Rabu, 28 November 2012

BEGINILAH PENGARUH AL-QURAN TERKADAP PARA SHALIHIN

PERTAMA. Shalih al-Murri (namanya adalah Shalih bin Basyir al-Murri, dia termasuk dalam kelompok para perawi yang lemah, meninggal tahun : 172, keadaannya telah diterangkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi) berkata : “Malik bin Dinar (dia adalah Abu Yahya Malik bin Dinar al-Bashri. seorang perawi hadits. Dia adalah seorang yang wara’, hidup dari hasil usahanya sendiri, dan seorang penulis Al-Qu’ran dengan mengambil upah) berkata : “Marilah pergi bersamaku ke daerah Jabban, karena aku telah berjanji dengan seorang temanku untuk mengunjungi Abu Juhair Mas’ud al-Dharir (dia adalah ahli ibadah penduduk Bashrah, seorang yang saleh. Ibnu Jauzi telah menulis tentang biografinya dalam kitab Shifah al-Shafrah. No: 539). Kemudian aku ikut bersama Malik ke Jabban. Tiba-tiba kami bertemu dengan Muhammad bin Wasi (dia adalah Muhammad bin Wasi bin Jabir, Abu Bakar al-Bashri. Dia adalah seorang tsiqah dan ‘abid. Dia banyak mempunyai jalan riwayat, biografinya ditulis oleh Muslim. Abu Daud. Tirmidzi. dan Nasa’i. Meninggal pada tahun 123 H), Tsabit al-Bannani (dia adalah Tsabit bin Aslam al-Bannani, seorang yang zuhud. ‘abid, dan tsiqah (wara dan terpercaya), hadits-haditsnya terdapat dalam Kitab Hadits yang enam.), Hahib al-Ajami (dia adalah Habib bin Muhammad al-Farisi seorang yang zuhud dan abid (tekun beribadah), biografinya telah ditulis oteh Ibnu al-Jauzi dalam kitab Shifah al-Shafwah, No: 536), serta sekelompok orang. Aku berkata: ‘Ini adalah hari yang berbahagia.’ Kemudian kami semuanya berangkat menuju rumah Abu Juhair. Merupakan kebiasaan Malik bin Dinar apabila melalui sebuah tempat yang bersih, dia akan berkata : ‘Wahai Tsabit marilah kita shalat di sini semoga tempat ini akan menjadi saksi bagi kita esok hari.’ lalu Tsabit pun shalat bersamanya...
Ketika kami sudah sampai di daerah Abu Juhair al-Dharir (yang buta matanya), kami bertanya kepada penduduknya di mana rumahnya. Mereka menjawab : “Sekarang dia akan keluar untuk shalat di masjid.” Lalu kami pun menunggunya. Kemudian keluarlah seorang laki-laki yang berjalan dengan lamban dan masuk ke dalam masjid. Ketika sampai di pintu mesjid, dia berdiri dalam keadaan terkejut seperti orang yang sedang dibangkitkan dari kubur. Kemudian dia shalat beberapa rakaat dan ketika salta wajib telah diiqamahkan, kami semua ikut shalat bersamanya. Setelah shalat, kami bermusyarah tentang siapa yang pertama akan mengucapkan salam kepadanya (Abu Juhair). Lalu majulah Muhammad bin Wasi untuk mengucapkan salam kepadanya. Dia menjawab salam dan berkata : ‘Siapakab kamu? semoga Allah merahmati kamu.’ Dia menjawab: ‘aku adalah Muhammad bin Wasi.’ Dia berkata : ‘Selamat datang buatmu, apakah kamu yang disebut oleh penduduk negeri sebagai orang yang paling panjang shalatnya? Duduklah di sini karena aku sudah menginginkan agar dapat bertemu denganmu.’ Kemudian Habib al-Ajamy mengucapkan salam, lalu dia menjawab salam itu dan berkata : ‘Semoga Allah merahmatimu, siapakah kamu?’ Dia menjawab : ‘Habib.’ Dia berkata: ‘Apakah kamu yang dikatakan orang-orang sebagai orang yang setiap kali meminta kepada Allah, maka Dia akan mengabulkannya? Apakah kamu juga berdoa kepada-Nya agar Dia merahasiakan itu untuk-Mu? Duduklah kamu di sini dan semoga Allah merahmati kamu.’ Lalu dia menarik tangan Habib dan mendudukkannya di sampingnya. Kemudian Malik bin Dinar bergerak ke arahnya untuk mengucapkan salam. Dia menjawab salamnya dan berkata : ‘Semoga Allah merahmatimu, siapakah namamu?’ Dia menjawab: ‘Malik bin Dinar.’ Dia berkata : ‘Hm..Hm.. Abu Yahya jika sekiranya engkau benar-benar seperti yang dikatakan oleh orang-orang, apakah engkau yang dikatakan mereka sebagai orang yang paling zuhud? Duduklah, maka sekarang cita-citaku telah dikabulkan Allah.”
Shaleh al-Murri melanjutkan penuturannya: “Kemudian aku maju ke hadapannya sambil mengucapkan salam. Dia menjawab salamku dan bertanya : ‘Semoga Allah merahmatimu, siapakah namamu?’ Aku menjawab : ‘Shaleh.’ Dia berkata : ‘Apakah kamu seorang faqih (ahli syariat Islam) dan seorang Qari (penghafal Al-Qur’an)?’ Aku menjawab : ‘Benar.’ Dia berkata : ‘Wahai Shaleh, bacalah Al-Qur’an!’ Aku segera mulai membaca Al-Qur’an. Belum sempat aku selesai membaca isti’adzah (a ‘udzu-billahi minassyaithanirrajim), dia segera jatuh pingsan Setelah kembali sadar, dia berkata : ‘Kembalilah engkau, lanjutkan bacaanmu, wahai Shaleh!’ Lalu aku membaca : “Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. Penghuni-penghuni surga pada waktu itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya. “ (al-Furqan : 23)
Kemudian dia (Abu Juhair) berteriak dengan suatu teriakan, lalu wajahnya tertunduk ke tanah dan terlihatlah sebagian dari tubuhnya. Lalu dia menjerit dan kemudian tenang. Kami segera mendekatinya, ternyata dia telah meninggal dunia.
Setelah peristiwa ini, kami menanyakan kepada orang-orang tentang orang-orang yang berhubungan dekat dengannya. Mereka menjawab : “Ada seorang wanita tua yang selalu melayani keperluannya yang biasanya datang pada hari-hari tertentu.” Lalu kami mengutus seseorang untuk menemuinya. Setelah wanita itu datang, dia bertanya : “Apakah yang terjadi dengannya?” Kami menjawab : “Ketika Al-Qur’an dibacakan untuknya, dia meninggal.” Wanita itu berkata : “Benar ... demi Allah, siapakah yang telah membacakan Al-Qur’an untuknya? Barangkali pembacanya adalah al-Qani?.” Kami menjawab : “Kalau begitu, apakah kamu tahu siapakah Shaleh itu?” Dia menjawab : “Saya tidak kenal dengannya, tetapi aku sering mendengar dia (Abu Juhair) menyebut namanya sambil berucap : ‘Jika Shaleh membaca AlQur’an untukku, dia akan membunuhku.” Kami berkata : “Memang dialah yang membaca Al-Qur’an untuknya.” Wanita itu berkata : “Dialah yang telah membunuh orang yang aku kasihi.” Kemudian kami segera mengurus jenazahnya dan menguburkannya.

KEDUA. Manshur bin Ammar berkata : “Pada suatu ketika aku masuk ke kota Kufah. Ketika aku berjalan di malam hari yang sangat gelap, tiba-tiba aku mendengar tangisan seorang laki-laki dari sebuah rumah dengan suara yang rnenyedihkan sambil berkata : “Wahai Tuhanku, demi kebesaran dan keagungan-Mu, dengan kemaksiatan yang aku lakukan ini, aku tidak bermaksud mengingkari-Mu. Aku berbuat maksiat kepada-Mu hanyalah karena kejahilanku. Tetapi, sekarang siapakah yang akan menyelamatkanku dari azab-Mu? Dan dengan tali siapakah aku akan bergantung apabila Engkau telah memutuskan tali-Mu kepadaku? Aduhai, betapa banyak dosaku, aduhai aku memohon kepada-Mu, ya Allah.’ Mendengar perkataannya tersebut, aku pun turut menangis dan membaca ayat : “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, di atasnya terdapat para malaikat yang kasar lagi keras yang tidak pernah mengingkari segala perintah Allah sedangkan mereka selalu mengerjakan apa-apa yang diperintahkan kepada mereka.” (at-Tahrim : 6)
Setelah membaca surat ini, aku mendengar suara keras dari laki-laki tersebut. Lalu aku berhenti sehingga aku tidak mendengar suaranya lagi dan akupun segera berlalu.’
Pada pagi harinya aku datang ke rumah laki-laki tersebut. Akan tetapi, aku sudah menemuinya meninggal dunia sedangkan orang-orang sibuk mengurus jenazahnya dan di situ terdapat pula seorang wanita tua yang sedang menangis. Aku bertanya kepada orang-orang tentang wanita tersebut. Mereka menjawab: “Dia adalah ibunya.” Lalu aku mendekati ibunya dan bertanya tentang keadaan anaknya itu. Dia menjawab : “Dia suka berpuasa di siang hari dan shalat malam. Dia berusaha dengan usaha yang halal. Dia membagi hasil usahanya kepada tiga bagian : sepertiga untuk belanjanya sendiri, sepertiga untuk belanja diriku, dan sepertiganya lagi untuk disedekahkan. Pada malam tadi ada seseorang yang lewat di sini sambil membaca sepotong ayat Al-Qur’an. Dia mendengarnya dan kemudian meninggal dunia.”

KETIGA. Pada suatu ketika Madhar al-Qari membaca ayat : “Inilah kitab Kami berbicara kepada kamu dengan kebenaran. (al-Jatsiyah : 29)
Ketika Abdul Wahid bin Zaid mendengarnya dia menangis hingga pingsan. Ketika sadar dari pingsannya, dia berkata : “Demi kebesaran dan keagungan-Mu, aku tidak akan mendurhakai-Mu lagi selama-lamanya sekuat tenagaku. Maka, tolonglah aku dengan taufik-Mu untuk menaati-Mu.” Kemudian dia mendengar seorang qari membaca ayat : “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-Mu dalam ridha lagi diridhai.” (al-Fajr : 27 - 28)
Lalu dia meminta pembaca tersebut mengulangi bacaannya sambil berkata : “Sudah berapa kalikah aku katakan kepadamu, kembalilah!” Diapun pingsan karena takut kepada Allah dan azab-Nya serta tobat kepada Allah. Setelah itu dia menjadi seorang hamba yang saleh.
----------------------------------------------
MEMPERTAJAM KEPEKAAN SPIRITUAL, Majdi Muhammad Asy-Syahawy, Bina Wawasan Press, Jakarta 2001, halaman 146-150.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar