Sabtu, 17 November 2012

MENYUDUTKAN PERDAGANGAN QURAISY

Di samping itu kafilah-kafilah Quraisy ini dikawal oleh penduduk Mekah yang mempunyai hubungan darah dan pertalian kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah bagi mereka itu mau saling bunuh, atau satu sama lain mau melakukan balas-dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah bersama-sama ke dalam suatu perang saudara, suatu hal yang selama tiga belas tahun terus-menerus, dari mulai kerasulan Muhammad sampai pada waktu hijrahnya, kaum Muslimin dan orang-orang pagan di Mekah sudah mampu menghindarinya. Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar ‘Aqaba dulu itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan Khazraj sama-sama berjanji akan melindungi Muhammad. Mereka tidak pernah memberikan janji kepadanya atau kepada siapa pun dari sahabat-sahabatnya bahwa mereka akan melakukan tindakan permusuhan (agresi).
Sungguhpun sudah begitu, memang tidak mudah orang akan menyerah begitu saja kepada ahli-ahli sejarah, yang dalam penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad kemudian sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan dan perjalanan-perjalanan yang mula-mula itu tujuannya memang sengaja hendak melakukan perang. Oleh karena itu, dalam hal ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat diterima akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula dengan kebijaksanaan Rasul yang pada masa itu didasarkan pada prinsip-prinsip persetujuan dan saling pengertian dengan pelbagai macam kabilah; di satu pihak guna menjamin adanya kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna menjamin adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.
Menurut hemat saya adanya satuan-satuan yang mula-mula ini tidak lain maksudnya supaya pihak Quraisy mengerti, bahwa kepentingan mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling pengertian dengan pihak Muslimin yang juga dari keluarga mereka, yang telah terpaksa keluar dari Mekah, karena mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa kedua belah pihak harus menghindari adanya bencana permusuhan dan kebencian serta menjamin bagi pihak Islam adanya kebebasan menjalankan dakwah agama, dan bagi pihak Mekah adanya keselamatan dan keamanan perdagangan mereka dalam perjalanannya ke Syam.
Sebenarnya perdagangan yang dikirimkan dari Mekah dan Ta’if dan yang didatangkan ke Mekah dari bagian Selatan, adalah perdagangan yang cukup besar. Sebuah kafilah adakalanya berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan seharga lebih dari 50.000 dinar. Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira 160.000 pounsterling. Apabila bagi pihak Quraisy sudah pasti bahwa bahaya yang mengancam pendagangan ini datangnya dari anak negeri sendiri yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini telah membuatnya berpikir-pikir dalam hal mengadakan saling pengertian dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan melakukan dakwah agama serta kebebasan memasuki Mekah dan melakukan tawaf di Kabah. Tetapi saling pengertian demikian ini takkan ada kalau Quraisy tidak dapat memperhitungkan kekuatan pihak Muhajirin dan anak negerinya sendiri itu, yang kini akan mencegat dan menutup jalan lalulintas perdagangannya.
Inilah yang menurut penafsiran saya yang menyebabkan Hamzah dan rombongannya dari kalangan Muhajirin kembali, setelah berhadapan dengan Abu Jahl bin Hisyam di pantai Jazirah, begitu keduanya dilerai oleh Majdi bin ‘Amr. Selanjutnya seringnya satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah dengan suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian. Juga ini pula yang mengartikan betapa besarnya hasrat Nabi setelah melihat kecongkakan Quraisy dan sikapnya dalam menghadapi kekuatan Muhajirin — ingin mengadakan perdamaian dengan kabilah-kabilah yang tinggal di sepanjang rute perdagangan itu serta mengadakan persekutuan dengan mereka yang beritanya tentu akan sampai kepada Quraisy. Dengan itu kalau-kalau mereka mau insaf dan kembali memikirkan perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.
--------------------------------------------------------------------------
SEJARAH HIDUP MUHAMMAD, Muhammad Husain Haekal, diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Januari 1990, halaman 228-230

Tidak ada komentar:

Posting Komentar