Selasa, 15 Januari 2013

MENCARI-CARI JALAN AGAR BISA IKUT PERAN FISABILILLAH

Apabila penyeru jihad telah mengumandangkan seruannya, Rasulullah s.a.w. hanya memintanya dari orang-orang yang mampu berperang dan siap dengan segala perlengkapan yang semestinya. Beliau tidak memerintahkan orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan untuk pergi berperang. Rasulullah tidak mengizinkan orang-orang yang berkewajiban memelihara ibu bapaknya yang sudah tua atau menjaga keluarga dan para wanita mereka.
Sebelum mengizinkan untuk berangkat ke medan perang, Rasulullah memeriksa semua sahabatnya untuk mengetahui kadar kesiapan dan kelayakan mereka untuk berperang. Sering terjadi Rasulullah tidak mengizinkan sejumlah orang, sementara mereka sudah tergabung dalam barisan orang-orang yang siap untuk berangkat berperang. Hal itu kadangkala karena umur mereka yang belum cukup atau mereka tidak layak berperang.
Ketika mempersiapkan Perang Badar misalnya, terdapat anak-anak yang belum cukup umur yang tidak diizinkan berperang. Di antara mereka adalah Abdullah bin Umar bin Khattab, Usamah bin Zaid, Rafi bin Khudaij, al-Barra bin Azib, Usaid bin Zuhair, Zaid bin Arqam, Zaid bin Tsabit, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sebagian mereka yang belum cukup syarat itu ada juga yang mencari-cari cara agar bisa ikut berperang. Bahkan, apabila mereka ditolak pada pemeriksaan pertama, mereka datang lagi dengan mengajukan penampilan berbeda, kadangkala dengan menukar pakaian mereka atau pakaian yang membuat mereka terlihat lebih tinggi atau lebih besar. Kadangkala, ada pula yang datang dengan keluarga mereka agar Nabi s.a.w. menerima permohonan mereka. Di antara mereka itu adalah Umair bin Abu Waqqash, yaitu adik kandung Sa’ad bin Abi Waqqash. Dia datang bersama kakaknya agar Nabi menerima permintaannya dengan bantuan kakaknya. Dia tidak memberi tahu Rasul tentang umurnya yang masih kecil dan badannya yang pendek. Kemudian Nabi s.a.w. menolak permintaannva. Setelah itu Umair datang sekali lagi kepada Nabi s.a.w. dengan cara menambah ikatan tangkai pedangnya sehingga ia kelihatan tinggi. Akan tetapi, dia tetap terlihat pendek. Kemudian karena tangisan dan raungannya, Nabi s.a.w. mengizinkannya pergi berperang sehingga meraih mati syahid.
Nabi tidak membolehkan siapa pun pergi kecuali orang-orang yang datang menghadap dengan membawa kendaraan kuda atau untanya bersamanya. Kemudian datanglah sekelompok orang yang meminta restu Nabi s.a.w. untuk pergi berperang sedangkan kendaraan mereka berada di luar kota Madinah dan mereka akan menyusul kendaraan tersebut. Beliau mengizinkan keberangkatan mereka karena menyaksikan cahaya mata mereka, beliau mengetahui tekad mereka untuk ikut berperang. Jiwa mereka bergelora untuk mendapatkan mati syahid dan semangat jihad mereka yang sangat tinggi.
Kemudian Nabi s.a.w. berangkat bersama para sahahatnya, kadangkala dua, tiga, empat, dan lima orang dan mereka bergantian untuk mengendarai satu unta. Nabi s.a.w. berganti-ganti dalam mengendarai unta dengan Ali bin Abu Thalib dan Murtsid bin Abu Murtsid.
Mereka menginginkan bisa berangkat berperang dan berkorban di jalan Allah. Mereka tidak mencari-cari alasan untuk tidak ikut, bahkan mereka mencari-cari alasan agar bisa berangkat ke jalan Allah.
Orang-orang yang tidak mendapatkan cara atau alasan untuk berangkat, akan menangis sehingga padang pasir hiruk pikuk oleh tangisan mereka dan pasir-pasir basah oleh tetesan air mata mereka. Bahkan, Allah juga telah menurunkan keterangan  tentang mereka dalam al-Qur’an. Di antara mereka ada juga yang memohon agar Nabi s.a.w. memberi mereka senjata dan kendaraan untuk bisa berangkat. Akan tetapi, ketika merek tidak mendapatkan apa-apa yang mereka minta, mereka memenuhi negeri dengan tangisan lalu mengikuti iringan pasukan Rasulullah s.a.w., bersama para sahabatnya dari jauh sehingga ada dua orang dari mereka bertemu dengan Ibnu Umair bin Ka’ab an-Nahdari yang tidak mengetahui mengapa mereka berada di tempat itu. Akhirnya dia memperlengkapi mereka dengan seekor unta dan senjata secukupnya. Kemudian mereka menyusul dan bergabung dengan barisan pasukan Nabi s.a.w.
Adapun tentang orang-orang yang benar-benar tidak memungkinkan untuk dapat berangkat, Allah telah menurunkan ayat al-Quran untuk menerangkan bahwa mereka diizinkan untuk tidak ikut.
“Dan tiada pula ada dosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata : “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” Lalu mereka kembali sedangkan mata mereka bercucuran air mata, karena kesedihan lantaran mereka tidak memperoleh apa-apa yang akan mereka nafkahkan.” (at-Taubah : 92)
----------------------------------------------
MEMPERTAJAM KEPEKAAN SPIRITUAL, Majdi Muhammad Asy-Syahawy, Bina Wawasan Press, Jakarta 2001, halaman 246-248.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar