisy di Uhud, dan membuat mereka lupa akan kemenangan Muslimin atas Banu Asad, juga mengurangi pandangan mereka terhadap kewibawaan Muhammad s.a.w. dan sahabat-sahabatnya Dalam menghadapi hal ini sekarang Nabi s.a.w. berpikir dengan suatu pemikiran politik yang cermat sekali serta pandangan yang jauh. Ketika itu bahaya yang paling besar mengancam kaum Muslimin ialah sikap penduduk Medinah yang kiranya akan merendahkan kewibawaan mereka. Begitu juga yang sangat diharapkan oleh kabilah-kabilah Arab, mereka akan dapat menanamkan perpecahan di dalam, yang berarti akan dapat menimbulkan perang saudara jika nanti ada saja tetangga yang menyerbu Medinah. Di samping itu pihak Yahudi dan orang-orang munafik seolah-olah memang sedang menantikan bencana yang akan menimpa itu. Karena itu dilihatnya tak ada jalan lain yang lebih baik daripada membiarkan mereka, supaya nanti niat mereka terbongkar.
Oleh karena Yahudi Banu Nadzir itu sekutu Banu ‘Amir, maka Nabi berangkat sendiri ke tempat mereka — yang tidak jauh dari Quba’ — dengan membawa sepuluh orang Muslimin terkemuka di antaranya Abu Bakr, Umar dan Ali. Ia minta bantuan Banu Nadzir dalam membayar diat dua orang yang telah dibunuh tidak sengaja oleh ‘Amr bin Umayya itu dan tidak diketahuinya pula bahwa Nabi telah memberikan perlindungan kepada mereka.
Setelah dijelaskan maksud kedatangannya, mereka memperlihatkan sikap gembira dan dengan senang hati bersedia mengabulkan. Akan tetapi, sementara sebagian mereka sedang asyik bercakap-cakap dengan dia, dilihatnya yang lain sedang berkomplot. Salah seorang dari mereka pergi menyisih ke suatu tempat dan tampaknya mereka sedang mengingatkan kematian Ka’b bin Asyraf. Salah seorang dari mereka itu [‘Amr bin Jihasy bin Ka’b] tampak memasuki rumah tempat Muhammad sedang duduk-duduk bersandar di dinding. Ketika itulah ia merasa curiga sekali, lebih-lebih lagi karena persekongkolan mereka dan percakapan mereka itu telah didengarnya.
--------------------------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 315-317.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar