Minggu, 11 November 2012

QURAISY DI MEKAH MENJADI MASALAH

Peradaban yang batu pertamanya telah diletakkan oleh Muhammad dengan ajaran-ajaran serta teladan yang diberikannya itu, kini sudah makin diperkuat lagi. Terpikir olehnya sekarang dan oleh sahabat-sahabatnya dari kalangan Muhajirin. bagaimana seharusnya sikap dan keadaan mereka menghadapi Quraisy itu — suatu pemikiran yang tak pernah mereka lupakan sejak mereka hijrah dari Mekah. Motif yang mendorong mereka berpikir demikian banyak sekali. Di Mekah ini terletak Ka’bah, Rumah Ibrahim, tempat mereka dan semua orang Arab berziarah. Dapatkah mereka melepaskan diri dari kewajiban suci yang sejak dulu mereka jalankan sampai pada waktu mereka dikeluarkan dan Mekah? Di sana masih tinggal keluarga mereka yang mereka cintai dan yang mereka sayangkan bila masih tetap dalam kehidupan syirik. Di sana harta-benda dan perdagangan mereka ditinggalkan, yang telah disita oleh Quraisy tatkala mereka hijrah. Kemudian lagi, tatkala mereka memasuki Madinah. mereka diserang penyakit demam, sehingga bukan main penderitaan yang mereka alami. Mereka sholat pun sambil duduk. Makin keras mereka merindukan Mekah. Mereka telah dikeluarkan secara paksa dari Mekah, seolah mereka keluar sebagai pihak yang dikalahkan. Dan tidak pula menjadi adat orang-orang Quraisy dapat bersahar terhadap ketidakadilan serupa itu atau menyerah tanpa mengadakan pembalasan. Di samping semua dorongan itu, dorongan naluri juga merangsang mereka, yakni nostalgia — rindu kampung halaman. kampung halaman tempat mereka dilahirkan, tempat mereka dibesarkan. Dengan bumi ini, dengan tanahnya yang lapang, gunungnya. airnya. dengan semua itulah pertama kali mereka bicara, pertama kali mereka bersahabat. Di atas secercah tanah inilah mereka dipupuk tatkala mereka masih kecil dan di sana pula tempat tinggal mereka sesudah mereka besar. Ke sana hati orang dan perasaannya terikat, dan untuk itu pula dengan segala kekuatan dan hartanya Ia pertahankan. Dikorbankannya semua tenaga dan hidupnya. Sesudah mati, di tempat itu harapannya akan dikuburkan. Ia mau kembali ke dalam tanah tempat ia dijadikan itu.
Naluri inilah yang lebih keras mendorong hati kaum Muhajirin daripada motif-motif lain. Selalu terpikir oleh mereka bagaimana seharusnya sikap mereka itu menghadapi Quraisy. Tetapi yang sudah terang, sikap itu bukanlah sikap menyerah atau sikap menghambakan diri. Sudah cukup sabar mereka selama tiga belas tahun terus-menerus menanggung penderitaan. Agama tidak membenarkan adanya sikap lemah, putus asa atau menyerah bagi mereka yang sudah menanggung penderitaan dan sampai hijrah karenanya.
Apabila sikap permusuhan itu memang dibenci dan tidak dibenarkan. sebaliknya yang diperkuat dan dianjurkan adalah sikap persaudaraan, tapi di samping itu yang juga diharuskan ialah membela diri, membela kehormatan, membela kebebasan beragama dan membela tanah air. Untuk membela inilah Muhammad mengadakan Ikrar ‘Aqaha yang kedua dengan penduduk Yathnib. Tetapi bagaimanakah kaum Muhajirin itu akan menunaikan kewajibannya kepada Tuhan, kepada Rumah Suci, kepada tanah air, Mekah yang mereka cintai itu? Ke arah inilah politik Muhammad dan kaum Muslimin itu ditujukan, sampai selesai ia kelak menaklukkan Mekah, dan agama Allah serta seruan kebenaran pun akan terjunjung tinggi.
--------------------------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 222-223

Tidak ada komentar:

Posting Komentar