Jumat, 01 Maret 2013

PERISTIWA AR-RAJI’ (TAHUN 625)

Untuk menunaikan tugas agama yang mulia itu, setiap diperlukan pada waktu itu Muhammad selalu siap mengutus sahabat-sahabatnya untuk memberikan bimbingan kepada orang dalam mengenal Tuhan dan agama yang benar, serta untuk menjadi pengikut Muhammad dan sahabat-sahabatnya menghadapi lawan, seperti yang sudah kita lihat, ketika mereka dulu diutus ke Medinah sesudah Ikrar ‘Aqaba kedua. Oleh karena itu enam orang sahahat besar kemudian diutusnya berangkat bersama sama dengan rombongan utusan itu. Tetapi sesampainya di suatu pangkalan air kepunyaan Hudhail di bilangan Hijaz, di suatu daerah yang disebut Ar-Raji’, ternyata mereka telah dikhianati, dengan tindakan rombongan itu yang sudah tentu dengan meminta bantuan Hudhail. Tetapi ini tidak membuat keenam orang Muslimin itu jadi gugup ketakutan, yang dalam perlengkapannya itu mereka hanya membawa pedang. Kaum Muslimin itu segera mencabut pedang hendak mempertahankan diri. Tetapi pihak Hudhail berkata kepada mereka : “Demi Allah, kami tidak ingin membunuh kamu. Tapi dengan kamu ini kami ingin memperoleh keuntungan dari penduduk Mekah. Kami berjanji atas nama Tuhan bahwa kami tidak bermaksud membunuh kamu.”
Keenam orang Muslim itu berpandang-pandangan. Mereka sadar sudah bahwa dibawanya mereka satu-satu ke Mekah itu berarti suatu penghinaan yang sebenarnya lebih jahat dari pembunuhan. Mereka menolak janji Hudhail itu, dan mereka tetap akan mengadakan perlawanan, meskipun mereka sudah menyadari, bahwa dalam jumlah yang sekecil itu mereka tidak berdaya. Tiga orang dari mereka ini dibunuh oleh Hudhail, sedang sisanya sudah makin tak berdaya. Mereka semua ditangkap dan dibawa sebagai tawanan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Abdullah bin Tariq, salah seorang dari ketiga orang Islam itu di tengah jalan berhasil melepaskan belenggu dari tangannya lalu ia mencabut pedang. Oleh karena rombongan yang lain berada di belakangnya, dihujaninya ia dengan batu dan ia pun tewas karenanya.
Kedua orang tawanan lainnya sempat dibawa oleh Hudhail ke Mekah, lalu dijual. Zaid bin’d-Dathinna dijual kepada Shafwan bin Umayya yang sengaja membelinya untuk dibunuh. Ia diserahkan kepada Nastas, budaknya supaya membunuhnya sebagai balasan atas kematian ayahnya Umayya bin Khalaf. Ketika dibawa, oleh Abu Sufyan ia ditanya : “Zaid, sangat kuharapkan sekali. Bersediakah engkau memberikan tempatmu itu kepada Muhammad? Dialah yang harus dipenggal lehernya, sedang engkau dapat kembali kepada keluargamu.”
“Tidak,” jawab Zaid. “Sekiranya Muhammad di tempatnya sekarang ini akan menderita karena tusukan duri sekalipun, sedang aku di tempat keluarga, aku tidak sudi.”
Abu Sufyan kagum sekali, seraya katanya : “Belum pernah aku melihat seseorang mencintai kawannya demikian rupa seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”

ZAID BIN KHUBAIB DIBUNUH
Zaid lalu dibunuh oleh Nastas. Maka ia pun gugur sebagai syahid yang memegang teguh agama dan amanat Nabi.
Adapun Khubaib waktu itu dalam penjara, yang kemudian dibawa keluar untuk disalib. Tapi ia berkata kepada mereka :

“Dapatkah kamu membiarkan aku sekadar melakukan shalat dua raka’at?”
Permintaan demikian itu dikabulkan. Ia pun sholat dua raka’at dengan baik dan sempurna. Kemudian ia menghadap mereka lagi :
“Kalau tidak karena kamu akan menyangka saya sengaja memperlambat karena takut dibunuh, niscaya saya masih akan sholat lebih banyak lagi.”
Setelah ia dinaikkan dan diikat di atas tonggak kayu, dipandangi mereka itu dengan mata sayu seraya katanya : “Ya Allah, hitungkan bilangan mereka itu, binasakan mereka dalam keadaan cerai-berai dan jangan dibiarkan seorang pun dari mereka itu.”
Mendengar suara yang keras itu mereka gemetar, mereka merebahkan diri takut terkena kutukannya. Sesudah itu ía pun dibunuh. Seperti Zaid yang telah gugur sebagai syahid. Khubaib juga kemudian gugur pula sebagai syahid untuk agama dan untuk Nabi. Dua ruh yang suci itu pun kini melayang pula. Padahal, sebenarnya mereka akan dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu kalau saja mereka mau jadi murtad meninggalkan agamanya. Tetapi demi keyakinan mereka kepada Tuhan, kepada keluhuran rohani dan hari kemudian — tatkala setiap jiwa hanya akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya dan tak ada orang yang akan memikul beban orang lain — mereka melihat maut itu — sebagai tujuan hidup — adalah tujuan yang paling baik dalam hidupnya demi akidah, demi iman dan demi kebenaran. Mereka pun yakin bahwa darah mereka, yang kini ditumpahkan di atas bumi Mekah, akan memanggil saudara-saudaranya kaum Muslimin supaya memasuki kota itu sebagai pihak yang menang, yang akan menghancur berhala-berhala akan membersihkan segala noda paganisma dan kehidupan syirik. Dan kesucian Ka’bah sebagai Baitullah akan dikembalikan juga sebagaimana mestinya. bersih dari segala sebutan nama-nama selain asma Allah.

ORIENTALIS DIAM SAJA
Dalam menghadapi peristiwa ini pihak Orientalis tidak bicara apa-apa seperti ketika menghadapi peristiwa tawanan Badr yang dibunuh pihak Muslimin. Mereka tidak berusaha untuk memandang jijik perbuatan khianat yang dilakukan Banu Hudhail terhadap dua orang yang tidak berdosa itu, yang bukan ditawan dari medan perang, tapi diambil dengan cara tipu-muslihat, yang berangkat karena perintah Rasul dengan maksud supaya mengajarkan agama kepada orang-orang yang mengkhianati mereka itu, orang-orang yang menyerahkan mereka kepada Quraisy, setelah kawan-kawannya yang lain pun dibunuh secara gelap dan licik. Kaum Orientalis tidak menganggap jijik perbuatan Quraisy terhadap dua orang yang tak bersenjata itu, padahal apa yang mereka lakukan adalah suatu perbuatan pengecut dan tindakan permusuhan yang rendah sekali. Pada dasarnya prinsip kejujuran yang harus menjadi pegangan kaum Orientalis, yang merasa tidak dapat menerima apa yang dilakukan kaum Muslirnin terhadap dua tawanan perang Badr itu, ialah akan merasa jijik sekali terhadap pengkhianatan Quraisy yang menerima penyerahan dua orang untuk dibunuh itu, sesudah empat orang lainnya yang didatangkan atas permintaan mereka untuk mengajarkan agama, telah lebih dulu pula mereka bunuh.
Semua Muslimin merasa sedih, Muhammad juga merasa sedih sekali atas malapetaka yang telah menimpa keenam orang yang gugur sebagai syahid di jalan Tuhan karena pengkhianatan Hudhail itu. Ketika itulah Hassan bin Thabit mengirimkan sajak-sajaknya sebagai elegi yang mendalam sekali buat Khubaib dan Zaid.
Dalam pada itu lebih banyak lagi Muhammad memikirkan keadaan umat Muslimin. Kuatir sekali ia kalau hal semacam itu terulang lagi. Masyarakat Arab akan sangat merendahkan mereka.
Sementara ia sedang berpikir-pikir demikian itu tiba-tiba datang Abu Bara’ Amir bin Malik. Muhammad menawarkan kepadanya supaya ia sudi masuk Islam, tapi ia menolak. Sungguhpun begitu juga ia tidak menunjukkan sikap permusuhan terhadap Islam. Bahkan katanya : “Muhammad, kalau ada sahabat-sahabatmu yang dapat diutus ke Najd dan mengajak mereka itu menerima ajaranmu saya harap mereka itu akan menerima.”
Tetapi Muhammad masih kuatir akan melepaskan sahabat-sahabatnya itu ke Najd dan ía kuatir penduduk daerah itu nanti akan mengkhianati mereka seperti pernah dilakukan Hudhail terhadap Khubaib dan kawan-kawan. Ia tidak yakin dan tidak dapat mengabulkan permintaan Abu Bara’.
“Saya menjamin mereka”, katanya lagi. “Kirimkanlah utusan ke sana untuk mengajak mereka menerima ajaranmu.”
Abu Bara’ adalah orang yang ditaati di kalangan masyarakatnya dan didengar orang perkataannya. Barangsiapa yang sudah diberinya perlindungan ía tidak kuatir akan mendapat serangan pihak lain.
--------------------------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 312-315.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar