Senin, 07 Januari 2013

TERBUNUHNYA ABU ‘AFAK DAN ASHMA’

Suatu malam ketika angin sedang bertiup kencang Salim mendatangi Abu ‘Afak. Ia sedang tidur di beranda rumahnya. Oleh Salim ditancapkannya pedangnya ke arah hatinya hingga menembus sampai ke pelaminan. Demikian juga Ashma’ binti Marwan (dari Banu Umayya bin Zaid). Wanita ini selalu memaki Islam, menyakiti hati dan mengerahkan orang supaya melawannya. Hal ini dilakukannya terus sampai pada waktu sesudah selesainya perang Badar. Pada suatu malam buta ia didatangi oleh Umair bin ‘Auf yang masuk sampai ke dalam rumahnya. Ia dikelilingi oleh anak anaknya yang sedang tidur, ada pula yang sedang disusui. Sebenarnya penglihatan ‘Umair lemah sekali. Ia meraba-raba dengan tangannya dan terpegang olehnya bayi yang sedang disusui itu. Dihalaunya bayi itu dari sisi ibunya, kemudian dipusatkannya pedangnya ke dada wanita itu sampai menembus punggungnya.
Bila ‘Umair kemudian kembali dari tempat Nabi setelah menyampaikan berita itu, ia melihat anak-anaknya dan beberapa orang sedang menguburkan wanita tersebut. Mereka datang menemuinya seraya bertanya : “Umair, kau yang membunuh wanita itu?”
“Ya,” jawabnya. “Jalankanlah tipu-muslihatmu itu terhadapku dan jangan lagi ditunda-tunda. Aku bersumpah demi Dia yang memegang hidupku kalau kamu semua mengeluarkan kata-kata seperti wanita itu, akan kuhantam kamu dengan pedangku ini. Aku yang mati, atau kamu semua kubunuh.” (Ada juga perlunya dijelaskan — kalau dasar cerita ini benar — bahwa peristiwa itu bukanlah atas perintah Nabi. seperti ada orang mengira demikian. Tetapi mereka telah mengambil tindakan sendiri. seperti kata Haekal. Jiwa dan akhlak Nabi jauh lebih tinggi daripada akan melakukan kekerasan. Dalam peperangan pun melarang membunuh orang berusia lanjut, anak-anak, wanita, sekalipun yang ikut aktif. Peristiwa Hindun binti ‘Utba dalam perang Uhud, wanita Yahudi yang meracun Nabi dan penyair Abu ‘Azza, adalah dari sekian banyak contoh. Malah kemudian mereka dimaafkan. Yang perlu kita ketahui juga. bahwa Umair bin ‘Auf adalah satu kabilah dengan suami ‘Ashma’. yakni dari Khatma, demikian juga Abu ‘Afak masih sekabilah dengan Salim, yakni dari Banu ‘Amr bin ‘Auf, dengan motif yang hampir sama).
Sikap Umair yang berani ini telah membawa akibat lahirnya Islam di tengah-tengah kabilah Banu Khatma itu. Suami Ashma’ adalah dari kabilah ini juga. Dari golongan ini yang tadinya masuk Islam dengan bersembunyi-sembunyi, sekarang sudah berani mereka berterus-terang dan menggabungkan diri ke dalam barisan dan bersama-sama dengan kaum Muslimin lainnya.

MATINYA KA’B BIN ASYRAF
Kiranya cukup kalau kita tambahkan atas dua macam peristiwa di atas ini dengan peristiwa matinya Kab bin Asyraf. Ketika mendengar matinya beberapa orang pemuka-pemuka Mekah, dialah orangnya yang mengatakan : “Mereka itu bangsawan-bangsawan Arab dan pemimpin-pemimpin. Sungguh, kalau Muhammad sampai mengalahkan mereka, maka lebih baik berkalang tanah daripada tinggal di atas bumi.” Dia pula orangnya, yang telah berangkat ke Mekah — setelah mendapat kabar yang pasti — mengerahkan orang untuk melawan Muhammad, menyanyikan sajak-sajak dan menangisi mereka yang terkubur dalam perigi. Dia juga orangnya yang kemudian setelah kembali ke Medinah berusaha mencumbu wanita-wanita Islam. Orang tahu betapa watak dan perangai orang Arab dalam hal ini, betapa mereka menghargai arti kehormatan ini. Untuk itu semangat mereka bangkit. Kaum Muslimin begitu marah. Mereka sudah sepakat hendak membunuh Ka’b. Beberapa orang dari mereka sudah berkumpul. Salah seorang di antara mereka mendatanginya sambil memancingnya dengan memburuk-burukkan Muhammad.
“Kedatangan orang ini kemari membawa bencana.” kata salah seorang. “Membuat orang-orang Arab saling bermusuhan dan berpecah-belah. Hubungan kerabat kita terputus, sanak-keluarga hilang dan orang melakukan perjalanan jauh jadi sukar.”
Setelah saling beramah-tamah dengan Ka’b, maka ia dan  teman-temannya minta uang kepada Ka’b dengan jalan menggadaikan baju besinya. Ka’b pun setuju asal nanti dibawa. Ketika ia sedang berada di rumahnya yang agak jauh dari Medinah pada waktu menjelang malam terdengar Abu Na’ila (salah seorang yang berkomplot) memanggilnya ia keluar menghampirinya sekalipun sudah diperingatkan oleh istrinya jangan keluar rumah pada waktu malam begitu. Kedua orang itu terus berjalan hingga bertemu dengan teman-teman Abu Na’ila. Ka’b tenteram saja tidak merasa takut. Mereka bersama-sama berjalan kaki hingga agak jauh dari tempat tinggal Ka’b, sambil terus bercakap-cakap. Mereka bercerita tentang diri mereka sendiri dan betapa mereka itu mengalami kesukaran Ka’b merasa makin tenang.
Sementara mereka sedang berjalan itu Abu Na’ila meletakkan tangannya di atas kepala Ka’b, dan tangannya itu kemudian diciumnya.
“Belum pernah aku mengalami malam seharum ini,” katanya.
Setelah dilihatnya Ka’b tidak menaruh curiga lagi kepada mereka, kembali lagi Abu Na’ila meletakkan tangannya di rambut Ka’b, kemudian digenggamnya kedua pelipis orang itu seraya berkata : “Hantamlah musuh Tuhan ini!”
Mereka menghantamnya dengan pedang, dan saat itu ia menemui ajalnya.
--------------------------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 274-276.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar